Berubah

September 02, 2014

Hari ini di tengah perjalanan panjang dari Masjid Salman ITB ke kosan di Cisitu Baru, aku mendapat ilham lagi. Entah kenapa tiba-tiba memikirkan teman-teman Magnivic, lalu mengerucut kepada teman-teman dekat sampai ke seseorang yang sangat dekat, seseorang yang baru beberapa hari yang lalu berkunjung ke Bandung jauh-jauh dari Yogyakarta. Dan tak lupa tentunya seseorang yang terus-menerus membantuku sejak masih di IC dulu sampai di Bandung ini.
Dari sekian banyak orang yang menghampiri pikiranku, dua orang itu yang berhenti paling lama. Untuk dia yang beberapa hari lalu mengunjungiku disini. Dia adalah orang yang pertama kali aku beritahu saat aku senang, saat aku sedih, saat aku bingung. Dia adalah adik, kakak, sahabat, dan pendengar terbaik sepanjang masa, walaupun kadang-kadang keras kepala dan susah dibilangin.
Untuk dia yang selalu membantuku, atau lebih tepatnya selalu kubuat susah. Dia adalah orang yang sangat baik (kepada semua orang sebenarnya) sampai aku bingung bagaimana cara membalas kebaikannya. Dia selalu ada kapanpun aku butuh bantuan. Dia selalu muncul secara ajaib tanpa aku harus membuang tenaga memanggilnya. Malah terkadang, takdir yang selalu mempertemukan kami dengan cara yang tak pernah aku pahami.
Aku benar-benar beruntung memiliki mereka. Benar-benar beruntung, karena rasanya orang sepertiku tidak selayak itu untuk teman-teman yang begitu baik. Lalu akhirnya aku sampai pada satu titik. Aku sampai pada satu pemahaman. Bahwa entah sejak kapan, aku telah (disadari ataupun tidak) bergantung kepada mereka. Saat (salah satu atau kesemua dari) mereka tidak ada, saat mereka jauh, aku bukan hanya merasa rindu, tapi aku juga merasa bahwa ada sesuatu yang sangat kurang. Ada sesuatu yang nyata hilang. Aku jadi berpikir "apa jadinya aku saat ini jika mereka tak ada" dan "mau jadi apa aku kalau mereka tidak ada".

Bagiku, itu bukan hal baik.

Sejak dulu, aku tidak suka bergantung pada orang lain dalam hal apapun. Aku tidak pernah bisa memercayai siapapun selain diri sendiri. Apapun yang orang katakan, tidak pernah kutelan mentah-mentah, selalu kumasak terlebih dahulu. Aku tidak pernah suka menceritakan unek-unek secara penuh kepada orang lain, bahkan aku tidak suka membagi masalah dan kesulitanku kepada orang lain. Selain rasa "tidak ingin menyusahkan", ada juga kesombongan disana. Aku merasa orang lain pun tidak akan membantu banyak, malah hanya akan semakin menyusahkan. Aku manusia, aku makhluk sosial, tapi aku adalah makhluk sosial yang soliter. Banyak isi kepalaku yang tak kukeluarkan ke telinga orang lain.
Meski saat ini aku banyak berubah, mulai mengurai satu per satu benang-benang di dalam kepalaku dan kukeluarkan hingga tertangkap gendang telinga seseorang (atau lebih), pada dasarnya apa yang kupikirkan tidak berbeda. Aku masih merasa membagi isi kepala dan kesulitanku bukan hal yang tepat, ditambah lagi karena aku sadar...
...suatu saat nanti mereka akan berubah. Mereka akan punya kehidupan dan tak punya waktu lagi untuk menyahutiku, sibuk dengan urusan mereka masing-masing, sibuk dengan pekerjaan, keluarga, dan obsesi masing-masing. Lalu aku akan kehilangan.
Saat mereka hilang, aku tak hanya akan merasa rindu, tapi juga merasa ada yang kurang. Perlahan, aku pun juga akan berubah. Jika saat ini nomor telepon mereka selalu ada di panggilang cepat telepon genggamku, maka mungkin sepuluh tahun lagi nama mereka bahkan tidak akan lagi mampir di daftar riwayat teleponku. Aku hanya akan kembali seperti sebelumnya, makhluk sosial yang soliter.
Skenario di dalam kepalaku siang ini menunjukkan bahwa semuanya hanya akan kembali ke titik semula. Aku hanya akan berputar dan sampai di garis start. Menyisakan tak lain hanya kenangan dan cerita.

You Might Also Like

0 comments