Semasa kuliah tingkat akhir, aku suka sekali dengan topik ini. Kemanapun dengan siapapun, bahkan rekan pergerakan sekalipun, pasti sempat membicarakan topik ini. Konsep "menikah" yang aku pahami dari teori pada saat itu terasa sangat mudah dan menggiurkan. Logikanya pun sederhana saja, meski memang menjalaninya tidak semudah bicara.
Aku setahun yang lalu juga selalu bilang bahwa pada saatnya aku ingin menikah, dan bersedia meninggalkan apapun hidupku nantinya demi bisa bersama seseorang. Demi tidak sendirian menghabiskan waktu, demi tidak berbeda dengan yang lainnya, dan tentunya demi mendidik seorang insan menjadi kader yang sangat luar biasa di atas bumiNya.
Keinginan aku setahun lalu sederhana sekali. Hanya ingin punya teman berbagi cerita, hanya ingin bersandar pada raga yang nyata.
Tapi, setelah menjalani hampir satu tahun lepas dari kampus, menjalani hidup yang sebenarnya, lepas dari segala kenaifan masa muda, aku mulai berfikir bahwa menikah jadi tidak semenarik itu lagi. Selain keinginan untuk mendidik seorang anak manusia dan tentunya embel-embel menyempurnakan separuh agama, rasanya aku tidak memiliki motivasi lainnya untuk menikah.
Aku takut.
Aku takut berpisah dari keluargaku yang hari ini. Aku mencintai Bapak, aku mencintai Mama, aku tidak pernah terfikirkan bahwa akan ada saat dimana mereka bukan lagi manusia yang menjadi prioritasku, bukan lagi tempat aku meletakkan baktiku, bukan lagi satu-satunya manusia yang memegang kunci surgaNya untukku.
Aku takut kehilangan diriku sendiri. Aku takut laki-laki itu nantinya menggunakan kewenangannya sebagai seorang kepala keluarga untuk mematikan karakterku, membunuh seorang Andriana. Aku takut pada titik itu diriku tidak lagi bisa terdefinisi selain berdiri di sampingnya. Aku takut hanya bisa menjadi istrinya dan ibu dari anak-anaknya, tanpa bisa menjadi seorang individu, atau menjadi bagian dari masyarakat. Aku takut nantinya aku tidak bisa menghargai diriku sendiri.
Aku takut gagal. Aku takut harus berhenti di tengah jalan dan dituding tak mampu mempertahankan. Sebab jika kamu mengenalku, kamu pasti tahu bahwa Andriana tidak akan pernah maju, kecuali ia yakin bahwa ia tidak akan kalah, karena aku selalu takut dan membenci kekalahan.
Aku takut berubah pikiran. Aku takut keputusanku menikah adalah karena terpaksa dan terdesak sehingga pada satu titik aku berubah pikiran dan menghentikan segala proses yang telah berjalan. Sebab itulah yang selalu terjadi beberapa tahun ke belakang. Aku selalu merasa orang ini kurang meyakinkan, atau malah aku yang kurang untuk dia, sehingga aku tidak pernah berani melangkah maju dengan resiko setinggi itu.
Saat ini, aku merasa segala hal dalam hidupku mudah, kecuali soal jodoh. Sebab sampai saat ini, aku belum pernah benar-benar menemukan "orang yang tepat". Bahkan ketidakmampuanku menemukan orang "ini" pada akhirnya membawaku pada pemikiran, "kalau sendiri saja aku sudah bisa bahagia, untuk apa mengambil resiko bersama orang lain padahal belum tentu bisa saling membahagiakan?"
"Nggak bersyukur banget sih, Na! Banyak lho pasti yang suka sama kamu! Kamunya aja yang nggak mau lihat."
Karena aku tidak pernah mencari mereka yang menyukaiku, atau yang kusukai. Aku mencari orang yang bisa meyakinkanku bahwa ia akan menempatkan orangtuaku seperti orangtuanya.
Meyakinkanku bahwa bersamanya aku tidak akan pernah kehilangan jati diriku, dan dia tidak akan memaksaku berubah untuk menjadi perempuan idamannya. Karena meskipun aku tidak seperti wanita idamannya, kedewasaannya membuat dia mau menerimaku.
Meyakinkanku bahwa usahanya untuk mempertahankan pernikahan ini adalah sama besarnya denganku, bahwa meskipun di satu titik dia merasa bosan, tapi usahanya akan membuat dia bertahan. Dia akan menjadikanku orang pertama yang tahu ketika dia mulai ragu, sebab aku pun juga akan seperti itu.
Meyakinkanku sampai aku tidak mampu berubah fikiran, sebab dia selalu membawaku kepada realita bahwa dia adalah pilihan terbaik dan paling realistis yang aku punya. Begitu percaya diri sampai dia sebegitu meyakinkanku bahwa tidak ada lagi yang perlu kuminta darinya, sebab meski dia tidak sempurna, dia selalu cukup.
Sulit ya?
