Substansi dalam "Pecutan"
January 14, 2015
Baru saja membaca sebuah entri blog menarik dari seseorang yang saya kenal. Beliau menjabarkan tentang bagaimana tanggapannya terhadap berjalannya organisasi di tempat saya bersekolah dulu. Saya tidak akan menjabarkannya secara rinci, atau memberikan link langsung ke entri blog terkait. Intinya, penulis mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemegang sistem saat ini.
Yah, kurang lebih sama dengan senior yang lain, menyebutkan dengan lancar kekurangan di sana-sini. Lumrah menurut saya. Saya juga pernah menjadi senior, dan sebelumnya saya pernah menjadi junior. Lalu, membaca entri tersebut saya melihat adanya sebuah rantai yang terus berkesinambungan. Saya akan menceritakannya dengan ilustrasi.
Ada seorang anak bernama A. Dia baru saja masuk ke sebuah sekolah menengah, dan dia sangat senang berorganisasi. Dia tergabung ke dalam sebuah organisasi terpusat di sekolah menengah tersebut. Suatu hari, seniornya mempertanyakan hasil kerjanya yang dinilai tidak beres. Senior itu menyerangnya di depan khalayak saat sidang pertanggungjawaban, A mengakui bahwa ia memang salah, tetapi ia kesal dengan seniornya yang mempertanyakan itu dengan nada yang mengganggu dan terkesan marah padanya. Padahal menurut A, tanpa harus marah, ia bisa memahami maksud dari seniornya.
Tahun berikutnya, A bukan lagi seorang junior, ia adalah seorang senior. Setengah jalan, ia merasa kesal dengan juniornya yang tidak bisa melakukan pekerjaan dengan benar. Namun, karena dulu ia pernah diperlakukan keras oleh seniornya dan ia tahu rasanya tidak enak, ia lalu tidak melakukan hal yang sama pada juniornya. Sayangnya, juniornya tidak kunjung membaik. Si A pun akhirnya mengerti bahwa perlakuan keras memang terkadang diperlukan untuk menanamkan nilai. Ia sekarang tahu apa yang dipikirkan seniornya dulu. Dia menyadari kesalahannya dan tahu bahwa zamannya tidak lebih baik dari zaman seniornya, tapi dia lalu melihat bahwa zaman setelahnya tidak lebih baik dari zamannya. Juniornya A, lalu merasakan yang sama dengan apa yang dirasakan A dulu. Lalu hal itu terjadi terus-menerus selama mereka masih menggunakan sudut pandang yang sama. Sudut pandang yang lebih banyak mempermasalahkan metode kaderisasi, dan sedikit melihat substansi.
Hal inilah yang saya amati, dan terus terang baru saya sadari bahwa ini juga terjadi pada saya. Titik penting yang saya sadari disini adalah, ketika kita terlalu fokus pada metode kaderisasi dan bukan pada substansinya, maka kemungkinan besar kita akan kehilangan maksud dan tujuan senior kita sebenarnya, dan yang terjadi adalah penurunan kualitas yang terus-menerus.
Berdasarkan pengamatan saya selama ini, saya mengusulkan suatu penyelesaian. Suatu hal yang lumrah jika kita tidak menyukai senior kita yang memiliki cara keras dalam menyampaikan maksudnya. Bahkan senior yang melakukan tindakan tersebut juga pasti tidak menyukai saat dia diperlakukan demikian oleh seniornya dulu. Tapi, akan lebih baik jika rasa tidak suka itu dijadikan sebagai pecut untuk memacumu berlari. Mungkin kamu beranggapan bahwa "dipecut" bukanlah satu-satunya cara untuk membuatmu berlari. Tapi pahamilah, bahwa pecut adalah cara termudah dan tersingkat, dan bagi saya pribadi pecut adalah alternatif terakhir saat waktu saya sudah hampir habis, saat saya sudah mencoba mendekatinya baik-baik dan mengajaknya berlari namun tetap tidak berhasil.
