Bukan rahasia saat kubilang aku punya banyak cerita cinta yang tidak selesai.
Menyukai seseorang dan (merasa) digantung selama bertahun-tahun ternyata memberikan damage yang cukup luar biasa terhadap kisahku setelahnya. Cerita yang ada setelah Juli 2016 lalu seluruhnya terpotong di tengah jalan. Entah karena aku yang mundur, aku menolak, atau situasi tidak mengizinkan untuk cerita ini berlanjut.
Orang boleh panggil aku "penjahat", tapi aku tidak pernah berniat menyakiti siapapun. Aku hanya tidak mau memulai sesuatu yang kemungkinan berhasilnya tidak tinggi. Aku hanya takut gagal, dan takut bahwa kegagalan itu bersumber dariku.
Sejak 2016 hingga hari ini, banyak orang berlalu lalang dalam hidupku. Datang dan pergi di hadapanku, tanpa pernah aku sedikitpun membuka pintu untuk mengenalku lebih dalam. Well, I always said that they don't know me enough, but I never let anyone to get to know me better. I am aware of that. I always am.
...
Aku akan terlihat menikmati kedekatan dan tertarik, tapi ketika diajak berkomitmen lebih jauh, aku mundur. Karena aku selektif? Bukan, karena aku tidak yakin kalau diriku mampu berkomitmen saat itu. Aku merasa belum bisa menempatkan orang lain sebagai prioritas. My priority number one is myself.
Satu tahun lalu, salah satu dari mereka yang pernah berlalu lalang ini memberikan undangan pernikahan. Aku senang, tentu saja. Sincerely happy for them. Aku mengatur jadwal untuk hadir ke pernikahan itu, tentu saja karena pada saat itu outbreak pandemi belum terjadi di Indonesia. Aku masih menjadi orang yang akan fly from town to town untuk menghadiri undangan seseorang.
Malamnya, tiba-tiba orang itu mengirimkan beberapa pesan WA mengenang masa lalu. Lalu, akhirnya sampai kepada pertanyaan... "Knp ya dulu kita ngga jadian?"
Aku ngakak. Serius. Bukan karena lucu, tapi karena ironi. Mungkin pertanyaan ini yang pingin banget aku tanyain ke... empat (?) orang lainnya. Apa yang membuat aku berhenti di tengah jalan? Apa yang membuat keyakinanku hilang saat kami sedang dekat-dekatnya? Apa yang membuatku mundur pada masa-masa itu?
Oh ya, dan satu orang ini yang paling mendekati akan jadi, karena aku ingat persis kenapa aku dan dia nggak bisa sama-sama. Dulu aku nggak jadi sama dia karena dia kembali dengan mantannya. Sepertinya alasan itu aja sudah cukup ya, karena aku nggak berniat menghancurkan hubungan orang lain. Meskipun, faktanya orang ini bukan mau menikah dengan mantannya yang itu, malah dengan orang lain yang mungkin baru untuknya. Happy for you, Kak!
Kembali ke ceritaku.
Setahun lalu itu, aku ngobrol banyak dengan orang ini, menjelaskan situasi apa yang membuat kami nggak bisa sama-sama, seperti apa perasaanku pada saat itu, dan bahwa tidak ada penyesalan meski kita nggak jadian, karena aku mensyukuri hidupku hari ini dan bahwa aku nggak akan menjadi diriku kalau saja waktu itu ceritanya lain.
Dia, yang memang sudah mau menikah, pun sepertinya lega saja dengan percakapan itu. Kami menyelesaikan hal-hal yang ingin sekali ditanyakan, tapi belum ada kesempatan sebelumnya. Lalu pada akhirnya mengakhiri percakapan malam itu dengan kata "terima kasih" dan kembali menghilang ke kehidupan masing-masing.
...
Berbulan-bulan kemudian, mendekati ulang tahunku ke-24, aku mendapatkan pesan dari orang yang tidak terduga. Orang yang menjadi titik awal semuanya. Orang pertama yang membuatku patah hati separah itu.
Hanya saja kali ini, aku sudah belajar menempatkan diri. Waktu tiga tahun sudah sangat cukup untuk aku membenahi sikap dan perasaan, lalu melihat kembali situasinya dengan hati yang lebih lapang.
Setelah berbalas pesan cukup sering, ada satu kesempatan kami akhirnya bertemu. Seperti dua orang teman lama, seperti tidak pernah ada yang tersakiti, seperti aku lupa bahwa aku pernah menangis sampai pagi karena patah hati.
Kami berbincang panjang tentang segala hal. Semua hal. Kecuali tentang aku dan dia.
Kufikir, setelah percakapan melegakan dengan orang yang mau menikah itu berbulan-bulan lalu, aku akan melakukan hal yang sama dengan orang yang kutemui di sore hari Bulan September ini. Kufikir, aku akan menodong penjelasan dan menanyakan semua hal yang sebelumnya tidak kutahu.
