Tempo hari,
bertepatan dengan Hari Perempuan Sedunia, saya menulis tentang seberapa saya
bangga menjadi seorang perempuan. Namun, sebelum kebanggaan itu datang, saya pernah
sangat tidak suka menjadi seorang perempuan. Menurut saya, pada saat itu status
perempuan saya menjadi penghalang untuk saya bisa mengeksplorasi potensi
sedemikian rupa.
Di
kesempatan kali ini, saya akan sedikit bercerita tentang alasan-alasan dibalik
ketidaksukaan saya menjadi seorang perempuan.
Pengalaman
ini terjadi saat saya sekolah SMA MAN. Sekolah saya adalah sekolah
berasrama yang pada saat itu beasiswa penuh dengan seleksi nasional yang
sebegitu ketat. Gambaran ketatnya adalah dari sekitar 4000 orang yang ikut
seleksi, hanya 240 orang yang diterima untuk menuntut ilmu di sekolah tersebut.
Dengan kondisi seperti itu, tidak heran jika orang-orang yang ada di dalamnya
pada awalnya merasa sebagai “orang-orang terpilih” dari penjuru negeri. Tak
ubahpun saya sendiri sebenarnya.
Dengan
keangkuhan yang kekanakan yang sebenarnya standar pada saat itu, saya banyak membuat "keributan" di kelas. Setiap ada teman yang presentasi di kelas, saya selalu membombardir dengan pertanyaan sok kritis. Setiap giliran saya yang presentasi, saya selalu dengan santai dan berani menjawab tindakan-tidakan yang memojokkan dengan semakin memojokkan. Kelas pada saat itu membuat saya merasa muak sebab kekeras kepalaan yang satu bertabrakan dengan kekeras kepalaan yang lain.
Selain keributan-keributan dalam forum formal, tak jarang saya beradu pendapat dengan kawan sekelas yang laki-laki. Bertengkar dengan berani, yah, hal normal yang dilakukan orang yang keras kepala. Saya selalu merasa mereka diam-diam menjelekkan saya di belakang. Perasaan yang tidak pernah saya pedulikan karena toh apa salahnya kalau saya mempertahankan apa yang saya anggap benar.
Selain konflik dengan teman-teman laki-laki, saya juga sedikit berkonflik dengan kawan perempuan saya. Pembawaan saya yang kadang terlalu santai, ringan, dan sedikit tidak berperasaan membuat beberapa teman saya menangis dan membicarakan saya (saya baru tahu ini di kelas 3 saat akan lulus).
Meski banyak konflik yang terjadi, saya tidak pernah benar-benar memedulikan. Sebab bagi saya manusia pasti akan selalu tidak puas kepada orang lain, pasti akan selalu membicarakan sesamanya tanpa yang dibicarakan tahu. Selama mereka membicarakan saya tetapi tidak secara langsung menyampaikannya, maka sebenarnya mereka tidak benar-benar peduli.
Titik balik saya adalah di kelas BK, ketika guru saya menginstruksikan untuk menggeser buku cetak milik masing-masing siswa dan membiarkan teman-teman sekelas menuliskan apa yang mereka pikirkan tentang sang pemilik buku. Hasilnya sangat mengejutkan saya. Wadah anonim yang disiapkan guru BK pada hari itu ternyata dimanfaatkan dengan baik oleh kawan-kawan saya untuk menuliskan kata-kata yang masih saya ingat sampai hari ini.
"Jangan terlalu berani, Na! Kamu perempuan!"
"Pingin ngalahin cowok apa gimana, Na?"
"Nggak butuh imam ya?"
"INGET NA KAMU AKHWAT!"
Membaca semua cibiran kawan-kawan yang secara jelas memojokkan, saya hanya diam di tempat duduk dan berusaha tetap terlihat biasa saja. Seorang teman terdekat saya bertanya apa saya tidak apa-apa, saya hanya menjawab santai bahwa di negara ini saat ini setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapatnya. Pun saya berhak secara bebas mengekspresikan diri saya, menyuarakan apa yang benar dan apa yang salah dengan lantang dan berani. Toh, saya tidak mempermasalahkan personal judgement teman-teman. Saya merasa wajar mereka bersikap seperti itu, tapi saya tidak mau menjadi orang lain hanya untuk membuat mereka mau berteman tulus dengan saya. Saya tidak mau hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain.
Meski saya tidak peduli, hari itu saya mendapat banyak nasihat dari Ibu Rini, Guru BK saya. Beliau menyarankan saya untuk introspeksi diri. Karena sebagai seorang manusia dalam sebuah tatanan sosial tentu saya tidak bisa menghindari dari manusia-manusia lainnya. Saya harus bisa memasukkan diri saya sedemikian rupa dalam tatanan sosial dan kalau saya tidak bisa masuk dalam lingkaran mana pun, berarti ada sesuatu dari diri saya yang salah.
Pada saat itu ego saya masih sangat tinggi. Bukan mengintrospeksi diri, saya malah sibuk mempertanyakan, kebanyakan kalimat protes yang disuarakan kawan-kawan membawa-bawa soal gender, apakah itu berarti jika saya bukan seorang perempuan maka saya tidak masalah melakukan hal-hal yang dilakukan oleh diri saya saat ini.
Apakah jika saya perempuan lantas saya menjadi tidak boleh kritis? Tidak boleh mengevaluasi hal yang menurut saya salah? Tidak boleh lantang dalam forum? Tidak boleh beradu pendapat? Apa memang hanya kaum laki-laki yang boleh demikian?
Sebab saya lelah ditolak, akhirnya saya mulai menata diri saya sedemikian rupa agar dapat diterima oleh kawan-kawan. Perlahan, saya mengubur diri saya yang lama, yang bagi saya adalah diri saya yang sesungguhnya. Saya redam.
Saya mulai malas berkomentar di forum angkatan, atau sekadar bertanya saat presentasi di kelas. Saya menyerah mempertahankan karakter saya di hadapan teman-teman angkatan saya sendiri. Sambil berusaha menenggelamkan diri, saya berusaha memahami makna perempuan yang dihayati oleh kawan-kawan saya pada umumnya. Tentang bagaimana seorang perempuan harus mampu sebagai seorang pendukung (bukan pelaku utama), hampir segala sesuatu yang saya dapatkan baik secara eksplisit, maupun implisit mengarahkan saya ke makna tersebut.
Energi dan keinginan aktualisasi diri yang saya miliki akhirnya saya salurkan untuk mengurus sebuah acara eksternal besar sekolah: SONIC LINGUISTIC 2012. Saya memaksimalkan potensi yang saya miliki untuk menyukseskan acara tersebut karena saya merasa kakak-kakak di internal kepanitiaan menerima saya tanpa saya harus menahan diri.
Memasuki masa-masa transisi kenaikan kelas, acara yang biasanya saya urus telah berakhir. Berakhirnya acara itu di 2012 adalah sinyal berlanjutnya acara tersebut di tahun berikutnya, 2013. Sekarang akan saya buka, pada saat itu saya ingin sekali menjadi ketua acara tersebut di 2013. Saya merasa ingin menjadi orang yang menentukan acara ini akan dibawa kemana. Tapi ketika saya diam mendengar teman-teman berpendapat, rupanya kebanyakan teman-teman tidak mau ada ketua acara perempuan.
Momen pemilihan ketua OSIS pun datang. Saya tidak pernah berencana untuk mendaftar sejujurnya sebab di tahun sebelumnya pun saya bukan pengurus OSIS. Tapi ketika itu saya berpikir mungkin ini saatnya saya kembali mengaktualisasikan diri saya. Mungkin ini adalah saat yang tepat untuk bisa membuktikan diri dengan pengabdian setulus-tulusnya tanpa mengekspektasikan balasan apapun.
Selama masa diam, saya mengembangkan banyak pemikiran mengenai status saya sebagai seorang perempuan. Saya merasa, momen ini juga tepat untuk menguji ide saya mengenai perempuan, minimal di internal sekolah.
Dengan tambahan dorongan sindiran kakak-kakak tingkat karena jumlah orang yang mendaftar calon ketua OSIS di tahun tersebut lebih sedikit dari tahun sebelumnya (yah, masalah antarangkatan cukup normal kan di sekolah berasrama), saya akhirnya menyerahkan proposal. Dengan bekal semangat bahwa dalam sebuah institusi pendidikan, seorang perempuan juga berhak atas kesempatan seluas-luasnya menjadi seorang ketua organisasi. Toh, secara formal seorang perempuan tidak masalah untuk berpartisipasi.
Rupanya, banyak peraturan tak tertulis dalam masyarakat. Salah satunya adalah aturan mengenai seorang perempuan yang ingin mencalonkan diri menjadi kepala suatu organisasi. Saya sudah memprediksi sebelumnya bahwa kemungkinan saya akan menghadapi ini. Tapi ketika saya benar-benar menghadapinya, ternyata saya cukup takut.
Setelah melalui berbagai macam tantangan, dari yang sederhana yaitu studi kasus di pinggir lapangan bola, diskusi bersama calon lainnya sampai tengah malam, wawancara di lingkaran kecil tengah malam, sidang satu lawan banyak dengan koordinator-kordinator divisi pengurus OSIS tahun tersebut, akhirnya malam yang paling saya ingat datang. Malam itu setelah shalat isya, di masjid, saya mendapatkan waktu kampanye pribadi. Menjelaskan visi misi dan mendapatkan banyak sesi tanya jawab.
Malam itu saya sudah menyiapkan konten sebaik-baiknya, sebab calon-calon lainnya banyak ditanya soal konten yang dibawanya. Sayangnya, kebanyakan pertanyaan yang saya terima jauh dari bayangan saya sebelumnya. Pertanyaan yang saya terima adalah:
"Kamu kan perempuan, gimana kamu bisa naik mimbar?"
