Berniat Single

June 08, 2018

Kalau ada yang mengira saya orang yang selalu baik-baik saja dalam kondisi single, tentu saja tidak. Sebelum hari ini, saya pernah menjadi orang yang meratap karena setiap kali saya menyukai seseorang selalu bertepuk sebelah tangan. Saya selalu bertanya-tanya apakah saya seburuk itu? Apakah saya setidak layak itu untuk orang yang saya sukai?

Ada sebuah proses yang sangat panjang sampai akhirnya saya mencapai titik dimana saya bisa menikmati dan mensyukuri kondisi saya hari ini dan apa yang saya alami di hari-hari yang lalu. Saya tidak takut menceritakannya sebab ini adalah bagian dari diri saya, salah satu tahapan belajar yang harus saya lewati agar saya sampai pada sosok yang hari ini. Juga siapa tahu, kamu saat ini sedang membaca, berada pada circumstances yang saya rasakan pada saat itu.

Kalau ada yang berfikir mengenai saya dan kemudian judge bahwa saya adalah orang yang tidak mudah menyukai seseorang, tidak mengambil hati terhadap sesuatu yang sweet, bahkan tidak suka bunga atau hal-hal picisan lainnya, sebenarnya kalian salah besar.

Saya sebenarnya orang yang cukup cheesy dan mudah perhatian pada hal-hal kecil yang dilakukan seseorang terhadap saya. Kalau bahasa sekarangnya adalah "mudah baper" mungkin. Tapi konteksnya bukan kemudian saya jadi suka, tapi lebih ke saya jadi merasa dia menyukai saya. Saya sering sekali merumitkan hal-hal yang sebenarnya sederhana. Menyulap sebuah kebetulan menjadi "takdir" di dalam kepala saya. Satu kejadian di kepala saya bisa menjelma menjadi banyak makna. Bahkan hanya sekadar pinjam pulpen atau meminjamkan payung bisa berubah menjadi sesuatu yang tidak hanya itu.

Selain suka sekali "menerjemahkan" saya juga suka sekali menjadi sok perhatian. Tiba-tiba memberikan sesuatu padahal tidak diminta dan kalau ditanya kenapa saya juga tidak tahu. Padahal belum tentu juga saya berikan karena saya suka. Mungkin perhatian yang saya berikan lebih ke arah "membalas" saja kali ya. Karena dengan kepercayaan diri tingkat dewa itu saya yang tahu benar rasanya menyukai seseorang sendirian tidak ingin orang yang saya anggap "menyukai" saya itu merasa tidak dihargai.

Dampaknya, saya jadi terjebak dalam beberapa situasi yang menyulitkan.

Dulu, saya pernah menyukai seorang kakak senior waktu SMA. Tapi biasanya kalau saya benar-benar suka, saya jadi suka sekali denial mati-matian walaupun kalau kata teman-teman dekat saya "keliatan banget kali, Na". Saya yang suka denial itu berusaha dekat dengan yang lain untuk menunjukkan kalau saya tidak menyukai si kakak senior.

Beberapa teman sempat dekat dengan saya dan saya sempat merasa mereka bahkan menyukai saya sampai saya memberikan "perhatian" yang saya sebut sebelumnya. Dengan melakukannya, saya mencoba membuktikan pada diri saya bahwa "saya nggak suka kok sama si kakak senior" dengan dalih "buktinya saya bisa dekat dengan si A". Setelah itu biasanya si A yang saya maksud merasa cukup dekat dengan saya sampai kemudian menceritakan bahwa dia menyukai teman seangkatan kami, dan saya kira saya akan patah hati tapi ternyata tidak. Lalu saya pun tahu "oh, saya nggak suka dia". Terus begitu sampai beberapa orang dengan pola yang sama sampai di akhir masa SMA saya punya cukup banyak teman yang semacam itu.

Pada akhirnya yang saya dapatkan adalah banyak cerita roman picisan masa SMA yang bukan punya saya, melainkan punya teman-teman saya dan pandangan teman-teman seangkatan lainnya bahwa "Ana anaknya udah biasa main sama cowok" atau "Ana emang cewek?". Sejak punya pengalaman dengan pola yang sama, saya berhenti berfikir bahwa orang melakukan ini dan itu karena mereka menyukai saya dan akhirnya terbentuk pemikiran baru dalam kepala saya bahwa "apapun yang dilakukan orang lain kepada saya dan apapun yang saya lakukan kepada orang lain, mereka tidak akan pernah berfikir bahwa hal tersebut memiliki konteks romantis, pasti akan hanya dianggap sebagai bantuan atau perhatian teman".

Di titik itu, saya mulai merasa "tidak akan ada yang menyukai saya seintens apapun interaksi kami" Kondisi yang terjadi pada saat saya lulus SMA adalah saya masih suka sama si kakak senior yang saya bilang di bagian sebelumnya tapi di saat yang sama juga merasa tidak punya harapan dengan si kakak itu. Walaupun seperti nggak ada harapan, tapi saya masih mengamati si kakak senior dan berharap. Sudah tidak lagi denial karena dua tahun waktu yang cukup untuk menyadarkan bahwa saya benar-benar suka.

Dengan pemikiran yang baru, saya kembali dekat dengan banyak orang dengan normal. Saya tidak lagi suka menerjemahkan yang aneh-aneh dan dekat dengan orang lain apa adanya saja. Ngobrol, main, dan tidak hanya dengan satu orang. Tidak ada yang spesial sama sekali diantara teman-teman saya ini. Selain itu, di masa awal kuliah saya mulai kenal sospol dan sangat tersedot ke dalamnya sehingga hal-hal romantis sudah jarang saya pikirkan. Tapi seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya merasa aman karena si kakak senior kedengarannya masih single jadi saya masih bisa berharap. Dan dengan interaksi yang saya terjemahkan waktu kami masih satu sekolah, saya yakin sekali pada saat itu jika dia juga menyukai saya. (Saya menerjemahkan waktu kepala dan hati saya masih lemah pada saat itu, jadi saya sempat merasa kalau kesimpulan saya mengenai si kakak senior tidak tepat dan saya merasa malu sekali. Tapi.... setelah saya sekarang lebih jernih dan coba untuk kembali melakukan simulasi, saya yakin sekali dia pernah suka atau minimal tertarik kepada saya. Spekulatif, karena saya tidak pernah tanya. Tapi saya berani bertaruh kalau saya ceritakan kejadiannya, kalian para pembaca juga akan sepakat dengan saya)

Banyak orang yang ada di sekeliling saya luar biasa, tapi tidak sekalipun saya menyukai mereka lebih dari sukanya seorang teman. Interaksi yang kami lakukan pun hanya ngobrol, tidak pernah sampai makan berdua, atau nonton berdua, atau hal lainnya yang lebih "dekat".

Kemudian di pertengahan 2016, sebuah kejadian yang saya lupa apa membuat saya mengambil keputusan untuk melepaskan harapan saya pada si kakak senior. Saya mengungkapkan semuanya sejujur-jujurnya melalui surat yang saya sebut "PDF lima halaman" dan memutuskan bahwa saya tidak boleh lagi menyukai si kakak senior. Pada saat itu saya memutuskan untuk mulai membuka diri untuk orang lain yang bermaksud lebih dekat dengan saya.

Setelah hari itu, saya baru mulai terbuka dan mengiyakan ajakan nonton film atau makan bersama, meski begitu saya masih menghindari hal-hal yang dibuka ke publik seperti foto berdua dan semacamnya. Saya masih tidak mau si kakak senior melihat, diam-diam saya masih berharap meskipun mengatakan sudah mau membuka diri. Saya yang waktu itu seperti sedang mencari orang untuk digantungkan harapan. Seperti sangat desperate untuk memiliki "seseorang". Saya bahkan berusaha mendoktrin diri saya menyukai seseorang yang saya sebenarnya tahu persis saya nggak suka. Kondisi yang sangat aneh kalau saya pikirkan sekarang.

Kesibukan saya pada saat itu juga ringan-ringan saja. Tidak begitu menyita pikiran sampai saya bisa melupakan hal-hal roman itu. Baru setelah PEMIRA KM ITB dimulai, pikiran saya tersedot habis. Saya tidak lagi sempat memikirkan hal-hal romantis. Saya fokus, sangat fokus untuk memenangkan Ardhi Rasy Wardhana. Tidak pernah sedikit pun terbesit di kepala saya hal selain strategi pemenangan. PEMIRA bagi saya adalah titik balik. Kali pertama akhirnya saya menemukan apa yang ingin saya lakukan dalam hidup saya. Mulai saat itu, apa yang penting dan tidak penting dalam hidup saya bergeser. Hal-hal romantis yang sebelumnya berada di tingkat sekunder, mulai bergeser menjadi tersier, hal terakhir yang mau saya pikirkan.

