#CeriteraKampusku (1): Yang Pertama
May 22, 2018
Hari ini, di dalam kereta yang sedang tertahan di Stasiun Karanganyar dalam perjalanan pertama saya sendirian ke Jogjakarta, saya akan mulai menuliskan seri pertama dari kisah tentang saya dan kampus yang sejak dulu sudah terwacanakan untuk ditulis. Semua akan saya ceritakan dalam seri ini secara runut sesuai garis waktu dan saya bedakan tergantung apa yang sedang saya kerjakan. Seperti biasa, cerita ini ditulis bukan untuk siapapun, melainkan hanya untuk diri saya di masa yang akan datang.
Tapi jika siapapun mau membaca, silahkan.
Saya bukan yang terbaik di (S)MAN saya pada zamannya. Bukan yang setiap tahunnya punya nilai terbaik, bukan jebolan olimpiade nasional, bahkan bukan pejabat OSIS atau MPS. Saya hanya orang biasa yang selalu berusaha untuk tetap stabil dalam segala hal: nilai aman, organisasi jalan, universitas di tangan. Tidak peduli peringkat ke berapa karena sudah sadar bahwa saya tidak suka menjadikan orang lain sebagai tolak ukur, tidak suka mengurusi kesuksesan orang lain dan meratapi rezeki yang saya miliki seakan-akan itu sebuah kegagalan.
Usaha saya dan doa kedua orangtua saya akhirnya mengantarkan saya ke depan pintu selamat datang FTSL ITB. Saya luar biasa bersyukur, sebab di saat kawan-kawan lainnya masih harus berjuang melalui jalur tertulis, saya bisa melangkah ke ITB dengan nilai rapor saya selama belajar tiga tahun di MAN. Orangtua saya juga bersyukur dan akhirnya menyetujui ide "anak pertamanya kuliah di luar kota" setelah sebelumnya sangat membujuk saya supaya mau kuliah di universitas yang sangat dekat dengan rumah saya: Universitas Indonesia.
Hal yang membuat saya sangat semangat untuk kuliah di luar kota adalah ide bahwa jauh dari rumah berarti semi memiliki kehidupan sendiri dan saya sangat menyukai ide tersebut. Setelah proses daftar ulang yang cukup panjang, saya akhirnya resmi menjadi mahasiswa FTSL ITB 2014.
Hari-hari awal saya di FTSL tidak begitu saya ingat. Sebab asal saya dari Jakarta, yang pertama kali saya kenal tentunya kawan-kawan FTSL Jakarta yang sayangnya saya rasa kurang cocok dengan saya. Saya yang biasa sehari-hari tampil sederhana berhadapan dengan anak-anak gaul Jakarta yang luar biasa memerhatikan penampilan, biasa main ke mall-mall besar di Jakarta, dan sudah akrab dengan makanan-makanan di restoran-restoran yang bahkan saat itu belum pernah saya dengar namanya. Saya merasa kurang nyaman dengan kondisi tersebut sehingga pada akhirnya saya tidak banyak berkomentar dan tidak begitu dekat dengan kawan-kawan Fakultas.
Baru setelah semester genap nantinya saya menemukan bahwa Fakultas saya lebih besar daripada yang saya kira.
Ketidakdekatan saya dengan kawan-kawan Fakultas di semester ganjil membuat saya mencari-cari tempat lain untuk saya bergaul. Hingga akhirnya saya menemukan rumah pertama saya: Kemenkoan Eksternal Kabinet Seru KM ITB.
Mendaftar staff Kementerian Sospol secara kebetulan dan pada akhirnya diterima adalah hal paling awal yang akhirnya membawa saya pada akhir yang seperti saat ini. Pada saat wawancara, saya tidak mengerti apa-apa. Semua pertanyaan tidak bisa saya jawab sama sekali. Saya hanya mengangguk, menggeleng, dan melamun. Satu-satunya yang bisa saya jawab asalah pertanyaan mengenai komitmen.
Saat kemudian saya menjadi bagian dari Kementerian ini bukan karena saya pintar atau lebih daripada yang lain. Tapi karena Menteri saya sangat terbuka pada semua orang yang mau belajar.