Satu pesan untuk seseorang yang entri blognya saya baca,
Yah, kurang lebih sama dengan senior yang lain, menyebutkan dengan lancar kekurangan di sana-sini. Lumrah menurut saya. Saya juga pernah menjadi senior, dan sebelumnya saya pernah menjadi junior. Lalu, membaca entri tersebut saya melihat adanya sebuah rantai yang terus berkesinambungan. Saya akan menceritakannya dengan ilustrasi.
Ada seorang anak bernama A. Dia baru saja masuk ke sebuah sekolah menengah, dan dia sangat senang berorganisasi. Dia tergabung ke dalam sebuah organisasi terpusat di sekolah menengah tersebut. Suatu hari, seniornya mempertanyakan hasil kerjanya yang dinilai tidak beres. Senior itu menyerangnya di depan khalayak saat sidang pertanggungjawaban, A mengakui bahwa ia memang salah, tetapi ia kesal dengan seniornya yang mempertanyakan itu dengan nada yang mengganggu dan terkesan marah padanya. Padahal menurut A, tanpa harus marah, ia bisa memahami maksud dari seniornya.
Tahun berikutnya, A bukan lagi seorang junior, ia adalah seorang senior. Setengah jalan, ia merasa kesal dengan juniornya yang tidak bisa melakukan pekerjaan dengan benar. Namun, karena dulu ia pernah diperlakukan keras oleh seniornya dan ia tahu rasanya tidak enak, ia lalu tidak melakukan hal yang sama pada juniornya. Sayangnya, juniornya tidak kunjung membaik. Si A pun akhirnya mengerti bahwa perlakuan keras memang terkadang diperlukan untuk menanamkan nilai. Ia sekarang tahu apa yang dipikirkan seniornya dulu. Dia menyadari kesalahannya dan tahu bahwa zamannya tidak lebih baik dari zaman seniornya, tapi dia lalu melihat bahwa zaman setelahnya tidak lebih baik dari zamannya. Juniornya A, lalu merasakan yang sama dengan apa yang dirasakan A dulu. Lalu hal itu terjadi terus-menerus selama mereka masih menggunakan sudut pandang yang sama. Sudut pandang yang lebih banyak mempermasalahkan metode kaderisasi, dan sedikit melihat substansi.
Hal inilah yang saya amati, dan terus terang baru saya sadari bahwa ini juga terjadi pada saya. Titik penting yang saya sadari disini adalah, ketika kita terlalu fokus pada metode kaderisasi dan bukan pada substansinya, maka kemungkinan besar kita akan kehilangan maksud dan tujuan senior kita sebenarnya, dan yang terjadi adalah penurunan kualitas yang terus-menerus.
Berdasarkan pengamatan saya selama ini, saya mengusulkan suatu penyelesaian. Suatu hal yang lumrah jika kita tidak menyukai senior kita yang memiliki cara keras dalam menyampaikan maksudnya. Bahkan senior yang melakukan tindakan tersebut juga pasti tidak menyukai saat dia diperlakukan demikian oleh seniornya dulu. Tapi, akan lebih baik jika rasa tidak suka itu dijadikan sebagai pecut untuk memacumu berlari. Mungkin kamu beranggapan bahwa "dipecut" bukanlah satu-satunya cara untuk membuatmu berlari. Tapi pahamilah, bahwa pecut adalah cara termudah dan tersingkat, dan bagi saya pribadi pecut adalah alternatif terakhir saat waktu saya sudah hampir habis, saat saya sudah mencoba mendekatinya baik-baik dan mengajaknya berlari namun tetap tidak berhasil.
