Menyoal Perempuan
March 04, 2017
Sebagai seorang perempuan, saya merasa tertarik jika kita membahas soal perempuan. Banyak pertanyaan yang mampir di benak saya sebab ilmu saya soal ini juga masih sangat sedikit.
Saya selalu bertanya-tanya mengapa sifat perempuan harus sebegitu perasa dan rapuh. Saya selalu bertanya-tanya seperti apa seharusnya peran seorang perempuan dalam kehidupan. Belum lagi dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai peran seorang perempuan dalam karir, masyarakat, dan perpolitikan.
Saya, atau mungkin beberapa teman yang lain, merasa banyak sekali batasan kita sebagai seorang perempuan. Saya pernah berandai-andai, kalau saja saya bukan seorang perempuan, saya mungkin sudah menjadi "sesuatu". Saya bahkan pernah mempertanyakan, "Mengapa saya terlahir sebagai seorang perempuan?"
Sesi berbagi bersama geng sabtu hari ini memberikan saya banyak pencerahan dan penguatan berbagai pemahaman yang sebelumnya sudah ada namun tidak sebegitu kuat.
Secara garis besar, perempuan dalam kehidupan memiliki lima peran: manusia, anak, istri, ibu, dan masyarakat.
Saya banyak dipahamkan bahwa perempuan dan laki-laki dibedakan untuk alasan-alasan tertentu dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Sebagai seorang manusia, perempuan berperan sama dengan laki-laki dalam hal menyerukan kebaikan, amar ma'ruf nahi munkar. Sebagai seorang anak, perempuan memiliki kewajiban untuk taat kepada kedua orang tuanya. Sebagai seorang istri, perempuan harus taat kepada suaminya yang sholeh. Sebagai seorang Ibu, perempuan harus mengurus anak-anaknya dan memberikan hak-hak anak atas kasih sayang orang tua. Sebagai bagian dari masyarakat, perempuan sah-sah saja ikut memperjuangkan terwujudnya masyarakat madani dengan berbagai peran yang tersedia.
Sah saja untuk seorang wanita menjabat posisi penting dalam pemerintahan (selain posisi dengan otoritas setingkat khalifah), asalkan peran-perannya dalam kehidupan seluruhnya terpenuhi.
Di titik ini, saya masih merasa terlalu berat kewajiban yang harus dikerjakan oleh seorang perempuan dibandingkan dengan hal-hal yang bisa didapatkan olehnya.
Sampai saya teringat dengan suatu hal yang kemudian menghubungkan banyak hal: seorang perempuan memiliki privilege untuk menjadi seorang pengkader yang paling sempurna untuk anak-anaknya.
Seorang perempuan memiliki suatu keistimewaan untuk benar-benar membentuk anaknya seperti apa yang ia inginkan. Seorang perempuan memiliki hak untuk menginsepsi apapun nilai/value yang ia yakini untuk anak-anaknya, selagi kaum laki-laki bekerja, bertebaran di muka bumi, untuk memenuhi nafkah bagi keluarga.
Privilege sebagai pengkader inilah yang kemudian menjadi penjelas, mengapa wanita harus begitu riskan dan perasa. Jawabannya: karena memang harus begitu. Sebab mendidik seorang anak tidak semudah kaderisasi pasif jurusan yang dirancang menggunakan teori-teori. Mendidik seorang anak harus bisa melibatkan simpati dan empati, kemampuan untuk bisa memahami.
Semua terjawab. Perntanyaan-pertanyaan saya terjawab sudah. Dan saat ini saya berani berkata, saya bangga menjadi seorang perempuan.
Semua terjawab. Perntanyaan-pertanyaan saya terjawab sudah. Dan saat ini saya berani berkata, saya bangga menjadi seorang perempuan.
0 comments