Kesibukan saya di PEMIRA dimulai sejak awal September 2016 sampai awal Februari 2017. Selama PEMIRA saya tidak pernah menengok profil media sosial si kakak senior, tidak pernah pergi berdua dengan siapapun kecuali calon presiden saya. (Di titik ini kalau kalian berfikir saya suka dalam konteks romantis ke Kak Ardhi, kalian salah besar, karena hubungan saya dan Kak Ardhi sama sekali nggak kayak gitu dan saya sama sekali nggak pernah kebayang akan jadi kayak gitu, saya menghormati dia karena saya belajar banyak dari dia dan dia membuka banyak kesempatan untuk saya belajar dari orang lain, dia adalah salah satu orang yang saya tua-kan) Meskipun begitu, saya tetap menjaga untuk tidak mengepos foto berdua di media sosial. Padahal, saat itu "foto bareng Ardhi" adalah salah satu bentuk kampanye kreatif yang dicanangkan tim. Tapi, saya tidak melakukannya.

Januari 2017, ada acara tahunan ikatan alumni SMA saya. Saya berfikir bahwa ini mungkin adalah momentum saya bisa bertemu langsung dengan si kakak senior dan menumbuhkan lagi harapan saya yang pada saat itu hanya tinggal sedikit. Meski pada saat itu masih PEMIRA, saya tidak lupa pada kesempatan itu dan tetap berusaha hadir. Izin kepada calon presiden saya untuk melewatkan beberapa agenda tim.

Sayangnya, berangkatnya saya saat itu bukannya menumbuhkan lagi harapan yang sedikit tapi justeru mematikan harapan yang masih ada. Si kakak senior rupanya sudah punya gandengan. Lebih parahnya, mereka ternyata sudah lama bersama-sama dan hampir semua teman-teman saya sudah tahu. Hanya saya yang tidak tahu karena hampir tidak pernah mengecek media sosial kecuali untuk kepentingan PEMIRA. Setelah tahu, saya langsung stalk semua media sosial yang bisa saya jangkau dan ternyata memang sudah lama dan sudah banyak foto-foto mereka.

Jadi hari itu adalah kira-kira sudah lima tahun saya menaruh harapan pada si kakak senior. Dan harapan saya yang memang sudah mengecil diruntuhkan. Serta merta. Menulis cerita ini membuat saya sedikit merasakan lagi perasaan saya hari itu: luar biasa sedih. Saya biasanya jarang menangis kecuali jika ada cerita sedih tentang orangtua. Bahkan saya sebelumnya tidak pernah menangis karena alasan romantis.

Tapi hari itu, meski teman-teman saya berusaha menghibur dengan mengajak saya nonton, saya tetap menangis. Air mata saya mengalir tanpa saya harus mengedipkan mata, bahkan saya tidak bisa tidur sampai shubuh. Lalu besoknya, jika bukan karena saya harus mengejar travel untuk kembali ke Bandung dan meneruskan perjuangan di PEMIRA, maka saya sangat enggan keluar dari kamar. Tidak tidur, hanya duduk bersandar sambil berfikir. Kalau saya fikirkan sekarang, sebenarnya apa yang saya lakukan hari itu sangat di luar nalar dan seharusnya tidak perlu sampai sebegitunya. Tapi, mungkin itu yang namanya patah hati.

Itu adalah patah hati terhebat saya. Cukup sekali.

Setelah hari itu, saya langsung pos foto berdua dengan Kak Ardhi yang dimaksudkan untuk kampanye itu. Seakan-akan saya jadikan tools untuk balas dendam "saya juga bisa". Kalau kata beberapa teman saya blunder sekali. Pada saat itu sumbu saya sangat pendek, biar saja, difikir saya nggak bisa dekat sama yang keren. Childish sekali ya.

Hari itu mengubah lagi pemikiran saya. Mulai saat itu saya memutuskan, bahwa saya tidak akan pernah menyukai orang lain sebelum orang itu bilang terlebih dahulu kalau dia menyukai saya. Saya memutuskan untuk tidak menjadi pihak yang "kalah". Ya, sejak saat itu saya menjadikan hal-hal romantis layaknya sebuah perlombaan: yang duluan suka, dia yang kalah.

