I keep thinking times will never change. Keep on thinking things will always be the same. But when we leave this year we won't be coming back. No more hanging out cause we're on a different track. And if you got something that you need to say. You better say it right now cause you don't have another day. Cause we're moving on and we can't slow down. These memories are playing like a film without sound. (Vitamin C - Graduation Lyrics)
“Mau dikatakan berapa kalipun kau tidak akan mengerti, ‘kan?”
Suara bass Rein terdengar lagi di telingaku, namun lebih
dalam dari sebelumnya. Untuk pertama kalinya sejak percakapan ini, aku
mengalihkan pandanganku dari laptop dan mulai memerhatikan wajahnya. Sudah
setengah jam ia bercerita dan meminta pendapatku, kupikir dia sedang baik-baik
saja. Yah, sebelumnya memang baik-baik saja seperti waktu-waktu biasa saat ia
menggangguku di tengah pekerjaanku hanya untuk meminta pendapat tentang sesuatu
yang, maaf saja, menurutku tidak begitu penting. Tapi ia berubah menjadi tidak
baik-baik saja saat aku bilang sebaiknya dia lupakan saja niatnya, karena itu
semua sia-sia.
Rein bercerita tentang Nirmala, gadis yang menarik hatinya,
mengubah hari-harinya, mewarnai hidupnya dengan sesuatu yang baru. Gadis itu
tidak cantik, aku tahu persis itu karena aku juga mengenalnya. Menurutku,
Nirmala adalah seorang gadis yang biasa saja. Sangat biasa. Tidak tinggi, tidak
pendek, tidak kurus, tidak gendut. Yah, kuakui dia adalah gadis yang sangat
bersemangat. Tapi, yang benar saja! Bagaimana mungkin gadis semacam itu bisa
membuat Rein yang sebelumnya sangat bijak dan berpikiran panjang menjadi seperti
ini hanya karena dia tidak menghubungi Rein seminggu terakhir?
Aku tahu kemana gadis itu pergi. Tentu saja aku tau, apa
yang tidak aku tau dari orang-orang di sekitarku? Aku tau, karena aku
mengobservasi. Aku selalu ingin mencari tahu. Gadis itu pergi ke luar negeri,
sekolah musik di Austria, bersama ayahnya, satu-satunya keluarganya yang
tersisa, yang juga dipindahtugaskan ke Austria. Lalu kenapa aku tidak
memberitahu Rein? Tentu saja karena gadis itu yang memintanya. Gadis itu
bilang, ia tidak ingin Rein tahu. Aku tak tahu kenapa dan itu memang bukan
urusanku. Jadi, aku hanya diam.
Sekarang, Rein mengajakku untuk mencari Nirmala. Dia sangat
yakin bahwa Nirmala dan ayahnya telah diculik oleh suatu sindikat kriminal. God, siapa yang bisa percaya hal itu? Temanku
yang paling rasional di dunia ini telah menjadi gila karena jatuh cinta. Dia
mengajakku menyebarkan pamflet bergambar Nirmala dan ayahnya ke semua
tempat-tempat di kota ini, mengupload
di internet, bahkan memasukkan gambar itu ke daftar orang hilang di televisi.
Aku bilang dia gila, itu semua hanya akan menjadi sia-sia.
Tapi, dia malah mengoceh tentang bagaimana dia mencintai Nirmala, bagaimana dia
tidak sanggup jauh dari Nirmala, betapa ia ingin mengetahui Nirmala baik-baik
saja di setiap jam, setiap menit, setiap detik.
Lalu aku berkata bahwa itu berlebihan dan dia kehilangan
akal sehat. Dia malah bercerita tentang bagaimana indahnya jatuh cinta saat
setiap hari ia ingin mendengar suara Nirmala, ingin menatap wajahnya walau
sekelebat, ingin bernyanyi dan berdansa bersamanya, ingin sarapan dan makan
malam dengannya, ingin mengajaknya ke setiap tempat yang bisa ia datangi.
Dan aku berkata dengan ringan bahwa jatuh cinta membuatnya
terlihat begitu bodoh.
