i used to smile a lot, full of spirit. full of energy, what happened to me?
why do i feel like just living but not alive?
having no dreams nor desire, not feeling happy nor sad,
only acceptance that this rotten world is the one i should live in and that nothing i could do to change anything,
it's becoming harder and harder for me to socialize, and for the first time in my life, i love being alone and trapped in my own world, only me and The Creator in silence, without the world's standard, without the d*mn reality i'm not saying that i stopped trying to make this world a better place to live, i'm just saying that i stopped feeling special about it
anyway,
i didn't feel like the current situation is bad though, i guess it's just a phase in life
i have no idea what kind of future awaits us nor what's the best way to face it, or
what obstacles hinder the growing nor the most efficient strategy to overcome it,
however,
i believe what i found in this phase would be beneficial for me for the upcoming challenges,
then here comes the big question,
"what is the discovery of this phase? why it made me feel insignificant and sometimes look pathetic?"
the discovery is...
that i am not special, nothing special about me, nothing special about people in general, because everyone is special
a paradox, isn't it?
there are rules applied in this world, but the one that makes sense the most for me is "there are consequences of any choice" and that's why everyone is unique so that none of us are unique
the concepts are a bit hazy but i guess the implications are quite understandable.
no one is special, so...
i don't normalize people demand for special treatment, i also never demand any special treatment myself, i stand in queue when i need to and encourage people to queue as well when i could
we're not special, therefore the ups and downs we've been through must also be experienced by others, despite being in the different forms,
the implications for the concept "not so special" pushing me to not feel too happy nor feel too sad, because i have this faith that it's all just the phase that shall pass,
then... i find it harder and harder to smile that much, cry that loud, being proud for the achievement, or overwhelmed with the failures, i tend to respond the life plainly, i forgot when was the last time i have a real and deep feeling about the life, or something in life.
i know i have friends, family, colleagues, i know they love me and cheering for me, i know i love them as well
i know it all, and i acknowledge them
i also know that there are things in life that i don't know, and i am willing to learn more, i am learning
i am going forward and have no regrets i know i should be satisfied
.
.
.
but why?
why i still feel like something is missing?
despite all the wise realization and discovery i wrote in the last two stories, why i feel this uncomfortable? why is this world suffocating so much?
still, i hate when people asked me, "what's going on?" or giving me the mainstream advices because i also don't know what's going on and clearly i am not asking for advices
i only need warm hug and patting in the head
and, despite the uncomfortable feeling i experienced since last year, here i am not being able to escape from my reality and consequences
i have to hear these nonsense forum and even create a summary and develop "narration" based on this, sometimes 1 need to be secretive, sometimes 1 need to play dumb, sometimes i need to pretend that i support one thing or another because i know at this point i couldn't do more
i wonder is this reality that makes me hate the world so much, is this routine that makes me rotten inside?
i'm not the fan of how the "world" works
Setidaknya sudah ada beberapa bab dalam kehidupan seorang anak manusia yang telah melalui seperempat abad.
Fase satu,
Masa dalam buaian kedua orang tua, dimana kita boleh hanya mau tau hak saja dan abai terhadap kewajiban.
Fase dua,
Masa sekolah dasar, saat yang terpenting adalah "berprestasi" dalam pengertian yang sangat terbatas tergantung pada orang dewasa seperti apa yang berada di sekitar kita pada saat itu.
Fase tiga,
Masa sekolah menengah, yang penuh hal absurd tentang betapa bahagianya menjadi orang dewasa, awal pertama mengenal konsep dasar tentang mencintai yang bukan keluarga, serta masa-masa terusik rasa penasaran dan ingin mencoba segalanya.
Fase empat,
Masa dewasa muda, menjadi senaif-naifnya manusia, percaya bahwa putih dan hitam sempurna benar adanya, berteriak "lawan" tanpa punya daya dan senjata kecuali nyali yang membara, masa yang membuatku mengerti mengapa Soekarno hanya butuh 10 pemuda untuk mengguncangkan dunia. Idealisme yang fana dan jauh dari realita, keyakinan yang kuat tanpa metodologi yang riil, ini adalah bahan bakar tak terelakkan untuk melawan hegemoni yang sudah terlalu mengakar.
Kini setidaknya aku ada di fase kelima, masa-masa awal menjadi dewasa, lepas dari dewasa muda, masa kelima inilah yang dulu kusebut "idealismenya bisa dibeli oleh iming-iming harta dan kuasa".
Dalam menjalani keempat fase yang sudah lalu dan memasuki fase kelima, satu hal yang terus konsisten kujaga, "aku tidak pernah mau menghancurkan fase dan diskursus orang lain." Opini, pandangan, dan sikap dari setiap manusia di masing-masing fase sama pentingnya dalam membentuk sebuah tatanan masyarakat. Opini anak-anak sebelum masuk sekolah, anak-anak sekolah dasar, manusia pada level sekolah menengah, para dewasa muda, bahkan hingga mereka yang tua harus dipertimbangkan dengan tingkat keseriusan yang sama.
