Kontemplasi Menjelang Seperempat Abad

August 23, 2021

I'm glad of who I am now.


Itu hal yang selalu aku tanamkan pada diriku sendiri: bersyukur atas siapapun aku hari ini, bagaimanapun kondisinya, kesulitan apapun yang sedang dihadapi. Meski mungkin saja aku yang saat ini bukanlah siapa-siapa, tidak punya signifikansi apa-apa, dan sedang tidak menghasilkan karya apapun.

Tapi akhir-akhir ini, dalam usia yang kian menua, entah mengapa ada sebuah perasaan yang sering sekali muncul: kesepian dan kesedihan tanpa alasan.

Berulang kali aku bertanya dalam munajatku padaNya, sebenarnya gundah ini pertanda apa? Dipicu oleh apa? Harus dibawa ke arah mana? Mengapa perasaanku ganjil meski rasanya aku sudah mengikhlaskan bahwa semua perasaan yang tidak enak dibiarkan berlalu saja? Mengapa rasanya masih sakit meski aku berusaha menerima semuanya dan melangkah maju?

Dalam kegalauan yang hilang muncul ini, aku berusaha mendalami perasaanku. Menuruti nasihat kawanku tempo hari: "mungkin kamu harus berhenti berfikir dan mencoba merasakan, Na." Jadi, hari ini aku coba menerima apapun perasaan yang sedang aku rasakan.

Ini adalah perasaan kecewa karena tidak pernah menjadi prioritas. Muncul dari sebuah kesadaran bahwa bahkan jika orangtuaku harus memilih diantara anak-anaknya, maka aku tidak pernah akan menjadi yang pertama. Kesadaran ini didasarkan pada apa-apa yang pernah terjadi di masa yang sudah lewat, dimana sepanjang ingataknku, di masa-masa berat pada saat aku bertumbuh, aku melaluinya sendirian. Orangtuaku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa masalah yang harus aku hadapi, dalam badai apa aku harus bertahan. Jangankan memahami, tahu saja tidak.

Ini adalah perasaan sakit karena harus menghiraukan fitnah yang membawa permusuhan, atau kata-kata menyakitkan dari mereka yang membenci tanpa punya solusi untuk memperbaiki. Perasaan yang kemarin-kemarin dianggap lalu saja, tidak sedikitpun didengarkan karena logika bilang, "untuk apa?"

Ini adalah perasaan malu karena tidak pernah dipilih oleh orang yang aku pilih. Sekeras apapun usaha, atau sebesar apapun peluang yang terbuka lebar, sejauh ini aku hanya kenal kegagalan.

Mungkin memang perasaan-perasaan itu tidak sepatutnya dilawan. Mungkin aku terlalu tuli untuk mendengar suara dan keberadaan mereka, hingga akhirnya semua menumpuk dan meledak bersama dengan kesepian yang makin menjadi seiring bertambahnya usia. Mungkin memang seharusnya sejak awal aku lebih ekspresif dan lebih mengaamiinkan perasaan-perasaan tidak dewasa itu, ketimbang terobsesi untuk menjadi dewasa sebelum waktunya.

Mungkin jika aku menangis perlahan sejak awal, aku tidak perlu menangis sejadi ini di malam-malam menjelang seperempat abad.

Mungkin.

You Might Also Like

0 comments