Selama perbincangan berlangsung, selama itu juga aku berfikir panjang apakah aku akan memulai membicarakan tentang diriku, bagaimana dia membuatku patah hati, mungkin setengah menyalahkannya jika memungkinkan. Lol.
Tapi, tidak. Pada akhirnya aku hanya menikmati percakapan itu sebagai dua orang teman lama yang bertemu kembali. Tidak meminta penjelasan apa-apa karena kurasa ceritanya sudah cukup untuk membuatku memahami... bahwa kami hanya terlalu muda saat itu dan aku hanya terlalu imaginatif dan overthinking. Mungkin cerita aslinya tidak sedrama itu, hanya jiwa mudaku yang mendramatisir.
Aku tidak perlu tau apakah dia merasakan hal yang sama denganku atau apakah kita punya peluang untuk bersama. Karena melihat aku dan dia hari itu, sejauh mana kami masing-masing berkembang, ke arah mana, menjadi orang yang seperti apa, aku tahu bahwa tidak bersama adalah jalan terbaik. Bahwa tumbuh masing-masing adalah takdir yang aku syukuri.
Hari itu, untuk pertama kalinya, aku melihat dia sebagai seorang individu, yang punya kekurangan dan kelebihan. Punya kesedihan, punya masalah, dan juga berjuang atas hidupnya. Bukan kakak kelas idaman yang punya segalanya yang aku taksir bertahun-tahun dan nggak punya kekurangan apa-apa. He's totally human, just like me, and just like the others.
Jadi begitulah akhir kisahku dengan my long long time crush, yang kutuduh menjadi alasanku gagal soal asmara selama bertahun-tahun, yang aku claim sebagai patah hati terparahku. Pada akhirnya, closure dari itu semua adalah no closure at all. Hanya menjadi dewasa dan menjalani kehidupan masing-masing. Serta meng-aamiin-kan bahwa aku dan dia hanya sebagian cerita masa muda, bagian dari proses menjadi dewasa. Again, I'm glad of who I am today, I don't want anything to change at all.
...
Kalau kalian berfikir cerita "menyelesaikan yang belum selesai" ini akan selesai disini, salah besar. Masih banyak yang belum kuselesaikan dan sejak dua kejadian terakhir itu, aku mulai berfikir bahwa mungkin Allah ingin aku menghadapi semuanya satu per satu sebelum akhirnya aku bertemu dengan jodohku yang sebenarnya.
Jadi, ketika di minggu ini aku kebetulan berkomunikasi dengan salah satu dari tiga orang yang ada dalam daftar ini, aku memberanikan diri.
Kisahku yang satu ini agak rumit. Pasalnya, dalam kasus ini, aku dan dia seperti dua kutub yang sangat berlawanan. Bahkan, kalau teman-teman kami tahu, aku mungkin akan dituduh pakai guna-guna. Lol.
Trigger untuk membahas soal kami dengan orang ini sudah muncul pada saat kira-kira setahun yang lalu dia mengajakku bertemu. Berdua. Untuk membahas soal public speaking and things. Kami makan di sebuah resto dan berbincang banyak hal. Lalu trigger itu muncul kembali saat kami bertemu belum lama ini di Bandung. Berbincang panjang soal... one piece. Hahahaha.
Dengan keberanian penuh, saat kemarin kami berkomunikasi via WA, aku memberanikan diri untuk bertanya. "Apa kamu pernah merasa melakukan pendekatan ke aku? Jujur ya, jangan muter-muter."
Dulu, waktu momen-momen ini berlangsung, sejujurnya aku tidak percaya diri. Aku merasa dia hanya berusaha berbuat baik padaku karena dia dengan mudahnya bisa menemukan orang yang lebih baik dariku. Ketika kami nonton bareng, aku kira dia hanya baik dan kasihan melihatku terlalu sibuk sampai nggak sempat menghibur diri. Saat dia menjemputku, kufikir itu manner saja. Saat dia membawa dua jas hujan hari itu, kufikir memang dia hanya tipe orang yang antisipatif.
Aku nggak pernah menyangka bahwa kemarin dia akan memberikan jawaban, "iya, pernah."
Honestly, I didn't see it coming.
Aku pernah menulis tentangnya di blog ini (http://annakumalaa.blogspot.com/2017/06/tiba.html) dan kalau kalian baca, di tulisan itu aku nggak ada kepercayaan diri sama sekali. Aku terus menerus mengatakan kalau dia terlalu baik. Aku nggak menyangka kalau saat itu sesungguhnya perasaanku berbalas.
Lagi-lagi ironi.
Dua hari lalu, mendengar jawabannya aku merasa sedih luar biasa. Rasanya kesal bukan main, kenapa dia nggak memperjuangkan aku kalau memang dia serius? Kenapa aku merasa tidak percaya diri? Kenapa semua sudah terlambat?
Aku berusaha memberikan penjelasan bahwa pada saat itu I do have crush on him.
Dia, yang memang sudah punya pacar juga sih, bilang bahwa kelihatannya tidak seperti itu. Aku baru ingat kalau saat-saat itu memang masa awal aku jadi Menteri di Kabinet, sering-seringnya pulang malam dan seperti nggak ada waktu untuk mengurus hal lain. Oh, my, dasar KM ITB si faktor penggagal bucin.
Dia lalu bilang bahwa kita harus move on karena semuanya udah lewat. Dia juga minta agar aku nggak berubah sikap dan tetap menjadi aku yang dia kenal.
Aku nangis. In an instant.
Kalau dia nggak punya pacar saat itu, pasti aku akan jadi orang yang memberanikan diri untuk bilang, can we try it once more? Tapi, realita memaksaku terbangun. Bagaimanapun, aku melewatkannya, dia melewatkanku, dulu. Jadi setidaknya, saat ini aku tau bahwa mungkin dia memang tidak ditakdirkan untukku. Meski seperti nasihat yang kuterima, tidak ada yang tau bagaimana akhir dari kisah hidup kita masing-masing.
Aku lalu berterima kasih atas jawabannya. Setelah itu kami berbincang tentang hal yang ringan. Aku berusaha meyakinkannnya bahwa aku tidak berubah. Aku masih orang yang sama yang dengan randomnya membahas one piece, atau gadget, atau shopee tanam. Menjadi temannya yang mau menemani dia melancarkan nyetir mobil sambil mengantar ke apartemen.
Ini closure ketiga dari cerita-ceritaku. Dan sejauh ini, mungkin yang terakhir ini lah yang paling bikin nyesek.
Tapi... tetap kok. I'm glad of who I am today and I don't want anything to change at all. Jadi meskipun aku melewatkannya, aku yakin bahwa aku memang harus melakukan hal itu untuk menjadi diriku yang hari ini. Aku yakin bahwa menerimanya bukan takdirku saat itu, dan mungkin tidak akan memberiku kesempatan mengeksplor banyak peluang kebahagiaan.
Jadi, mari move on (lagi).
...
Masih ada dua orang lagi sejujurnya, salah satunya dulu pernah kutolak padahal dia sudah memberanikan diri untuk maju. Rasanya jahat sekali ya aku. Jadi, in time, mungkin aku yang akan menghubungi dia duluan. Karena aku merasa berdosa juga.
Satu lagi, yang satu ini paling beda dari yang lainnya dan mungkin juga dia nggak suka aku, semua sikap sopannya barangkali hanya manner. Juga, mungkin aku nggak se-suka itu dengan yang satu ini. Selalu naik turun aja sih kondisinya sampai saat ini. Jadi, aku nggak merasa perlu mencari atau memberi closure, karena sepertinya tidak ada yang perlu diselesaikan kalau tidak ada yang dimulai.
Mungkin karena dia yang paling recent, jadi aku sudah dalam kondisi terlalu banyak pertimbangan. Perlu diakui, menyukai orang saat ini dengan lima tahun lalu beda sekali dasar-nya. Kalau lima tahun lalu rasa terkesan aja bisa jadi suka, kalau sekarang banyak sekali aspek yang harus dilihat. Biar bagaimana pasti sulit sih, namanya juga mencari orang untuk mendampingiku seumur hidup, bukan hanya untuk menemaniku kala sibuk dengan kuliah atau kemahasiswaan. Mencari partner for life tentu lebih sulit dari sekadar pacar.
...
Oke, sepertinya sudah cukup ceritanya hari ini. Nanti, mungkin akan ada part berikutnya kalau sudah ada perkembangan dengan dua orang terakhir ini. Atau kalaupun nantinya aku nggak sempat memberi closure ya sudahlah, memang realita tak seindah fiksi.
Realita nggak selalu memberi kita jawaban yang diinginkan dan aku sudah bisa menerima fakta itu. Kita semua harus belajar untuk bisa melakukannya.
Oh ya, memberi closure itu perlu keberanian juga ya by the way. And in many cases, it takes a very long time. Ada bedanya memberi closure sekarang dengan lima tahun yang akan datang, waktu termasuk dimensi yang penting juga sih dan tentu unik untuk setiap kasus.
Tapi, memperoleh penutup itu melegakan sekali. Meski untuk melakukannya kita perlu memberanikan diri, untuk menengok lagi kesalahan yang membuat kita malu, patah hati yang membuat kita begitu sedih, atau keputusan yang sering kita sesali. Tidak semua orang punya keberanian menutup. Aku pun takut pada awalnya, tapi aku memberanikan diri.
Karena untuk apa punya kegagalan, kalau aku tidak bisa belajar darinya.