Kamu, Aku, dan TakdirNya

August 01, 2022


Rasanya sudah waktunya aku kembali menulis. Entah sudah berapa lama, rasanya sudah panjang sekali waktu berlalu sejak aku menutup telepon terakhir kita.

Saat itu jam 2 dinihari, aku ingat terbangun dengan detak jantung cepat dan mata berair. Aku bermimpi, entah tentang apa. Yang kuingat hanyalah bahwa aku merasa takut, marah, dan merasa belum siap menerima akhir seperti itu.

Aku membuka jendela percakapan kita dan menyadari bahwa kamu masih terjaga. Tanpa berfikir panjang dan sepertinya juga tanpa kesaradan, aku menekan tombol telepon. Nada dering berbunyi satu dua kali, lalu kamu mengangkatnya.

Aku tidak ingat apa saja yang kukatakan. Tapi, apapun itu, aku yakin mendengarnya membuatmu sakit, dan karenanya kamu memutuskan untuk melangkah mundur dari hidupku. Setelah malam itu, kamu dengan tekad kuat memutuskan untuk tidak lagi muncul dihadapanku, tidak lagi menjadi bagian dari hidupku, tidak sebagai teman, apalagi lebih.

Hari-hariku setelahnya samar-samar.

Aku ingat menangis bermalam-malam dan kurang tidur.
Aku ingat melamun di lampu merah sampai hampir ditegur polisi lalu lintas.
Aku ingat menenggelamkan diri dalam pekerjaan karena berfikir bahwa satu-satunya yang mampu kulakukan saat itu hanyalah bekerja.
Aku ingat migrain dan demam setiap kali habis teringat kamu.
Aku ingat menulis panjang untukmu tapi lalu tidak kukirimkan karena yakin kamu tidak mau membaca.
Aku ingat berpura-pura baik-baik saja dihadapan semua orang, hanya untuk menyadari bahwa aku tidak baik-baik saja saat sendirian.

Tapi hanya sampai disitu.

Aku tidak begitu ingat sisanya, seperti bagaimana aku kembali berdiri lagi, dan menulis dengan tenang hari ini.

Sampai hari ini, aku masih belum siap bangkit sepenuhnya. Aku masih gemetar dan menangis tiba-tiba karena membayangkan rasa bersalahmu. Aku masih sering melamun dan hampir-hampir menyesali semua yang terjadi, karena untuk pertama kalinya ternyata aku tidak siap menghadapi semua konsekuensi ini.

Tidak satu pun tahu seluruh ceritanya, tidak teman, tidak juga keluarga. Juga tidak satu pun tahu bahwa hingga saat ini aku masih terdiam di tempat yang sama dan masih menatap arah yang sama. Aku masih disini, tempat dimana aku melihatmu pergi menjauh, mungkin masih berjaga seandainya kamu masih ingin menoleh ke belakang, atau... mungkin berbalik dan berjalan ke arah sini lagi?

Aku tidak berharap banyak, bahkan telah mengulang lagi dan lagi skenario di dalam kepalaku soal hidup seorang diri, bersiap jika memang setelah kamu tidak ada lagi yang mampu, jika memang setelah kamu, aku tidak lagi mampu seyakin itu.

Tidak apa-apa. Mungkin berat, tapi aku yakin setiap orang punya takdir masing-masing.

Aku memang belum mampu, tapi aku yakin suatu saat nanti aku bisa menjalani takdirNya ini dengan lebih ringan, tanpa tiba-tiba sedih dan menangis. Aku pun yakin kamu mampu melepas rasa bersalahmu perlahan dan menerima bahwa semua memang sudah ditakdirkan seperti ini.

Yang perlu kamu tahu, jika seandainya kamu membaca, menerima takdirNya atas kamu dan aku tidak harus berarti berpindah dari tempat dimana aku berdiri, tidak berarti berhenti memiliki afeksi, tidak menyaratkan perlu bersama orang lain.

Aku yakin, aku akan mampu menerimanya tanpa perlu berhenti menyayangimu, aku mampu menghormati pilihanmu dan melangkah mundur dari hidupmu demi kebahagiaanmu, tapi di saat yang sama masih berdiri di sini berjaga seandainya kamu kembali. Bukan karena aku obsesif, atau tidak punya keyakinan bahwa aku bisa berjodoh dengan orang lain. Tapi, seperti yang pernah kamu bilang...
Untuk apa aku melangkah maju kalau tidak yakin? Untuk apa aku berpindah jika tidak ada yang lebih meyakinkan? 

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook