Bab Dua Puluh Enam: Evaluasi dalam Mendalami Esensi

September 29, 2022

Setidaknya sudah ada beberapa bab dalam kehidupan seorang anak manusia yang telah melalui seperempat abad.

Fase satu,

Masa dalam buaian kedua orang tua, dimana kita boleh hanya mau tau hak saja dan abai terhadap kewajiban.

Fase dua,

Masa sekolah dasar, saat yang terpenting adalah "berprestasi" dalam pengertian yang sangat terbatas tergantung pada orang dewasa seperti apa yang berada di sekitar kita pada saat itu.

Fase tiga,

Masa sekolah menengah, yang penuh hal absurd tentang betapa bahagianya menjadi orang dewasa, awal pertama mengenal konsep dasar tentang mencintai yang bukan keluarga, serta masa-masa terusik rasa penasaran dan ingin mencoba segalanya.

Fase empat,

Masa dewasa muda, menjadi senaif-naifnya manusia, percaya bahwa putih dan hitam sempurna benar adanya, berteriak "lawan" tanpa punya daya dan senjata kecuali nyali yang membara, masa yang membuatku mengerti mengapa Soekarno hanya butuh 10 pemuda untuk mengguncangkan dunia. Idealisme yang fana dan jauh dari realita, keyakinan yang kuat tanpa metodologi yang riil, ini adalah bahan bakar tak terelakkan untuk melawan hegemoni yang sudah terlalu mengakar.

Kini setidaknya aku ada di fase kelima, masa-masa awal menjadi dewasa, lepas dari dewasa muda, masa kelima inilah yang dulu kusebut "idealismenya bisa dibeli oleh iming-iming harta dan kuasa".

Dalam menjalani keempat fase yang sudah lalu dan memasuki fase kelima, satu hal yang terus konsisten kujaga, "aku tidak pernah mau menghancurkan fase dan diskursus orang lain." Opini, pandangan, dan sikap dari setiap manusia di masing-masing fase sama pentingnya dalam membentuk sebuah tatanan masyarakat. Opini anak-anak sebelum masuk sekolah, anak-anak sekolah dasar, manusia pada level sekolah menengah, para dewasa muda, bahkan hingga mereka yang tua harus dipertimbangkan dengan tingkat keseriusan yang sama.

Aku terus menekankan pada diriku, bahwa ide dari setiap entitas yang fasenya berbeda dariku berangkat dari dasar pengetahuan yang berbeda sehingga tentu saja sikapnya berbeda. Tapi, apakah itu artinya ide ini harus didestruksi? Tidak! Ide dari entitas yang berbeda ini harus diindahkan sebagai bagian dari proses dialektika.

Jadi, meski saat ini aku sudah lulus, bekerja di pemerintahan, "melihat" lebih banyak daripada aku lima tahun yang lalu, tidak pernah sekalipun aku menilai apa yang dilakukan adik-adik mahasiswa turun ke jalan itu sia-sia. Tidak pernah aku merasa mereka "tidak paham apa-apa", karena aku selalu berangkat pada pemikiran bahwa kita mungkin tidak bisa sepenuhnya saling memahami, tetapi kita masing-masing pasti paham apa yang kita lakukan sendiri.

Kembali ke bab dua puluh enam hidupku, kembali pada perenunganku dalam memasuki awal fase kelima, sebuah fase yang kuyakini akan berlangsung dalam kurun waktu yang cukup signifikan, sebelum aku memasuki fase keenam: tanggung jawab terhadap keluargaku sendiri.

Fase limaku sudah dimulai sejak tiga tahun yang lalu sebenarnya, masa-masa dimana idealisme butaku dimentahkan habis oleh realita. Masa-masaku sering tertekan sendirian karena harus bisa menjadi bukan diriku atas nama "konsekuensi", masa-masaku masih gagal berpindah dari atmosfer bebas berfikir di kampus, masa-masaku sering bertanya pada diriku sendiri, "apa ini yang kamu mau?"

Sekarang aku sudah mulai terbiasa. Tidak berarti menerima, tapi aku belajar untuk tidak selalu mengingkari dengan "tangan", aku belajar berkaca pada kapasitas diriku saat ini, dan belajar bersabar sambil berusaha lebih memahami lagi apa yang terjadi. Banyak orang memilih jalan lain, tapi untuk sekarang, jalan inilah yang kupilih. Suatu saat, "tangan" ini akan menemukan jalan dimana ia tidak akan berhenti meski dibujuk dengan apapun.

Meski masih banyak hal tanda tanya di masa depan, setidaknya satu hal yang aku tanam sedalam-dalamnya sebagai hasil dari perenungan bermalam-malam:

Harta dan moral, kuasa dan moral, dalam tatanan sosial yang seperti hari ini, berbanding terbalik satu sama lain, menciptakan trade-off yang tidak terelakkan. Kalau mau hidup tenang tanpa merasa tertekan secara moril, maka terimalah jika harta dan kuasamu akan biasa-biasa saja. Pertanyaan besarnya, hidupmu itu esensinya apa? Apa mau mengejar harta dan kuasa sebegitunya sampai menggadaikan moral? Tidak ada operasi bersih yang menghasilkan capaian fantastis, itu faktanya.

Maka kesimpulan dari perenunganku dalam awal usia ke-26 ini adalah jika aku tidak memiliki cara untuk mendorong reformasi dalam tatanan sosial eksisting, setidaknya pada sektor atau region tertentu, untuk bisa menekan dampak dari trade-off yang kusebutkan di atas, maka aku akan belajar menerima harta dan kuasa yang segitu saja sehingga hanya bisa melakukan yang begitu saja. Karena bagiku, hidup hanyalah panggung semata, untuk kita berjuang sebaik-baiknya dihadapanNya, supaya ketika dibangkitkan setelah mati dan ditanya, "kamu sudah melakukan apa?" Aku bisa menjawab:

Aku sudah berjuang sebaik-baiknya, sekeras-kerasnya, sekuat-kuatnya, selapang-lapangnya, dan sepasrah-pasrahnya, karena sejatinya dunia ini milikMu dan aku percaya bahwa aku akan kembali padaMu.


Jakarta, 29 September 2022
Lembar ketujuh dalam bab kedua puluh enam
Untukku di masa depan, jika kamu sempat berfikir untuk mengkhianati ikrarmu sendiri 

You Might Also Like

0 comments

Like us on Facebook