Aku terus menekankan pada diriku, bahwa ide dari setiap entitas yang fasenya berbeda dariku berangkat dari dasar pengetahuan yang berbeda sehingga tentu saja sikapnya berbeda. Tapi, apakah itu artinya ide ini harus didestruksi? Tidak! Ide dari entitas yang berbeda ini harus diindahkan sebagai bagian dari proses dialektika.
Jadi, meski saat ini aku sudah lulus, bekerja di pemerintahan, "melihat" lebih banyak daripada aku lima tahun yang lalu, tidak pernah sekalipun aku menilai apa yang dilakukan adik-adik mahasiswa turun ke jalan itu sia-sia. Tidak pernah aku merasa mereka "tidak paham apa-apa", karena aku selalu berangkat pada pemikiran bahwa kita mungkin tidak bisa sepenuhnya saling memahami, tetapi kita masing-masing pasti paham apa yang kita lakukan sendiri.
Kembali ke bab dua puluh enam hidupku, kembali pada perenunganku dalam memasuki awal fase kelima, sebuah fase yang kuyakini akan berlangsung dalam kurun waktu yang cukup signifikan, sebelum aku memasuki fase keenam: tanggung jawab terhadap keluargaku sendiri.
Fase limaku sudah dimulai sejak tiga tahun yang lalu sebenarnya, masa-masa dimana idealisme butaku dimentahkan habis oleh realita. Masa-masaku sering tertekan sendirian karena harus bisa menjadi bukan diriku atas nama "konsekuensi", masa-masaku masih gagal berpindah dari atmosfer bebas berfikir di kampus, masa-masaku sering bertanya pada diriku sendiri, "apa ini yang kamu mau?"
Sekarang aku sudah mulai terbiasa. Tidak berarti menerima, tapi aku belajar untuk tidak selalu mengingkari dengan "tangan", aku belajar berkaca pada kapasitas diriku saat ini, dan belajar bersabar sambil berusaha lebih memahami lagi apa yang terjadi. Banyak orang memilih jalan lain, tapi untuk sekarang, jalan inilah yang kupilih. Suatu saat, "tangan" ini akan menemukan jalan dimana ia tidak akan berhenti meski dibujuk dengan apapun.
Meski masih banyak hal tanda tanya di masa depan, setidaknya satu hal yang aku tanam sedalam-dalamnya sebagai hasil dari perenungan bermalam-malam:
Harta dan moral, kuasa dan moral, dalam tatanan sosial yang seperti hari ini, berbanding terbalik satu sama lain, menciptakan trade-off yang tidak terelakkan. Kalau mau hidup tenang tanpa merasa tertekan secara moril, maka terimalah jika harta dan kuasamu akan biasa-biasa saja. Pertanyaan besarnya, hidupmu itu esensinya apa? Apa mau mengejar harta dan kuasa sebegitunya sampai menggadaikan moral? Tidak ada operasi bersih yang menghasilkan capaian fantastis, itu faktanya.
Maka kesimpulan dari perenunganku dalam awal usia ke-26 ini adalah jika aku tidak memiliki cara untuk mendorong reformasi dalam tatanan sosial eksisting, setidaknya pada sektor atau region tertentu, untuk bisa menekan dampak dari trade-off yang kusebutkan di atas, maka aku akan belajar menerima harta dan kuasa yang segitu saja sehingga hanya bisa melakukan yang begitu saja. Karena bagiku, hidup hanyalah panggung semata, untuk kita berjuang sebaik-baiknya dihadapanNya, supaya ketika dibangkitkan setelah mati dan ditanya, "kamu sudah melakukan apa?" Aku bisa menjawab:
Aku sudah berjuang sebaik-baiknya, sekeras-kerasnya, sekuat-kuatnya, selapang-lapangnya, dan sepasrah-pasrahnya, karena sejatinya dunia ini milikMu dan aku percaya bahwa aku akan kembali padaMu.
Jakarta, 29 September 2022
Lembar ketujuh dalam bab kedua puluh enam
Untukku di masa depan, jika kamu sempat berfikir untuk mengkhianati ikrarmu sendiri
Mengingat aku tidak sama dengan "manusia pada umumnya", dan butuh tenaga tambahan yang luar biasa untuk memahami "manusia pada umumnya", bolehkah kita bekerja dengan proses dan keluaran yang terstandardisasi saja?
Untuk apa aku melangkah maju kalau tidak yakin? Untuk apa aku berpindah jika tidak ada yang lebih meyakinkan?
My friend, I forgave you for hurting me so many times, I forgave you for letting me wait alone in the airport for at least 2 hours, I forgave you for not fighting for our future, I forgave you for avoiding me instead of trying to solve the problems together, I forgave your doubts, I forgave your lies and inconsistency, I forgave you for choosing her, I forgave your words that keep echoing in my head: "kamu seharusnya nggak sama aku, kamu seharusnya sama orang yang lebih hebat di luar sana" while I already choose you without any hesitation.