Memilih Ara
May 09, 2020
Aku melihat jam dinding di ruanganku sambil memandangi pintu. Jam pulang kantor sudah terlewat tetapi pintu itu tidak henti-hentinya diketuk oleh mereka yang ingin bertamu.
Tok! Tok! Tok!
Sekali lagi pintu ruanganku diketuk. Aduh, siapa lagi sih yang mau mendiskusikan pekerjaan jam segini? Masih betah dan belum mau pulang rupanya.
"Masuk!" ujarku pada sosok di balik pintu.
"Permisi, Mbak Ara!"
Rupanya Pak Didin, satpam kantorku, yang mengetuk pintu. Ia terlihat membawa sesuatu di tangannya. Sepertinya sesuatu itu untukku.
"Eh, iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ini, Mbak Ara. Ada undangan untuk Mbak."
Pak Didin menyerahkan sebuah undangan pernikahan berwarna emas. Di muka undangan tersebut terukir inisial mempelai dan tertempel kertas bertuliskan namaku.
"Terima kasih banyak, Pak. Undangannya saya terima."
Pak Didin tersenyum mengangguk dan kemudian meninggalkan ruanganku.
Aku memerhatikan undangan di tanganku. Siapa lagi ya ini? Usiaku 26 tahun, jadi sering sekali aku menerima undangan pernikahan akhir-akhir ini. Beberapa bisa kuhadiri, sedangkan beberapa lainnya tidak.
Aku membuka undangan itu dengan saksama dan memperhatikan detilnya. Bagus sekali. Mungkin undangan seperti inilah yang akan aku cetak untuk pernikahanku kelak. Entah dengan siapa.
Ketika mataku menemukan nama mempelai, aku terdiam. Kubaca berulang kali nama yang tertera, tapi rupanya nama tersebut masih sama. Ah, apakah hari ini masih bisa lebih buruk lagi?
Aku baru saja memarkirkan mobilku di garasi ketika sebuah pesan masuk ke telepon genggamku. "Ar, kamu sudah terima undanganku kah?"
Aku hanya melihat sekilas pesan tersebut di preview. Pesan itu tidak kubuka. Tentu akan kubuka nanti dan kubalas. Tapi tidak sekarang. Tidak di saat perasaanku masih seperti ini dan aku masih belum bisa menjawabnya dengan baik dan benar.
Aku terduduk lama di dalam mobil yang masih menyala. Menarik nafas panjang dan membuangnya. Berusaha menenangkan diri.
Setelah dua puluh menit mematung, aku akhirnya bergerak mematikan mesin mobilku dan keluar dari mobil. Sudahlah, saatnya aku kembali ke rumah dan menjadi seorang anak. Persoalan ini kufikirkan nanti saja.
-----o-----
Sudah tiga hari aku tidak membalas pesan si mempelai. Aku sengaja tidak muncul di media mana pun selama tiga hari ini demi menghindari peluang interaksi dengan dia. Meskipun nampaknya dia pun tidak sebegitu niatnya untuk mengontakku. Buktinya dia hanya mengirimkan pesan sekali itu dan hanya satu kalimat itu saja. Tidak ada pesan lainnya.
Hari ini aku sudah lebih tenang. Sudah banyak berkontemplasi dan belajar menerima kenyataan. Jadi, aku memutuskan sepertinya hari ini aku akan membalas pesannya. Mungkin aku akan berpura-pura sibuk bekerja selama tiga hari ke belakang. Walaupun sesungguhnya aku sibuk menata perasaan.
Baru saja aku ingin membalas pesannya. Teleponku langsung berdering. Dia menelepon.
"Ar, masih sibuk nggak? Hehe," ujar suara di balik telepon. Suara ini, lama sekali tidak kudengar.
"Eh, Ben. Sorry banget yang kemarin belum sempat kubalas. Ini baru aja mau kubalas kok."
"Santai, Ar. Aku paham kok, kamu pasti sibuk," katanya dengan ceria. "Jadi, masih sibuk nggak sekarang? Aku lagi di dekat kantormu nih! Makan malam bareng yuk!" Dia melanjutkan kalimatnya.
Aku berfikir sebentar. Sepertinya tidak apa bertemu orang ini sekali lagi. Setidaknya sebelum dia menjadi suami orang.
"Boleh, Ben. Kami tentukan aja ya tempatnya! Nanti aku nyusul dari kantor."
Aku menerima ajakan Ben dan mengakhiri telepon singkat itu.
Semoga saja perasaan dan sikapku tertata ketika nanti bertemu Ben. Biar perasaanku tidak baik, tapi sikapku harus selalu baik di depan Ben. Harus.
