“Kenapa FTSL? Kenapa Teknik Sipil?”

October 20, 2015

Jika biasanya pertanyaan datang dari banyak orang, saya justru malah bertanya kepada diri saya sendiri.

“Kenapa FTSL? Kenapa Teknik Sipil?”

Jurusan ini bahkan tidak pernah terbesit sekalipun sampai dua bulan sebelum pendaftaran SNMPTN Undangan ditutup. Saya ingat sekali mengapa tiba-tiba jurusan ini muncul dibenak saya: karena angket. Saat itu sekitar bulan November semester kelima saya di Insan Cendekia. Guru BK kami, Ibu Rini, meminta kami untuk menuliskan universitas dan jurusan harapan kami di secarik kertas. Sebanyak mungkin yang terpikir oleh kami.

Apa yang saya tulis? Saya sendiri kurang yakin. Mungkin Aerospace Engineering, atau Teknik Informatika, atau Matematika? Entahlah, saya lupa. Yang saya pikirkan waktu itu adalah saya mampu berjuang di jurusan apapun, kecuali yang berkaitan dengan biologi. Wajar mengingat nilai biologi saya memang jarang selamat dari remedial.
Lalu, iseng, saya mengintip kertas milik teman-teman saya yang lain. Muncul lah jurusan-jurusan baru untuk saya jadikan referensi: Teknik Elektro, Teknik Sipil, Teknik Industri, Teknik Perminyakan, Teknik Metalurgi, Meteorologi, Geodesi, dan jurusan-jurusan lainnya yang masih berputar di teknik.

Dari semua referensi jurusan yang saya miliki, saya hari itu juga melingkari Teknik Sipil. Begitu saja. Tanpa alasan A, B, C. Hanya merasa bahwa itulah jalan saya. Hanya merasa bahwa dengan itu saya akan bisa berbuat banyak. Hanya merasa bahwa saya mampu menikmatinya.

Mulai hari itu ketika teman-teman bertanya saya mau kuliah dimana, saya akan langsung menjawab “FTSL ITB” dengan mantap, tanpa keraguan, seakan keputusan itu telah saya ambil sejak lama dengan pertimbangan yang sangat matang.

Lalu beberapa bulan setelahnya, pengumuman undangan keluar dan saya lulus, saya menjadi mahasiswa FTSL ITB 2014. Alhamdulillah. Satu lagi nikmat Allah SWT yang seringkali saya lupakan. Bahwa saya diberi kesempatan untuk berkuliah, di ITB pula, di jurusan satu-satunya yang saya pilih ketika saya mendaftar SNMPTN Undangan.

Saya menjalani masa-masa TPB dengan cukup santai. Teman-teman yang lain berjuang untuk jurusan idamannya. Lalu saya sendiri? Jarang belajar, hanya memanfaatkan apa yang saya dapatkan di kelas. Jarang mengerjakan tutorial kecuali jika ditugaskan, hanya membaca buku kumpulan soal. Saya menjalaninya biasa saja, dengan target yang masih memungkinkan saya untuk berkemahasiswaan di terpusat. Saya tidak tahu apakah saya masih berdiri di atas pilihan yang sama pada saat itu. Diantara lima pilihan jurusan di FTSL, apakah saya akan tetap memilih Teknik Sipil saat kenaikan tingkat nanti? Atau saya akan berpindah? Saat itu saya gamang. Saya tidak tahu apa yang harus saya perjuangkan. Saya belum memilih lagi, dan saya pun belum pasti bertahan pada pilihan yang sama.

Setahu teman-teman yang lain, saya selalu bertahan pada pilihan awal. Tapi Ibu saya tahu, seperti apa saya bingung dan meminta pendapat beliau tentang jurusan apa yang memungkinkan untuk saya ambil. Orang lain boleh tahu keresahan saya setelah saya berhasil keluar dari keresahan tersebut.

Mei 2015, kadwil cukup membantu saya. Saya membuka mata terhadap jurusan-jurusan lain. Bertanya lebih banyak, mendapat jawaban lebih banyak. Saya tetap belum bisa condong ke salah satu diantara lima. Maka saya melakukan sistem eliminasi. Saya urutkan jurusan-jurusan FTSL sesuai dengan minat dan kemampuan saya hingga menyisakan satu jurusan di urutan pertama: Teknik Sipil. Maka malam itu, saya mengambil keputusan untuk yang kedua kalinya. (Jika ada yang pernah mendengar saya mengemukakan alasan-alasan yang berbau idealisme, mereka muncul setelah saya mengambil keputusan. Beberapa kalimat itu bukan menjadi alasan mengapa saya memilih, tapi ide-ide yang muncul setelah saya memilih.)

Berbulan-bulan telah berlalu sejak keputusan pertama jatuh. Hari ini saya ingin mencari, sebelah mana dari langkah yang telah saya ambil yang kira-kira keliru? Bagian mana yang salah sehingga beberapa hari belakangan ini saya selalu bertanya-tanya, “Kenapa saya ambil Teknik Sipil?”? Kenapa semakin saya mendalami ilmu ini justru keilmuan lain yang terlihat lebih menarik? Apa saya salah jurusan? Tapi saya sendiri tidak tahu mau jurusan apa kalau bukan yang saya jalani sekarang ini. No idea. So, in conclusion, I’ll just let times flow. ‘Cause, once I step forward, there is no way back, isn’t it?

Kalau saya tidak bisa menemukan tempat lain untuk saya pilih, maka saya akan temukan alasan-alasan yang akan menahan saya tetap tinggal. Di saat seperti ini, daripada teman yang mencarikan tempat lain untuk saya pilih, saya lebih membutuhkan teman yang menahan saya agar tetap tinggal. Sebab seperti yang kita tahu, pindah, apapun bentuknya, bukan perkara mudah dan resikonya kadang tak sebanding dengan manfaatnya.

You Might Also Like

0 comments