Bagaimana Mungkin?

April 20, 2014

“Mau dikatakan berapa kalipun kau tidak akan mengerti, ‘kan?”
Suara bass Rein terdengar lagi di telingaku, namun lebih dalam dari sebelumnya. Untuk pertama kalinya sejak percakapan ini, aku mengalihkan pandanganku dari laptop dan mulai memerhatikan wajahnya. Sudah setengah jam ia bercerita dan meminta pendapatku, kupikir dia sedang baik-baik saja. Yah, sebelumnya memang baik-baik saja seperti waktu-waktu biasa saat ia menggangguku di tengah pekerjaanku hanya untuk meminta pendapat tentang sesuatu yang, maaf saja, menurutku tidak begitu penting. Tapi ia berubah menjadi tidak baik-baik saja saat aku bilang sebaiknya dia lupakan saja niatnya, karena itu semua sia-sia.
Rein bercerita tentang Nirmala, gadis yang menarik hatinya, mengubah hari-harinya, mewarnai hidupnya dengan sesuatu yang baru. Gadis itu tidak cantik, aku tahu persis itu karena aku juga mengenalnya. Menurutku, Nirmala adalah seorang gadis yang biasa saja. Sangat biasa. Tidak tinggi, tidak pendek, tidak kurus, tidak gendut. Yah, kuakui dia adalah gadis yang sangat bersemangat. Tapi, yang benar saja! Bagaimana mungkin gadis semacam itu bisa membuat Rein yang sebelumnya sangat bijak dan berpikiran panjang menjadi seperti ini hanya karena dia tidak menghubungi Rein seminggu terakhir?
Aku tahu kemana gadis itu pergi. Tentu saja aku tau, apa yang tidak aku tau dari orang-orang di sekitarku? Aku tau, karena aku mengobservasi. Aku selalu ingin mencari tahu. Gadis itu pergi ke luar negeri, sekolah musik di Austria, bersama ayahnya, satu-satunya keluarganya yang tersisa, yang juga dipindahtugaskan ke Austria. Lalu kenapa aku tidak memberitahu Rein? Tentu saja karena gadis itu yang memintanya. Gadis itu bilang, ia tidak ingin Rein tahu. Aku tak tahu kenapa dan itu memang bukan urusanku. Jadi, aku hanya diam.
Sekarang, Rein mengajakku untuk mencari Nirmala. Dia sangat yakin bahwa Nirmala dan ayahnya telah diculik oleh suatu sindikat kriminal. God, siapa yang bisa percaya hal itu? Temanku yang paling rasional di dunia ini telah menjadi gila karena jatuh cinta. Dia mengajakku menyebarkan pamflet bergambar Nirmala dan ayahnya ke semua tempat-tempat di kota ini, mengupload di internet, bahkan memasukkan gambar itu ke daftar orang hilang di televisi.
Aku bilang dia gila, itu semua hanya akan menjadi sia-sia. Tapi, dia malah mengoceh tentang bagaimana dia mencintai Nirmala, bagaimana dia tidak sanggup jauh dari Nirmala, betapa ia ingin mengetahui Nirmala baik-baik saja di setiap jam, setiap menit, setiap detik.
Lalu aku berkata bahwa itu berlebihan dan dia kehilangan akal sehat. Dia malah bercerita tentang bagaimana indahnya jatuh cinta saat setiap hari ia ingin mendengar suara Nirmala, ingin menatap wajahnya walau sekelebat, ingin bernyanyi dan berdansa bersamanya, ingin sarapan dan makan malam dengannya, ingin mengajaknya ke setiap tempat yang bisa ia datangi.
Dan aku berkata dengan ringan bahwa jatuh cinta membuatnya terlihat begitu bodoh.
Saat itulah dia membalas, “Mau dikatakan berapa kalipun kau tidak akan mengerti, ‘kan?”
Setelah menatap wajahnya, aku menyunggingkan senyum tipis lalu meraih ponselku. Aku menekan nomor telepon Nirmala di Austria dan melakukan panggilan internasional.
“Halo?” terdengar suara seorang wanita dari telepon itu.
Aku menekan tombol speaker dan bertanya, “Nirmala, apa kau baik-baik saja?”
“Oh, Ri, aku baik-baik saja. Ada apa?” jawabnya. Rein yang mendengar suara Nirmala hanya terpaku.
“Nggak apa-apa, Nirmala. Aku cuma mau tahu kabarmu. Sampai jumpa!” kuakhiri panggilan itu dengan cepat.
“Kenapa kamu matikan teleponnya? Jadi selama ini kamu tau Nirmala ada dimana? Kenapa kamu nggak kasih tau aku? Kenapa, Ri?” tanya Rein bertubi-tubi.
“Rein, kalau kamu kasih tau aku sesuatu, dan itu sebuah rahasia, apa kamu mau aku kasih tau itu ke Nirmala?” tanyaku balik.
Rein menggeleng, dan nampaknya dia paham bahwa Nirmala yang menginginkan keberadaannya sebagai rahasia.
“Aku melakukan panggilan itu hanya agar kamu bisa tahu bagaimana kabar Nirmala. Cuma itu kan yang kamu butuhkan. Nah, sekarang karena dia baik-baik saja, apa kamu bisa biarkan aku melanjutkan pekerjaanku?”
“Kamu memang nggak mengerti apa-apa ya, Ri. Mana mungkin itu bisa cukup? Bagaimana mungkin satu panggilan telepon tiga puluh detik bisa menjadi cukup? Sepertinya aku salah konsultasi pada orang yang ‘katanya’ tahu segalanya tapi nggak tahu apa-apa soal jatuh cinta. Ya, pantas aja sih kamu nggak tahu. Itu karena kamu memang nggak pernah merasakannya.”
Bersamaan dengan kalimat panjangnya, Rein bangkit dari kursinya dan berlalu pergi. Yah, terserah saja, aku tidak begitu peduli. Yang terpenting, aku sudah melakukan apa yang menurutku benar.
Laptopku rupanya sudah kudiamkan lebih dari lima menit. Background-nya telah berganti dengan screen saver, slide show semua foto-foto yang ada di laptopku. Saat itu, foto yang tertampil adalah sebuah foto yang sebenarnya sangat tidak ingin kulihat saat itu. Foto yang menyangkal kata-kata Rein. Foto yang membuktikan kalau aku mengerti.

Ya, Rein, aku mengerti rasanya. Sangat amat mengerti. Aku pernah jatuh cinta, bertahun-tahun yang lalu. Aku pernah menjadi gila, aku pernah menjadi begitu bodoh, walaupun tak begitu lama. Aku berhasil menemukan diriku kembali meski masih tak sanggup menemukan orang lain untuk menggantikannya. Tapi aku tidak separah dirimu. Lihat saja? Bagaimana mungkin sebuah panggilan yang terjawab suara tak bisa cukup? Jika aku ada di posisimu, hal itu akan lebih dari cukup. Mengetahui dia baik-baik saja sudah sangat lebih dari cukup. Kau begitu frustasi, padahal jarakmu dengannya paling-paling hanya empat ribu mil jauhnya. Kau tahu seberapa jauh jarakku dengannya? Entahlah, aku saja tak tahu. Kami bahkan tak berada dalam ruang dan waktu yang sama lagi.

You Might Also Like

1 comments