Karena suatu insiden, hari ini aku kembali teringat kejadian di suatu sore. Kejadian yang mengubah pandanganku tentang banyak hal. Tentang manusia terutama. Seperti biasa, aku tidak akan menceritakan dengan detil, tidak menyebut nama bahkan. Aku hanya akan mengambil intinya agar kita bisa sama-sama belajar.
Pernahkah kamu begitu menyayangi seseorang sampai sebegitu dalamnya? Sampai pandanganmu tentangnya begitu tinggi? Sampai apapun kau percayakan padanya? Sampai kau berpikir bahwa dia adalah satu-satunya yang bisa begini dan bisa begitu? Sampai penilaiannya adalah hal terpenting dalam hidupmu? Aku pernah. Satu kali.
Aku selalu berpikir bahwa kami telah berbagi semua hal, bahkan aku tidak tahu apa yang kurahasiakan darinya, jika memang ada. Aku selalu berpikir begitu.
Sampai sore itu datang. Aku bertanya sesuatu tentangnya, dia menjawab, dan aku percaya, seperti biasanya. Aku pikir semua akan baik-baik saja, namun ternyata Allah yang menunjukkan kebenaran ke depan mataku.
Dia tidak jujur.
Walaupun tidak benar-benar berbohong.
Sore itu berlalu dengan aku yang berpikir tentang banyak hal. Mencerna apa yang baru saja aku lihat. Memandangi layar gadget yang membuka pesanku untuknya yang belum dibaca. Aku mencoba memahami kondisinya. Aku merasa itu pasti akan mudah saja. Tapi, lalu aku sampai pada kesadaran: seperti apapun aku mempercayainya, dia tidak mempercayaiku sama besarnya.
Aku mencoba memahami dengan berbagai sudut pandang. Aku tahu bahwa dia pasti punya sesuatu yang tidak ingin dia ceritakan padaku, seperti aku juga punya hal yang tidak ingin aku ceritakan padanya. Tapi kenyataan bahwa dia tidak jujur padaku tetap membawa sebuah kekecewaan. Aku lalu mulai mempertanyakan eksistensiku bagi dia. Mungkinkah dia hanya menganggapku sebagai pengganggu yang mau tau urusannya? Atau pengganggu yang mengganggunya dengan masalahku?
Yah, mungkin pertanyaanku di atas hanya ungkapan kekecewaanku yang berlebihan. Aku merasa konyol karena sangat mempercayai seseorang tentang hal-hal penting dalam hidupku sedangkan dia bahkan belum bisa menilaiku dengan baik. Tidak sebaik yang kukira.
Aku bukan kecewa pada dia. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku lah objek kekecewaanku itu.
Hari itu aku belajar untuk menilai manusia sebagai seorang manusia. Menyayangi manusia sebagai seorang manusia. Tidak menilai terlalu tinggi, tidak menyayangi sebegitu dalamnya.
Dan hari itu, aku semakin sulit mempercayai manusia, sebaik apapun dia.
Pernahkah kamu begitu menyayangi seseorang sampai sebegitu dalamnya? Sampai pandanganmu tentangnya begitu tinggi? Sampai apapun kau percayakan padanya? Sampai kau berpikir bahwa dia adalah satu-satunya yang bisa begini dan bisa begitu? Sampai penilaiannya adalah hal terpenting dalam hidupmu? Aku pernah. Satu kali.
Aku selalu berpikir bahwa kami telah berbagi semua hal, bahkan aku tidak tahu apa yang kurahasiakan darinya, jika memang ada. Aku selalu berpikir begitu.
Sampai sore itu datang. Aku bertanya sesuatu tentangnya, dia menjawab, dan aku percaya, seperti biasanya. Aku pikir semua akan baik-baik saja, namun ternyata Allah yang menunjukkan kebenaran ke depan mataku.
Dia tidak jujur.
Walaupun tidak benar-benar berbohong.
Sore itu berlalu dengan aku yang berpikir tentang banyak hal. Mencerna apa yang baru saja aku lihat. Memandangi layar gadget yang membuka pesanku untuknya yang belum dibaca. Aku mencoba memahami kondisinya. Aku merasa itu pasti akan mudah saja. Tapi, lalu aku sampai pada kesadaran: seperti apapun aku mempercayainya, dia tidak mempercayaiku sama besarnya.
Aku mencoba memahami dengan berbagai sudut pandang. Aku tahu bahwa dia pasti punya sesuatu yang tidak ingin dia ceritakan padaku, seperti aku juga punya hal yang tidak ingin aku ceritakan padanya. Tapi kenyataan bahwa dia tidak jujur padaku tetap membawa sebuah kekecewaan. Aku lalu mulai mempertanyakan eksistensiku bagi dia. Mungkinkah dia hanya menganggapku sebagai pengganggu yang mau tau urusannya? Atau pengganggu yang mengganggunya dengan masalahku?
Yah, mungkin pertanyaanku di atas hanya ungkapan kekecewaanku yang berlebihan. Aku merasa konyol karena sangat mempercayai seseorang tentang hal-hal penting dalam hidupku sedangkan dia bahkan belum bisa menilaiku dengan baik. Tidak sebaik yang kukira.
Aku bukan kecewa pada dia. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku lah objek kekecewaanku itu.
Hari itu aku belajar untuk menilai manusia sebagai seorang manusia. Menyayangi manusia sebagai seorang manusia. Tidak menilai terlalu tinggi, tidak menyayangi sebegitu dalamnya.
Dan hari itu, aku semakin sulit mempercayai manusia, sebaik apapun dia.