Mulai sejak Bulan September akhir, Senin malam saya selalu dihabiskan bersama Kementerian Sosial Politik. Menteri saya pada saat itu, Luthfi Anshari, selalu punya ide untuk menjadikan jam 19.30-22.00 kami menarik. Mulai dari cerita bergantian tentang buku yang dibaca, bahkan beberapa diantaranya masih saya ingat, sampai berdiskusi soal permasalahan Indonesia pada saat itu. Diskusi yang masih saya ingat sampai hari ini adalah tentang kenaikan Premium di awal Pemerintahan Presiden Joko Widodo (mungkin ada yang ingat dulu 2014 Premium pernah berada di harga 8500 rupiah selama kurang lebih sebulan?).
Kumpul Sospol menjadi agenda yang paling saya nantikan setiap minggunya. Selain kumpul sospol, hal lainnya yang akhirnya jadi saya lakukan adalah sering main ke sekre KM ITB. Walaupun pada saat itu saya masih TPB, saya tidak pernah merasa terusir dari sana, walaupun juga tidak disambut tentunya. Saya nyaman berada disana dan saya suka belajar kepada orang-orang yang ada disana. Sampai hari ini saya masih ingat beberapa orang jajaran Kabinet Seru KM ITB di bawah pimpinan Jeffry Giranza itu. Meskipun saya yakin hampir pasti mereka lupa siapa saya.
Kenyamanan saya dalam lingkungan tersebut membuat saya akhirnya secara tidak sadar selalu memprioritaskan agenda sospol dibandingkan yang lain. Saya jarang sekali terlibat dalam agenda Fakultas, hampir tidak pernah malah. Seringkali saat kaderisasi unit-pun saya masih memprioritaskan Sospol. Padahal saya masih TPB pada saat itu, tapi saya sudah memiliki kecenderungan untuk memilih.
Saya tidak tahu kenapa. Yang saya tahu saya senang melakukannya. Yang saya tahu saya merasa senang belajar disana, cocok dengan orang-orang yang ada di dalamnya. Meskipun saya masih polos pada saat itu, masih suka baper dan sensitif, masih tetap belum bisa dandan juga, tapi saya menikmati kegiatan saya bersama kawan-kawan pertama saya di kampus itu.
Banyak kegiatan yang kami lakukan termasuk aksi atau demo yang saat itu hanya pernah saya lihat di televisi. Mereka memberikan saya pemahaman awal soal banyak hal, termasuk tentang realita KM ITB bahkan sebelum saya mengetahui barang sedikitpun tentang idealnya KM ITB. Saya akan tuliskan cerita itu di bagian berikutnya. Semoga saya dijauhkan dari rasa malas untuk menulis lagi.
Tapi jika siapapun mau membaca, silahkan.
Saya bukan yang terbaik di (S)MAN saya pada zamannya. Bukan yang setiap tahunnya punya nilai terbaik, bukan jebolan olimpiade nasional, bahkan bukan pejabat OSIS atau MPS. Saya hanya orang biasa yang selalu berusaha untuk tetap stabil dalam segala hal: nilai aman, organisasi jalan, universitas di tangan. Tidak peduli peringkat ke berapa karena sudah sadar bahwa saya tidak suka menjadikan orang lain sebagai tolak ukur, tidak suka mengurusi kesuksesan orang lain dan meratapi rezeki yang saya miliki seakan-akan itu sebuah kegagalan.
Usaha saya dan doa kedua orangtua saya akhirnya mengantarkan saya ke depan pintu selamat datang FTSL ITB. Saya luar biasa bersyukur, sebab di saat kawan-kawan lainnya masih harus berjuang melalui jalur tertulis, saya bisa melangkah ke ITB dengan nilai rapor saya selama belajar tiga tahun di MAN. Orangtua saya juga bersyukur dan akhirnya menyetujui ide "anak pertamanya kuliah di luar kota" setelah sebelumnya sangat membujuk saya supaya mau kuliah di universitas yang sangat dekat dengan rumah saya: Universitas Indonesia.
Hal yang membuat saya sangat semangat untuk kuliah di luar kota adalah ide bahwa jauh dari rumah berarti semi memiliki kehidupan sendiri dan saya sangat menyukai ide tersebut. Setelah proses daftar ulang yang cukup panjang, saya akhirnya resmi menjadi mahasiswa FTSL ITB 2014.