Dampaknya, jika saya mulai tertarik kepada seseorang, saya akan menjaga jarak dan mundur. Saya tidak membiarkan diri saya menyukai siapapun. Tapi saya tetap berteman dengan banyak orang dengan normal: terkadang jalan berdua juga walaupun tidak semua orang saya iya-kan.

Kesibukan saya sebagai Menteri di Kabinet membuat saya terkadang merasa butuh companion untuk sekadar escape dari kesibukan yang tidak berhenti-berhenti. Apalagi Presiden saya senang sekali menambahkan pekerjaan saya dan masalahnya karena saya satu pemikiran dengan dia, saya juga jadi ingin mengeksekusi pekerjaan yang ditambahkan itu. Teman-teman sospol lainnya pada saat itu mulai dekat dengan seseorang dan saya tetap sendiri. Ada satu waktu dimana saya merasa ingin sekali punya crush juga. Apalagi terkadang seorang teman SMA saya tiba-tiba mengirimkan sesuatu dari media sosial tentang si kakak senior dengan pacarnya seolah-olah mau memanas-manasi saya. Dan berhasil.

Kondisi ini membuat saya jadi pemberi harapan palsu tingkat dewa. Saya jadi bermanis-manis pada orang yang sebenarnya tidak saya suka sebegitunya. Orang-orang ini menarik, tapi saya tidak seserius itu. Saya bahkan belum menyukai siapapun seperti dulu saya menyukai si kakak senior yang dulu.

Saya baru menyadari betapa jahatnya saya saat belum lama ini saya akhirnya menjatuhkan korban yang serius sekali menyatakan perasaannya terhadap saya. Ditembak serius begitu saya takut luar biasa karena saya tidak pernah berfikir sampai kesana atau memaksudkan ini semua ke arah sana. Ditambah menurut saya dia belum mengenal saya dan saya merasa baik saya dan dia tidak akan berhasil memenuhi ekspektasi satu sama lain. Teman-teman dekat saya saat itu menasihati saya habis-habisan, sedikit memarahi juga, beberapa menertawakan, dan sisanya mempertanyakan kenapa saya menolak.

Di titik inilah saya menyadari bahwa sebenarnya saya masih ingin sendiri, tapi selama ini saya belum menghargai kesendirian yang saya miliki. Saya sudah sadar kalau saya belum menyukai orang lain seperti saya menyukai si kakak senior. Tapi saya tidak menjalankan hidup saya untuk tetap berprogress dengan kondisi yang ada. Saya masih meratapi dan seakan-akan desperate untuk memiliki itu semua. Padahal saat yang saya pikir saya inginkan datang, saya ternyata belum mampu menerima.

Saat ini saya sadar, bahwa saya masih single bukan karena saya tidak bisa berusaha menjadi taken, tapi karena mental saya masih sendiri. Saya suka berubah tapi saya tidak suka berubah demi orang lain, saya suka memberikan feedback tapi saya cenderung masih menghindari apa yang saya tidak suka dari seseorang ketimbang membantunya berubah jadi lebih baik, saya suka diperhatikan tapi cenderung masih merasa terganggu dengan orang yang terus-menerus memperhatikan saya.

Saya sadar bahwa saya masih sendiri bukan karena saya masih menyukai si kakak senior. Saya mendoakan agar hidupnya baik dan berkah dengan siapapun jodohnya. Bukan juga karena saya takut rasa suka saya pada seseorang tidak akan dibalas. Bukan juga karena tidak ada yang menyukai saya atau bahasa jahatnya nggak laku. Saya masih sendiri karena saya memang mau sendiri. Mental saya masih sendiri. Banyak hal yang ingin saya lakukan dan hanya bisa dilakukan saat saya sendiri.

Dan untuk kali ini. Meski saya single sejak lahir, baru kali ini saya benar-benar merasa niat menjadi single. Bukan pasrah, tapi niat. Lalu banyak hal yang sudah akan saya persiapkan sampai saya nanti harus tidak sendiri lagi. Kali ini, saya excited menjadi single dan kalian yang sedang meratapi status single mungkin mulai harus menulis ulang lagi niat kalian. Supaya single pun tetap progresif dan berfaedah.

You Might Also Like

1 comments

  1. 20, 22, 27, 60, 64-65, 87, 90, 94, 101-126, 137,

    1-19,21,23-26,28-59,61-63,66-86,88-89,91-93,95-100,127-136,138-148

    ReplyDelete