Saat itulah dia membalas, “Mau dikatakan berapa kalipun kau
tidak akan mengerti, ‘kan?”
Setelah menatap wajahnya, aku menyunggingkan senyum tipis
lalu meraih ponselku. Aku menekan nomor telepon Nirmala di Austria dan
melakukan panggilan internasional.
“Halo?” terdengar suara seorang wanita dari telepon itu.
Aku menekan tombol speaker
dan bertanya, “Nirmala, apa kau baik-baik saja?”
“Oh, Ri, aku baik-baik saja. Ada apa?” jawabnya. Rein yang
mendengar suara Nirmala hanya terpaku.
“Nggak apa-apa, Nirmala. Aku cuma mau tahu kabarmu. Sampai
jumpa!” kuakhiri panggilan itu dengan cepat.
“Kenapa kamu matikan teleponnya? Jadi selama ini kamu tau
Nirmala ada dimana? Kenapa kamu nggak kasih
tau aku? Kenapa, Ri?” tanya Rein bertubi-tubi.
“Rein, kalau kamu kasih tau aku sesuatu, dan itu sebuah
rahasia, apa kamu mau aku kasih tau itu ke Nirmala?” tanyaku balik.
Rein menggeleng, dan nampaknya dia paham bahwa Nirmala yang
menginginkan keberadaannya sebagai rahasia.
“Aku melakukan panggilan itu hanya agar kamu bisa tahu
bagaimana kabar Nirmala. Cuma itu kan yang kamu butuhkan. Nah, sekarang karena
dia baik-baik saja, apa kamu bisa biarkan aku melanjutkan pekerjaanku?”
“Kamu memang nggak
mengerti apa-apa ya, Ri. Mana mungkin itu bisa cukup? Bagaimana mungkin satu
panggilan telepon tiga puluh detik bisa menjadi cukup? Sepertinya aku salah
konsultasi pada orang yang ‘katanya’ tahu segalanya tapi nggak tahu apa-apa
soal jatuh cinta. Ya, pantas aja sih kamu
nggak tahu. Itu karena kamu memang nggak pernah merasakannya.”
Bersamaan dengan kalimat panjangnya, Rein bangkit dari
kursinya dan berlalu pergi. Yah, terserah saja, aku tidak begitu peduli. Yang
terpenting, aku sudah melakukan apa yang menurutku benar.
Laptopku rupanya sudah kudiamkan lebih dari lima menit. Background-nya telah berganti dengan screen saver, slide show semua foto-foto yang ada di laptopku. Saat itu, foto
yang tertampil adalah sebuah foto yang sebenarnya sangat tidak ingin kulihat
saat itu. Foto yang menyangkal kata-kata Rein. Foto yang membuktikan kalau aku
mengerti.
Ya, Rein, aku mengerti rasanya. Sangat amat mengerti. Aku pernah jatuh cinta, bertahun-tahun yang lalu. Aku pernah menjadi gila, aku pernah menjadi begitu bodoh, walaupun tak begitu lama. Aku berhasil menemukan diriku kembali meski masih tak sanggup menemukan orang lain untuk menggantikannya. Tapi aku tidak separah dirimu. Lihat saja? Bagaimana mungkin sebuah panggilan yang terjawab suara tak bisa cukup? Jika aku ada di posisimu, hal itu akan lebih dari cukup. Mengetahui dia baik-baik saja sudah sangat lebih dari cukup. Kau begitu frustasi, padahal jarakmu dengannya paling-paling hanya empat ribu mil jauhnya. Kau tahu seberapa jauh jarakku dengannya? Entahlah, aku saja tak tahu. Kami bahkan tak berada dalam ruang dan waktu yang sama lagi.
Entah kenapa masih juga merinding, meskipun ini kali ketiga UN. Masih juga minder walaupun sudah jutaan kali tryout. Masih juga nggak percaya kalau "LULUS" itu benar-benar tinggal selangkah, walaupun jelas tiga tahun di belakang bukanlah sesuatu yang mudah dilalui.
Seperti banyak orang bilang, ketika mendekati akhir, kita akan otomatis melakukan flashback. Dan kenangan itu pasti akan sampai di permulaan yang paling awal dan titik-titik kenangan menyenangkan diantaranya.
