Seminggu Berlalu

May 05, 2018

Seminggu terakhir ini saya mengalami masa-masa demotivasi terparah dalam hidup saya. Saya merasa kesepian, dimanapun saya berada. Kehilangan hal yang ingin saya perjuangkan. Kehilangan hal yang saya suka. Kehilangan orang-orang yang saya sayangi dan saya anggap tidak akan pernah meninggalkan saya, yang saya kira akan selalu mendukung saya dan memberikan saya dorongan.

Yah, mungkin saya memang hanya sedang berada di titik itu, saat hidup terasa begitu kosong. Tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Selama seminggu terakhir saya merasa enyah saja semua orang dari hidup saya. Jangan datang, jangan mau tau, jangan menolong, sebab saya merasa mereka tidak benar-benar ada untuk menolong. Sebab saya merasa mereka ingin menolong bukan karena sayang, hanya karena kemanusiaan. Sebagaimana mereka akan menolong yang bukan saya.

Tidak. Tidak ada yang salah dengan itu. Menolong karena sesama manusia itu baik. Hanya saja saya sedang tidak butuh ditolong karena itu. Saya hanya sedang ingin ditolong karena saya adalah saya, dan bukan yang lainnya. Tapi sesuai dengan apa yang saya tanam beberapa tahun belakangan, ya wajar saja jika pada akhirnya tidak ada yang datang, sebab saya telah banyak merusak hubungan personal saya dengan banyak orang. Dan orang-orang yang lately memiliki hubungan personal dengan saya nampaknya tidak cukup memedulikan saya untuk kemudian datang.

Saya akhirnya memilih menyembuhkan diri dengan menyendiri, dengan merasa puas pada adanya diri sendiri dan Sang Pencipta. Memilih sejenak mengabaikan semua hal dan merenung. Saya menangis. Setelah sekian lama. Dan membiarkan air mata itu mengalir dan membawa kesadaran bahwa hidup bukan cuma soal menjalani apa yang diinginkan, menyayangi orang-orang, atau mencapai apa yang didefinisikan sebagai kesempurnaan. Lebih dari itu, hidup adalah perjalanan menuju kematian dan yang sepatutnya dihargai hanyalah kebermanfaatan. Bahkan kebaikan dan keburukan tidak bisa kita ketahui dengan pasti balasannya. Hanya berbuat, menebar manfaat, tanpa pamrih dan bahkan sebisa mungkin lupa apa itu balasan akan kebaikan.

Tidak pernah berekspektasi, sebab ekspektasi sangat dekat dengan kekecewaan.

Lalu semua perenungan itu saat ini membawa saya kembali merasakan rasa syukur karena masih mampu bernafas. Kesendirian seminggu lamanya membuat saya yakin untuk kembali menjalani kehidupan saya. Kehidupan saya, bukan deretan kegiatan yang hanya akan memenuhi ekspektasi orang lain saja. Apalagi orang-orang yang pada akhirnya tetap bukan siapa-siapa dan bahkan tidak mampu menolong apa-apa.

Jangankan mampu, datang saja tidak.

You Might Also Like

0 comments