Here I Am, The Third Grader
June 25, 2013
Hey, everyone! Now, you can call me the third grader. Yeah two years passed since I came to Insan Cendekia for the first time. And in two years, so many things happened.
Sekarang aku udah jadi anak kelas tiga. Kelas tiga berarti sibuk belajar, nggak ada OSIS, nggak ada SONLIS, nggak ada ekskul, semua bener-bener disiapin untuk ujian dan seleksi universitas. Entah, aku juga baru sadar udah sebesar ini. Tertarik waktu sadar tiga bulan lagi aku akan punya KTP, SIM, dan hak pilih dalam PEMILU. Itu menandakan sebuah titik balik yang luar biasa. Kita akan dipandang sebagai orang dewasa yang seharusnya telah dapat bertanggungjawab minimal atas dirinya dan apa yang dilakukannya.
Tapi, itu juga berarti aku harus lebih aware lagi terhadap diri sendiri. Aku harus bisa menghadapi banyak hal dengan sudut pandang yang lebih dewasa dan bijaksana dari sebelumnya. Apalagi kelas tiga adalah waktu yang sangat rentan untuk gerakan-gerakan 'belok' dari jalan yang lurus.
Contohnya nih, masalah hati. Pasti ada orang yang letaknya di kepalaku spesial. Rasanya kalo ketemu nggak bisa berhenti tersenyum, kalo ngobrol nggak berani liat orangnya, kadang salting nggak tau mau ngomong apa. Pasti ada lah. Atau kalaupun nggak ada sekarang, suatu saat nanti di tengah perjalanan kelas tiga (mungkin) akan ada. Ini yang paling aku susah praktikin walaupun teorinya udah tau. Secara teori sih aku tinggal menganggap dia sama kayak temen-temen yang lain, dan mencoba memandangnya murni sebagai teman. Tapi yaa, namanya udah nggak murni kan susah juga ya. Jadi mungkin alternatifnya adalah, aku harus menghindari orang itu. Kalo ada dia, balik badan dan kabur. Itu teorinya. Nggak tau deh praktiknya.
Contoh lain adalah masalah kedisiplinan. Kan entar akan ada suatu periode dimana anak kelas tiga nggak didaur lagi dan nggak dihitung poin masbuk di masjid. Nah, ini yang paling aku takut. Takut kalo tanpa poin kedisiplinanku menurun. Bismillah, semoga enggak deh,
Tapi dari semua hal, yang paling aku takutin adalah pisah dari anak angkatan, ninggalin IC, dan menghadapi dunia luar. Itu yang sampai saat ini belum kudapatkan teorinya. Gimana mau praktik -,-
Written by Anna Kumala
Sekarang aku udah jadi anak kelas tiga. Kelas tiga berarti sibuk belajar, nggak ada OSIS, nggak ada SONLIS, nggak ada ekskul, semua bener-bener disiapin untuk ujian dan seleksi universitas. Entah, aku juga baru sadar udah sebesar ini. Tertarik waktu sadar tiga bulan lagi aku akan punya KTP, SIM, dan hak pilih dalam PEMILU. Itu menandakan sebuah titik balik yang luar biasa. Kita akan dipandang sebagai orang dewasa yang seharusnya telah dapat bertanggungjawab minimal atas dirinya dan apa yang dilakukannya.
Tapi, itu juga berarti aku harus lebih aware lagi terhadap diri sendiri. Aku harus bisa menghadapi banyak hal dengan sudut pandang yang lebih dewasa dan bijaksana dari sebelumnya. Apalagi kelas tiga adalah waktu yang sangat rentan untuk gerakan-gerakan 'belok' dari jalan yang lurus.
Contohnya nih, masalah hati. Pasti ada orang yang letaknya di kepalaku spesial. Rasanya kalo ketemu nggak bisa berhenti tersenyum, kalo ngobrol nggak berani liat orangnya, kadang salting nggak tau mau ngomong apa. Pasti ada lah. Atau kalaupun nggak ada sekarang, suatu saat nanti di tengah perjalanan kelas tiga (mungkin) akan ada. Ini yang paling aku susah praktikin walaupun teorinya udah tau. Secara teori sih aku tinggal menganggap dia sama kayak temen-temen yang lain, dan mencoba memandangnya murni sebagai teman. Tapi yaa, namanya udah nggak murni kan susah juga ya. Jadi mungkin alternatifnya adalah, aku harus menghindari orang itu. Kalo ada dia, balik badan dan kabur. Itu teorinya. Nggak tau deh praktiknya.
Contoh lain adalah masalah kedisiplinan. Kan entar akan ada suatu periode dimana anak kelas tiga nggak didaur lagi dan nggak dihitung poin masbuk di masjid. Nah, ini yang paling aku takut. Takut kalo tanpa poin kedisiplinanku menurun. Bismillah, semoga enggak deh,
Tapi dari semua hal, yang paling aku takutin adalah pisah dari anak angkatan, ninggalin IC, dan menghadapi dunia luar. Itu yang sampai saat ini belum kudapatkan teorinya. Gimana mau praktik -,-
Written by Anna Kumala
0 comments