Air yang Jatuh

April 17, 2015

Aku berjalan perlahan menikmati senja. Menggerakkan kakiku langkah demi langkah menyusuri jalan ke tempat bernaung. Tangan kananku meremas lengan kiri dan tangan kiriku meremas lengan kanan. Berusaha menghangatkan diri di tengah rintikan air yang jatuh bergemericik dan angin dingin yang berembus menerpa wajahku.
Tidak ada yang mau berjalan sendiri di tengah hujan sambil membiarkan tetesan air itu membasahi kain yang menempel di tubuh. Senja itu tidak ada, selain aku.
Aku mendongak ke atas, memandanginya yang jatuh bersama-sama. Lalu, aku bertanya-tanya, kenapa air jatuh? Sedangkan ia tak perlah terlihat naik ke atas. Aku hanya bisa melihatnya dan merasakannya saat ia jatuh.
Yah, aku tahu tentang peristiwa penguapan air dari permukaan lalu naik ke atas, lalu terjadi tumbukan ini dan itu, suhu yang begini dan begitu, lalu ia jatuh dan kembali lagi dan bla bla bla. Itu adalah serangkaian peristiwa yang menjadi penyebab hujan. Tapi, kenapa? Kenapa saat jatuh ia terlihat, tapi saat naik ia bahkan tidak pernah terasa?
Bukan. Yang kuinginkan bukan penjelasan tentang tekanan uap atau fasa atau sesuatu seperti itu. Aku ingin sesuatu yang bisa kupahami tanpa harus membuka buku. Sesuatu yang bisa aku renungi dan analogikan dengan kehidupan yang sedang aku jalani saat ini.
Aku berhenti berjalan dan mendongak ke atas.
Mungkin sama seperti manusia. Saat seorang manusia naik ke atas, mencapai keberhasilan, rasanya pasti begitu ringan tubuhnya.Tapi saat jatuh, beban yang harus dibawanya begitu berat. Ia ingin dirangkul, ia ingin dibantu. Ia hanya ingin bersama-sama, tidak ingin sendirian. Mungkin itu sebabnya air hujan tak pernah datang sendirian.
Aku melangkah lagi, sudah cukup dekat dengan tujuanku.
Sungguh bisa terhubung jika kita mau berusaha menghubung-hubungkan. Mungkin terlihat agak memaksa. Tapi, aku rasa tidak masalah jika kesimpulannya memang sesuatu yang baik.
Aku lalu berpikir tentang diriku sendiri dan bagaimana aku menghindar dari mereka yang sebelumnya kusebut-sebut sangat memahamiku, dari mereka yang sebelumnya kubangga-banggakan sebagai keluargaku yang luar biasa hanya karena takut. Takut dengan apa yang akan mereka katakan, takut dengan apa yang belum terjadi. Takut mengakui kalau selama ini aku salah. Kalau selama ini mereka sebenarnya tidak memahamiku, mereka hanya menilaiku, dan nilai bisa didapatkan dengan mudah tanpa pemahaman. Kalau sebenarnya mereka tidak pernah menjadi tempatku kembali pulang, tidak pernah menjadi keluarga yang benar-benar keluarga. Aku terlalu takut.
Aku ingin seperti hujan yang jatuh bersama-sama. Tapi yang terjadi adalah aku jatuh sendirian, sampai akhirnya jatuh hati pada kesendirian. Aku ingin dilindungi, maka aku mencari perlindungan. Tapi aku berakhir dengan kesimpulan bahwa hanya Allah yang bisa memberiku perlindungan. Karena orang-orang menilaiku dengan kepala mereka, mereka melupakan satu faktor penting: aku adalah seorang perempuan yang ingin dinilai dengan hati.
Kakiku sampai di depan pintu. Seluruh tubuhku basah oleh air yang jatuh. Hidungku mulai tersumbat, tubuhku menunjukkan gejala-gejala kurang sehat, dan kepalaku terasa begitu berat. Aku segera menyiapkan air panas dan bersih diri. Setelah itu, aku meringkuk di tempat tidur dan terlelap.
Dua jam yang lalu aku terbangun dengan keringat bercucuran dan suhu tubuh lebih tinggi dari biasanya. Setelah menenggak parasetamol, aku mengintip gadget dan membuka beberapa pesan.
Sebuah foto dikirimkan oleh seorang teman. Entah apa yang ada di benakku saat itu. Aku hanya terdiam dan memandangi foto itu lama sekali. Aku rindu. Tapi rasa takutku lebih besar daripada rindu. Aku bahagia. Tapi, lagi-lagi rasa takutku lebih besar daripada itu.
Setelah berhasil berpaling dari foto itu, kutulis jawaban panjang untuk si pengirim foto. Intinya: Aku pasti kembali suatu saat nanti. Saat menurutku kita semua siap. Siap untuk ikhlas dan sama-sama belajar. Tidak lagi saling menyalahkan tanpa solusi dan memenangkan ego. Saat tidak ada yang akan tersakiti.
Suatu saat nanti yang aku tidak tahu kapan. Mungkin esok, lusa, bulan depan, tahun depan, atau tidak sama sekali. Aku harus siap, selalu harus siap dengan semua kemungkinan, bahkan yang terburuk sekalipun. Aku harus bisa menguatkan diriku saat aku tak bisa seperti hujan. Saat aku harus menjadi air yang jatuh sendirian. Aku harus bisa menghadapi rasa sakit jatuh bertumbukan dengan tanah dan aku akan meresap ke dalamnya sendirian. Berharap di hujan berikutnya, aku akan menjadi hujan, air yang jatuh bersama-sama.

You Might Also Like

0 comments