"Di studi kasus jawaban kamu soal ICare sangat memperlihatkan bahwa kamu perempuan dan kamu tidak memahami laki-laki."
"...tidak akan sukses suatu kaum, jika dipimpin oleh seorang perempuan..."
"Kamu tau nggak? Perempuan seangkatan kami nggak suka sama kamu lho."
Laki-laki maupun perempuan, dari angkatan mana pun, mempertanyakan hal yang serupa. Meski memang mayoritasnya laki-laki. Hal-hal yang intinya menyuarakan, "kamu kan perempuan, kenapa kamu ada disana?". Malam itu saya tidak lepas dari menarik nafas panjang untuk menenangkan diri. Tekanan yang cukup sepadan dengan ide yang sedang saya uji dan berusaha saya buktikan sendiri. Ide soal perempuan dalam lingkaran saya sendiri.
Saya tahu saya tidak akan terpilih. Tapi setidaknya semua proses yang saya lalui ini benar-benar memberikan banyak pandangan baru untuk saya. Pandangan mengenai manusia, laki-laki, dan perempuan. Pandangan saya terhadap diri saya sendiri.
Pada akhirnya saya paham apa yang teman-teman saya suka dan tidak suka lalu perlahan mulai bisa menyesuaikan tanpa merasa terpaksa. Meskipun bahkan sampai saya lulus dan menginjak bangku kuliah, saya tahu bahwa saya tidak bisa menjadi sosok perempuan yang "perempuan" di mata teman-teman. Bahkan banyak dari mereka yang terang-terangan tidak pernah menghitung saya sebagai "perempuan" dalam hal terkait perlindungan.
Awalnya saya protes karena tidak diperlakukan sama dengan kawan-kawan perempuan yang lain, bahkan ketika menyentuh hal terkait "penyelesaian konflik" (sampai ketika kami berkonflik, ada satu multichat isinya laki-laki semua dan di dalamnya kabarnya ngomongin keburukan saya, kalau dipikir lagi saya cukup terharu sebenarnya). Tapi saya lalu paham sendiri kalau saya memang tidak bisa menjadi perempuan yang "itu". Sederhana alasannya, sebab itu bukan saya dan jika saya menjadi itu maka saya tidak menjadi saya.
Beberapa teman sempat menasihati bahwa perempuan seharusnya tidak terlalu dominan sebab sulit menemukan laki-laki yang akan mau bersama seorang perempuan yang dominan. Saya hanya tersenyum mendengar nasihat-nasihat tersebut dan tidak berusaha menyangkal. Kenapa harus saya sangkal? Toh, itu yang diyakininya bukan?
---
Ada beberapa hal yang perlu saya klarifikasi dari cerita ini.
Satu, saya paham betul tugas mulia seorang perempuan menjadi seorang anak, seorang istri, seorang Ibu. Saya pun adalah orang yang pada akhirnya akan berusaha untuk berbakti kepada seorang laki-laki yang Allah takdirkan menjadi imam saya, jika Allah memberikan saya kesempatan untuk menyempurnakan separuh agama saya di kemudian hari. Saya akan berusaha menjadi seorang perempuan yang menyayangi anak-anaknya jika Allah menakdirkan saya menjadi seorang Ibu.
Dua, saya telah menyadari betul bahwa perempuan dan laki-laki memang memiliki peran berbeda. Karena kalau tidak dimaksudkan untuk memiliki peran berbeda, bagaimana mungkin diciptakan dengan berbeda?
Tapi membersamai dua poin klarifikasi tersebut, saya adalah orang yang meyakini bahwa demi pendidikan, laki-laki dan perempuan seharusnya memperoleh kesempatan yang sama, baik secara tertulis dan tidak.
Saya orang yang meyakini bahwa tidak semua perempuan harus sama, tidak ada kata perempuan harus "ini" atau harus "itu". Perempuan adalah bagaimana seorang perempuan mendefinisikan dirinya sendiri. Ia dapat berperan sesuai dengan potensi dan posisinya semaksimal yang ia bisa. Ia tak pernah perlu memaksa diri menjadi orang lain, atau menahan dari keinginan aktualisasi diri.
Selama dalam kerangka hukum dan etika, ia tak perlu memendam apa yang ia pikirkan. Ia berhak mengatakan bahwa kebenaran adalah benar dan kesalahan adalah salah.
Tak perlu takut akan apapun yang menghadang. Sebab tak pernah ada larangan untuk seorang perempuan memiliki tekad dan mental yang kuat.
Kita berhak bermimpi.
Kita berhak bermimpi.
Dan kita pun berhak mewujudkannya.
Untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater.
Hidup Perempuan Indonesia!
---
Andriana Kumalasari
Mahasiswa Teknik Sipil ITB
Ketua Parade Wisuda Juli ITB 2017
(Calon) Menteri Inkubasi Kajian, Kemenkoan Sosial Politik Kabinet KM ITB 2017
Perempuan Indonesia
Ditulis dalam rangka peringatan Hari Perempuan Indonesia
21 April 2017
17.46 (UT+7)
Sekre KM ITB