Hari-hari awal saya di FTSL tidak begitu saya ingat. Sebab asal saya dari Jakarta, yang pertama kali saya kenal tentunya kawan-kawan FTSL Jakarta yang sayangnya saya rasa kurang cocok dengan saya. Saya yang biasa sehari-hari tampil sederhana berhadapan dengan anak-anak gaul Jakarta yang luar biasa memerhatikan penampilan, biasa main ke mall-mall besar di Jakarta, dan sudah akrab dengan makanan-makanan di restoran-restoran yang bahkan saat itu belum pernah saya dengar namanya. Saya merasa kurang nyaman dengan kondisi tersebut sehingga pada akhirnya saya tidak banyak berkomentar dan tidak begitu dekat dengan kawan-kawan Fakultas.
Baru setelah semester genap nantinya saya menemukan bahwa Fakultas saya lebih besar daripada yang saya kira.
Ketidakdekatan saya dengan kawan-kawan Fakultas di semester ganjil membuat saya mencari-cari tempat lain untuk saya bergaul. Hingga akhirnya saya menemukan rumah pertama saya: Kemenkoan Eksternal Kabinet Seru KM ITB.
Mendaftar staff Kementerian Sospol secara kebetulan dan pada akhirnya diterima adalah hal paling awal yang akhirnya membawa saya pada akhir yang seperti saat ini. Pada saat wawancara, saya tidak mengerti apa-apa. Semua pertanyaan tidak bisa saya jawab sama sekali. Saya hanya mengangguk, menggeleng, dan melamun. Satu-satunya yang bisa saya jawab asalah pertanyaan mengenai komitmen.
Saat kemudian saya menjadi bagian dari Kementerian ini bukan karena saya pintar atau lebih daripada yang lain. Tapi karena Menteri saya sangat terbuka pada semua orang yang mau belajar.
Mulai sejak Bulan September akhir, Senin malam saya selalu dihabiskan bersama Kementerian Sosial Politik. Menteri saya pada saat itu, Luthfi Anshari, selalu punya ide untuk menjadikan jam 19.30-22.00 kami menarik. Mulai dari cerita bergantian tentang buku yang dibaca, bahkan beberapa diantaranya masih saya ingat, sampai berdiskusi soal permasalahan Indonesia pada saat itu. Diskusi yang masih saya ingat sampai hari ini adalah tentang kenaikan Premium di awal Pemerintahan Presiden Joko Widodo (mungkin ada yang ingat dulu 2014 Premium pernah berada di harga 8500 rupiah selama kurang lebih sebulan?).
Kumpul Sospol menjadi agenda yang paling saya nantikan setiap minggunya. Selain kumpul sospol, hal lainnya yang akhirnya jadi saya lakukan adalah sering main ke sekre KM ITB. Walaupun pada saat itu saya masih TPB, saya tidak pernah merasa terusir dari sana, walaupun juga tidak disambut tentunya. Saya nyaman berada disana dan saya suka belajar kepada orang-orang yang ada disana. Sampai hari ini saya masih ingat beberapa orang jajaran Kabinet Seru KM ITB di bawah pimpinan Jeffry Giranza itu. Meskipun saya yakin hampir pasti mereka lupa siapa saya.
Kenyamanan saya dalam lingkungan tersebut membuat saya akhirnya secara tidak sadar selalu memprioritaskan agenda sospol dibandingkan yang lain. Saya jarang sekali terlibat dalam agenda Fakultas, hampir tidak pernah malah. Seringkali saat kaderisasi unit-pun saya masih memprioritaskan Sospol. Padahal saya masih TPB pada saat itu, tapi saya sudah memiliki kecenderungan untuk memilih.
Saya tidak tahu kenapa. Yang saya tahu saya senang melakukannya. Yang saya tahu saya merasa senang belajar disana, cocok dengan orang-orang yang ada di dalamnya. Meskipun saya masih polos pada saat itu, masih suka baper dan sensitif, masih tetap belum bisa dandan juga, tapi saya menikmati kegiatan saya bersama kawan-kawan pertama saya di kampus itu.
Banyak kegiatan yang kami lakukan termasuk aksi atau demo yang saat itu hanya pernah saya lihat di televisi. Mereka memberikan saya pemahaman awal soal banyak hal, termasuk tentang realita KM ITB bahkan sebelum saya mengetahui barang sedikitpun tentang idealnya KM ITB. Saya akan tuliskan cerita itu di bagian berikutnya. Semoga saya dijauhkan dari rasa malas untuk menulis lagi.
0 comments