Kalau begini, jadi semakin enggan saja rasanya menikah. Bagaimana lagi, Andriana memang selalu enggan memulai sesuatu, kecuali ia yakin bahwa ia akan berhasil.
Aku setahun yang lalu juga selalu bilang bahwa pada saatnya aku ingin menikah, dan bersedia meninggalkan apapun hidupku nantinya demi bisa bersama seseorang. Demi tidak sendirian menghabiskan waktu, demi tidak berbeda dengan yang lainnya, dan tentunya demi mendidik seorang insan menjadi kader yang sangat luar biasa di atas bumiNya.
Keinginan aku setahun lalu sederhana sekali. Hanya ingin punya teman berbagi cerita, hanya ingin bersandar pada raga yang nyata.
Tapi, setelah menjalani hampir satu tahun lepas dari kampus, menjalani hidup yang sebenarnya, lepas dari segala kenaifan masa muda, aku mulai berfikir bahwa menikah jadi tidak semenarik itu lagi. Selain keinginan untuk mendidik seorang anak manusia dan tentunya embel-embel menyempurnakan separuh agama, rasanya aku tidak memiliki motivasi lainnya untuk menikah.
Aku takut.
Aku takut berpisah dari keluargaku yang hari ini. Aku mencintai Bapak, aku mencintai Mama, aku tidak pernah terfikirkan bahwa akan ada saat dimana mereka bukan lagi manusia yang menjadi prioritasku, bukan lagi tempat aku meletakkan baktiku, bukan lagi satu-satunya manusia yang memegang kunci surgaNya untukku.
Aku takut kehilangan diriku sendiri. Aku takut laki-laki itu nantinya menggunakan kewenangannya sebagai seorang kepala keluarga untuk mematikan karakterku, membunuh seorang Andriana. Aku takut pada titik itu diriku tidak lagi bisa terdefinisi selain berdiri di sampingnya. Aku takut hanya bisa menjadi istrinya dan ibu dari anak-anaknya, tanpa bisa menjadi seorang individu, atau menjadi bagian dari masyarakat. Aku takut nantinya aku tidak bisa menghargai diriku sendiri.
Aku takut gagal. Aku takut harus berhenti di tengah jalan dan dituding tak mampu mempertahankan. Sebab jika kamu mengenalku, kamu pasti tahu bahwa Andriana tidak akan pernah maju, kecuali ia yakin bahwa ia tidak akan kalah, karena aku selalu takut dan membenci kekalahan.
Aku takut berubah pikiran. Aku takut keputusanku menikah adalah karena terpaksa dan terdesak sehingga pada satu titik aku berubah pikiran dan menghentikan segala proses yang telah berjalan. Sebab itulah yang selalu terjadi beberapa tahun ke belakang. Aku selalu merasa orang ini kurang meyakinkan, atau malah aku yang kurang untuk dia, sehingga aku tidak pernah berani melangkah maju dengan resiko setinggi itu.
Saat ini, aku merasa segala hal dalam hidupku mudah, kecuali soal jodoh. Sebab sampai saat ini, aku belum pernah benar-benar menemukan "orang yang tepat". Bahkan ketidakmampuanku menemukan orang "ini" pada akhirnya membawaku pada pemikiran, "kalau sendiri saja aku sudah bisa bahagia, untuk apa mengambil resiko bersama orang lain padahal belum tentu bisa saling membahagiakan?"
"Nggak bersyukur banget sih, Na! Banyak lho pasti yang suka sama kamu! Kamunya aja yang nggak mau lihat."
Karena aku tidak pernah mencari mereka yang menyukaiku, atau yang kusukai. Aku mencari orang yang bisa meyakinkanku bahwa ia akan menempatkan orangtuaku seperti orangtuanya.
Meyakinkanku bahwa bersamanya aku tidak akan pernah kehilangan jati diriku, dan dia tidak akan memaksaku berubah untuk menjadi perempuan idamannya. Karena meskipun aku tidak seperti wanita idamannya, kedewasaannya membuat dia mau menerimaku.
Meyakinkanku bahwa usahanya untuk mempertahankan pernikahan ini adalah sama besarnya denganku, bahwa meskipun di satu titik dia merasa bosan, tapi usahanya akan membuat dia bertahan. Dia akan menjadikanku orang pertama yang tahu ketika dia mulai ragu, sebab aku pun juga akan seperti itu.
Meyakinkanku sampai aku tidak mampu berubah fikiran, sebab dia selalu membawaku kepada realita bahwa dia adalah pilihan terbaik dan paling realistis yang aku punya. Begitu percaya diri sampai dia sebegitu meyakinkanku bahwa tidak ada lagi yang perlu kuminta darinya, sebab meski dia tidak sempurna, dia selalu cukup.
Sulit ya?
Kalau begini, jadi semakin enggan saja rasanya menikah. Bagaimana lagi, Andriana memang selalu enggan memulai sesuatu, kecuali ia yakin bahwa ia akan berhasil.