Terpanggil lagi. Entah aku harus bersuara atau hanya terdiam dan menunduk. Malu. Tapi rasa kecewa lebih mendominasi sebenarnya. Kecewa pada diri sendiri yang hilang kontrol. Memang benar, segala sesuatu yang tercampuri emosi tidak akan berakhir baik. Saat itu hanya, terlalu emosional, terlalu berapi-api. Salahku memang. Aku tidak akan mencari pembenaran sebab aku memang jelas salah. Aku jadi ingat kata guruku dulu. Bersedekah memang...
Baru saja membaca sebuah entri blog menarik dari seseorang yang saya kenal. Beliau menjabarkan tentang bagaimana tanggapannya terhadap berjalannya organisasi di tempat saya bersekolah dulu. Saya tidak akan menjabarkannya secara rinci, atau memberikan link langsung ke entri blog terkait. Intinya, penulis mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemegang sistem saat ini.
Yah, kurang lebih sama dengan senior yang lain, menyebutkan dengan lancar kekurangan di sana-sini. Lumrah menurut saya. Saya juga pernah menjadi senior, dan sebelumnya saya pernah menjadi junior. Lalu, membaca entri tersebut saya melihat adanya sebuah rantai yang terus berkesinambungan. Saya akan menceritakannya dengan ilustrasi.
Ada seorang anak bernama A. Dia baru saja masuk ke sebuah sekolah menengah, dan dia sangat senang berorganisasi. Dia tergabung ke dalam sebuah organisasi terpusat di sekolah menengah tersebut. Suatu hari, seniornya mempertanyakan hasil kerjanya yang dinilai tidak beres. Senior itu menyerangnya di depan khalayak saat sidang pertanggungjawaban, A mengakui bahwa ia memang salah, tetapi ia kesal dengan seniornya yang mempertanyakan itu dengan nada yang mengganggu dan terkesan marah padanya. Padahal menurut A, tanpa harus marah, ia bisa memahami maksud dari seniornya.
Tahun berikutnya, A bukan lagi seorang junior, ia adalah seorang senior. Setengah jalan, ia merasa kesal dengan juniornya yang tidak bisa melakukan pekerjaan dengan benar. Namun, karena dulu ia pernah diperlakukan keras oleh seniornya dan ia tahu rasanya tidak enak, ia lalu tidak melakukan hal yang sama pada juniornya. Sayangnya, juniornya tidak kunjung membaik. Si A pun akhirnya mengerti bahwa perlakuan keras memang terkadang diperlukan untuk menanamkan nilai. Ia sekarang tahu apa yang dipikirkan seniornya dulu. Dia menyadari kesalahannya dan tahu bahwa zamannya tidak lebih baik dari zaman seniornya, tapi dia lalu melihat bahwa zaman setelahnya tidak lebih baik dari zamannya. Juniornya A, lalu merasakan yang sama dengan apa yang dirasakan A dulu. Lalu hal itu terjadi terus-menerus selama mereka masih menggunakan sudut pandang yang sama. Sudut pandang yang lebih banyak mempermasalahkan metode kaderisasi, dan sedikit melihat substansi.
Hal inilah yang saya amati, dan terus terang baru saya sadari bahwa ini juga terjadi pada saya. Titik penting yang saya sadari disini adalah, ketika kita terlalu fokus pada metode kaderisasi dan bukan pada substansinya, maka kemungkinan besar kita akan kehilangan maksud dan tujuan senior kita sebenarnya, dan yang terjadi adalah penurunan kualitas yang terus-menerus.
Berdasarkan pengamatan saya selama ini, saya mengusulkan suatu penyelesaian. Suatu hal yang lumrah jika kita tidak menyukai senior kita yang memiliki cara keras dalam menyampaikan maksudnya. Bahkan senior yang melakukan tindakan tersebut juga pasti tidak menyukai saat dia diperlakukan demikian oleh seniornya dulu. Tapi, akan lebih baik jika rasa tidak suka itu dijadikan sebagai pecut untuk memacumu berlari. Mungkin kamu beranggapan bahwa "dipecut" bukanlah satu-satunya cara untuk membuatmu berlari. Tapi pahamilah, bahwa pecut adalah cara termudah dan tersingkat, dan bagi saya pribadi pecut adalah alternatif terakhir saat waktu saya sudah hampir habis, saat saya sudah mencoba mendekatinya baik-baik dan mengajaknya berlari namun tetap tidak berhasil.
Satu pesan untuk seseorang yang entri blognya saya baca,
Yah, kurang lebih sama dengan senior yang lain, menyebutkan dengan lancar kekurangan di sana-sini. Lumrah menurut saya. Saya juga pernah menjadi senior, dan sebelumnya saya pernah menjadi junior. Lalu, membaca entri tersebut saya melihat adanya sebuah rantai yang terus berkesinambungan. Saya akan menceritakannya dengan ilustrasi.