Satu pesan untuk seseorang yang entri blognya saya baca,
Tenangkan fikiranmu, berfikirlah dengan jernih. Jangan menganggap orang lain salah hanya karena dirimu merasa melakukan lebih banyak. Jika ingin mendapat pandangan yang seimbang, tanyalah pada orang luar. Saya tahu saya bukan orang yang sebaik itu, saya mungkin pernah menjadi senior yang buruk. Tapi, untuk yang kesekian kalinya dalam entri ini, bukankah kita ingin substansi ini sampai pada adik-adik? Bukankah maksud kita adalah memecut agar mereka berlari?Saya minta maaf jika kata-kata yang saya gunakan salah. Saya pun masih akan menjalani berbagai kaderisasi di depan. Saya saat ini kembali menjadi junior di dunia yang baru, dunia mahasiswa. Yang saya tulis adalah apa yang saya amati dan keseluruhannya murni opini. Terus terang, tulisan ini juga untuk menasehati dan mengingatkan diri saya nantinya jika menghadapi kaderisasi yang "keras". Bahwa senior hanya ingin substansinya tersampaikan bagaimanapun bungkusnya. Jadi, saya harus siap jika substansi itu datang bersama "pecutan".
4 comments
Oh ternyata gitu... Pantesan siklus maut ini susah untuk diakhiri...
ReplyDeletetapi kalo semisal ceritanya seperti ini 3 orang senior bertanya pada suatu kelompok juniornya dan pertanyaan itu sangatlah tidak penting hingga diperintah berdiri dan salah satu senior itu merebut mic dengan kasar. sehingga kelompok junior tersebut merasa dipermalukan, apa itu sebuah pecutan juga?
ReplyDeleteJuga. Tapi dalam hal ini yang dipecut bukan hanya junior itu. Seniornya pasti juga mendapat pecutan dari lingkungan. Pecutan yang menyadarkannya bahwa hal itu bukanlah hal benar. Pada akhirnya setiap peristiwa menyisakan pelajaran untuj diambil. Normal untuk melakukan kesalahan, normal untuk membenci, tapi bukankah tidak baik jika menyimpan dendam? :)
DeleteTerima kasih telah mengingatkan saya pada kebodohan yang telah saya lakukan. Kebodohan yang akan selalu saya sesali, dan mungkin menjadi satu satunya hal yang pernah saya sesali sedemikian dalam. Tapi dari itulah saya kemudian belajar. Percayalah, saya pun memperoleh balasan yang setimpal. Dan bukankah setiap orang juga?
Insya Allah pikiran kayak gitu gak ada Kak.. :) huwaa takut kalo sampe ada salah paham.. oke postingan saya semurni-murninya tujuannya adalah : 1. pemaparan saya, pemaparan alasan saya soal kenapa saya agak kurang sreg ketika lpj diterima, karena menurut saya ya hal itu aneh melihat prokerprokernya.. yagitulah, 2. permintaan saya kepada mps untuk mencoba mereset keputusannya, melihat kembali kemarin mengambil keputusan itu dengan gimana prosesnya, 3. yakali kalo emang gabisa mereset dan emang diterima, yaudah.. saya gak bakal ngapa-ngapain, saya kelas tiga, banyak hal yang harus diurusin.. 4. harapan saya, tantangan saya soal sonlis 2015.. iya saya agak khawatir, makanya saya tantang mereka..
ReplyDeleteya itu sih intinya, maaf, mungkin takutnya ada perasaan gak enak atau apa.. ya emang tujuan saya nulis buat itu.. ya mungkin saya bukan ahli mecut karena saya memang bukan tukang pecut HAHAHA garing emang, maaf ==" tapi iya, saya berharap dan benar-benar berharap di sonlis 2015 dan icare 2015, saya bukan ngrasa telah berbuat banyak, tapi yaa.. gitudeh.. yaa, gitudeh.. aduh susah njelasinnya takut salah ngomong..
intinya ya saya sebagai senior, senior yang sebenernya pengalamannya pun kurang, dan oke menurut saya pribadi postingan di blog saya itu menurut saya emm.. hanya luapan perasaan (?) dan sebagai tantangan sebagai yang baca (read:junior) terlebih yang saya BOLD.. tentang event yang selama ini tentu menjadi maskot, event yang sebenernya sekolah-sekolah lain udah punya event kayak gitu.. tinggal pembuktian, masihkah event maskot ini menjadi event maskot.. yagitu deh.. =="