Begitupun kenanganku siang ini. Melayang ke saat-saat PTS, dimana bahkan menghela nafas panjang menjadi sebuah anugrah yang luar biasa. Melayang ke acara-acara yang sudah kami laksanakan, aku saksikan, kami perjuangkan. Melayang ke transkip nilai rapor yang benar-benar ala kadarnya. Melayang ke remedial pertama (seumur hidup). Melayang ke stukol, homestay, LDK, tadabur sosial. Melayang ke Unpentium, Becak Adem, DKM Bersinar. Melayang ke Gycentium, Foranza, Astonic, Eisthera. Melayang ke wajah bahagia orangtua dan adik-adikku. Dan melayang ke setiap wajah keluargaku, Magnivic Alencearin, mengenang bagaimana aku mengenal mereka satu per satu.
Terasa.
Kuakui tiga tahun itu sangat terasa. Tapi tetap saja aku tak bisa melepaskan tempat ini dan segala kenangan di dalamnya dengan mudah. Disini aku menemukan diriku yang sebenarnya, disini aku bisa menjadi diriku sendiri, disini aku merasa punya ruang untuk melakukan segalanya, disini aku mengenal orang-orang luar biasa, guru-guru luar biasa, teman-teman luar biasa, disini aku bisa merasakan betapa hidupnya sebuah masjid, seperti tweet para alumni, #cumadiIC
Jika menuruti keinginan, rasanya aku sanggup hidup disini sampai mati, dengan kenyamanan yang sungguh luar biasa. Tapi, nggak mungkin, 'kan?
Sebab aku harus hijrah dari zona nyaman ini untuk melakukan hal yang lebih bermanfaat. Sebab suatu hari aku akan kembali ke negeri ini dari tempat yang entah dimana membawa harapan untuk memperbaikinya. Sebab untuk mencapai semuanya, hanya tinggal selangkah, dua puluh jam dari sekarang.
Seperti banyak orang bilang, ketika mendekati akhir, kita akan otomatis melakukan flashback. Dan kenangan itu pasti akan sampai di permulaan yang paling awal dan titik-titik kenangan menyenangkan diantaranya.
Begitupun kenanganku siang ini. Melayang ke saat-saat PTS, dimana bahkan menghela nafas panjang menjadi sebuah anugrah yang luar biasa. Melayang ke acara-acara yang sudah kami laksanakan, aku saksikan, kami perjuangkan. Melayang ke transkip nilai rapor yang benar-benar ala kadarnya. Melayang ke remedial pertama (seumur hidup). Melayang ke stukol, homestay, LDK, tadabur sosial. Melayang ke Unpentium, Becak Adem, DKM Bersinar. Melayang ke Gycentium, Foranza, Astonic, Eisthera. Melayang ke wajah bahagia orangtua dan adik-adikku. Dan melayang ke setiap wajah keluargaku, Magnivic Alencearin, mengenang bagaimana aku mengenal mereka satu per satu.
Terasa.
Kuakui tiga tahun itu sangat terasa. Tapi tetap saja aku tak bisa melepaskan tempat ini dan segala kenangan di dalamnya dengan mudah. Disini aku menemukan diriku yang sebenarnya, disini aku bisa menjadi diriku sendiri, disini aku merasa punya ruang untuk melakukan segalanya, disini aku mengenal orang-orang luar biasa, guru-guru luar biasa, teman-teman luar biasa, disini aku bisa merasakan betapa hidupnya sebuah masjid, seperti tweet para alumni, #cumadiIC
Jika menuruti keinginan, rasanya aku sanggup hidup disini sampai mati, dengan kenyamanan yang sungguh luar biasa. Tapi, nggak mungkin, 'kan?
Sebab aku harus hijrah dari zona nyaman ini untuk melakukan hal yang lebih bermanfaat. Sebab suatu hari aku akan kembali ke negeri ini dari tempat yang entah dimana membawa harapan untuk memperbaikinya. Sebab untuk mencapai semuanya, hanya tinggal selangkah, dua puluh jam dari sekarang.