Ada seorang anak bernama A. Dia baru saja masuk ke sebuah sekolah menengah, dan dia sangat senang berorganisasi. Dia tergabung ke dalam sebuah organisasi terpusat di sekolah menengah tersebut. Suatu hari, seniornya mempertanyakan hasil kerjanya yang dinilai tidak beres. Senior itu menyerangnya di depan khalayak saat sidang pertanggungjawaban, A mengakui bahwa ia memang salah, tetapi ia kesal dengan seniornya yang mempertanyakan itu dengan nada yang mengganggu dan terkesan marah padanya. Padahal menurut A, tanpa harus marah, ia bisa memahami maksud dari seniornya.
Tahun berikutnya, A bukan lagi seorang junior, ia adalah seorang senior. Setengah jalan, ia merasa kesal dengan juniornya yang tidak bisa melakukan pekerjaan dengan benar. Namun, karena dulu ia pernah diperlakukan keras oleh seniornya dan ia tahu rasanya tidak enak, ia lalu tidak melakukan hal yang sama pada juniornya. Sayangnya, juniornya tidak kunjung membaik. Si A pun akhirnya mengerti bahwa perlakuan keras memang terkadang diperlukan untuk menanamkan nilai. Ia sekarang tahu apa yang dipikirkan seniornya dulu. Dia menyadari kesalahannya dan tahu bahwa zamannya tidak lebih baik dari zaman seniornya, tapi dia lalu melihat bahwa zaman setelahnya tidak lebih baik dari zamannya. Juniornya A, lalu merasakan yang sama dengan apa yang dirasakan A dulu. Lalu hal itu terjadi terus-menerus selama mereka masih menggunakan sudut pandang yang sama. Sudut pandang yang lebih banyak mempermasalahkan metode kaderisasi, dan sedikit melihat substansi.
Hal inilah yang saya amati, dan terus terang baru saya sadari bahwa ini juga terjadi pada saya. Titik penting yang saya sadari disini adalah, ketika kita terlalu fokus pada metode kaderisasi dan bukan pada substansinya, maka kemungkinan besar kita akan kehilangan maksud dan tujuan senior kita sebenarnya, dan yang terjadi adalah penurunan kualitas yang terus-menerus.
Berdasarkan pengamatan saya selama ini, saya mengusulkan suatu penyelesaian. Suatu hal yang lumrah jika kita tidak menyukai senior kita yang memiliki cara keras dalam menyampaikan maksudnya. Bahkan senior yang melakukan tindakan tersebut juga pasti tidak menyukai saat dia diperlakukan demikian oleh seniornya dulu. Tapi, akan lebih baik jika rasa tidak suka itu dijadikan sebagai pecut untuk memacumu berlari. Mungkin kamu beranggapan bahwa "dipecut" bukanlah satu-satunya cara untuk membuatmu berlari. Tapi pahamilah, bahwa pecut adalah cara termudah dan tersingkat, dan bagi saya pribadi pecut adalah alternatif terakhir saat waktu saya sudah hampir habis, saat saya sudah mencoba mendekatinya baik-baik dan mengajaknya berlari namun tetap tidak berhasil.
Satu pesan untuk seseorang yang entri blognya saya baca,
Tenangkan fikiranmu, berfikirlah dengan jernih. Jangan menganggap orang lain salah hanya karena dirimu merasa melakukan lebih banyak. Jika ingin mendapat pandangan yang seimbang, tanyalah pada orang luar. Saya tahu saya bukan orang yang sebaik itu, saya mungkin pernah menjadi senior yang buruk. Tapi, untuk yang kesekian kalinya dalam entri ini, bukankah kita ingin substansi ini sampai pada adik-adik? Bukankah maksud kita adalah memecut agar mereka berlari?Saya minta maaf jika kata-kata yang saya gunakan salah. Saya pun masih akan menjalani berbagai kaderisasi di depan. Saya saat ini kembali menjadi junior di dunia yang baru, dunia mahasiswa. Yang saya tulis adalah apa yang saya amati dan keseluruhannya murni opini. Terus terang, tulisan ini juga untuk menasehati dan mengingatkan diri saya nantinya jika menghadapi kaderisasi yang "keras". Bahwa senior hanya ingin substansinya tersampaikan bagaimanapun bungkusnya. Jadi, saya harus siap jika substansi itu datang bersama "pecutan".
Aku yakin waktu akan mengantarkan sampai tiba pada sebuah jawaban. Meskipun jawaban itu sama seperti yang diterima Takaki dan Akira. Bukankah jarak dan waktu memang tak pernah menjanjikan akhir yang indah? Sebenarnya anime ini sudah muncul sejak tahun 2008, tapi aku baru tahu tentang adanya anime ini dari salah seorang teman di "grup sebelah". Teman-temanku di grup yang sama menyahuti dan bilang anime...
Sumber Half A Week Before the Winter Vanessa Carlton Half a week before the winterThe chill bites before it comesAnd I'm a child of the pleasure That he brings before he runs He sits behind a desk of mahoganyHe whispers dreams into my earAnd though I've given him his empireHe delivers me my fearThe unicorns are riding highPowerful in coats of whiteI turn...