"Jadi gitu, Ar, ceritanya," kata Ben menutup cerita panjangnya tentang sang calon isteri. Sudah satu jam kami berbincang di restoran ini. Lebih banyak Ben yang bercerita tentu saja. Aku hanya tersenyum sambil merespon sesekali untuk memperlihatkan seakan aku tertarik mendengar ceritanya. Meski tentu saja sebagian besar dari ceritanya bahkan tidak masuk sama sekali ke telingaku.
Ben menyesap kopinya lalu bergumam. "Akhirnya aku duluan ya, Ar, yang menikah. Padahal dulu kamu kekeuh kalau kamu mau duluan."
Aku hanya merespon dengan tersenyum kecil. Ah, kenapa aku mau ya diajak makan malam oleh orang ini?
"Kamu belum ada rencana menikah, Ar?"
Aku menggeleng.
"Kenapa, Ar? Kamu sulit diyakinkan ya?" tanya Ben.
Aku menghela nafas dan menjawab. "Aku tidak sulit diyakinkan, Ben. Tapi aku sulit meyakinkan orang bahwa aku yakin terhadap dirinya. Aku sulit membuat orang itu percaya bahwa aku sudah memilihnya."
"Kamu ditolak?" tanya Ben simpatik.
Aku menggeleng. "Aku bahkan belum menyampaikan apapun kepada orang itu. Bagaimana bisa dia menolakku?"
"Kalau begitu kamu sampaikan aja, Ar. Aku yakin dia nggak akan menolakku." Ben berusaha menyemangatiku. Sepertinya dia tidak bisa melihat kemana arah pembicaraan ini akan berakhir. Tapi aku sudah memutuskan, sebaiknya aku mengakhirinya seperti ini.
"Aku tidak bisa menyampaikannya, Ben. Karena dia secara tidak sadar adalah penganut patriarki dimana menurut dia harus laki-laki yang mengungkapkan perasaan duluan."
"Ah, tapi memang iya sih, Ar. Harusnya laki-laki itu yang mengungkapkan perasaannya duluan. Kalau begitu, kamu coba kasih sinya aja, Ar."
"Sudah, Ben. Sudah sejak lama aku berusaha berikan sinyal ke arah sana. Bahwa aku sudah memilihnya, bahwa aku yakin terhadap dirinya, dan aku mau berusaha untuk bersama dia. Tapi, terakhir kutahu, dia sudah memilih orang lain."
"Kenapa ya, Ar dia seperti itu? Kenapa ya dia membuat hubungan kalian menggantung seperti itu?" Ben bertanya penasaran.
Aku lalu memandang kedua matanya sambil meneteskan air mata. "Kenapa, Ben?"
Ben terdiam bingung, nampaknya tidak mengerti apa maksudku. Aku memandangnya terus dengan tatapan yang sama, tanpa berkedip, dengan tajam. Aku mengulang pertanyaanku, "kenapa?"
Kali ini Ben mengerti. Dia membalas tatapanku dan bergumam dalam, "maaf, Ar."
Aku mengulang lagi pertanyaanku yang belum dijawabnya, "kenapa, Ben? Kenapa kamu tidak pernah bicara apapun? Kamu tahu kedekatan kita layak dibicarakan, kenapa kamu tidak pernah memulai? Sedangkan kamu tidak suka jika aku yang memulai duluan."
"Aku... aku takut kamu menolakku dan menjauh, Ar," ujarnya.
"Ben, kamu bahkan belum menyampaikan apapun. Bagaimana bisa aku menolakmu?"
Air mataku masih menetes. Aku tidak berusaha mendramatisasi keadaan. Hanya saja aku tidak bisa menghentikan air mataku dan entah kenapa mengusapnya terlihat sangat menyedihkan. Aku tidak mau terlihat menyedihkan.
"Aku tidak cukup untuk kamu dan mimpi kamu, Ar. Kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari aku. Aku yakin itu." Ben berusaha menenangkanku. Tapi aku tidak tergerak sekalipun dengan kata-kata itu.
"Jangan menyalahkanku jika orang yang tidak memilih adalah kamu. Aku telah memilihmu, kamu yang tidak memilihku. Artinya bukan kamu yang tidak cukup, tetapi aku. Mungkin pada satu titik dalam hidupmu aku adalah pilihan pertamamu dan kamu berusaha untukku. Sampai seseorang yang lebih baik muncul dan kemudian menjadi pilihan pertamamu."
Ben terdiam mendengarku berbicara. Aku pun melanjutkan.
"Ben, aku tidak mau menghadiri pernikahanmu. Aku minta maaf. Saat ini aku sangat menyedihkan. Aku tidak akan menemui semua orang dengan kondisi perasaan selemah ini."
Ben menyodorkan tisu kepadaku dan mengisyaratkan kepadaku untuk menghapus air mataku. Aku menolaknya. "Kalau aku ingin menghapus air mata ini, aku akan mengambil tisu sendiri."
"Ar, aku minta maaf. Aku menyukai kamu, tapi aku terlalu takut memilih kamu. Aku takut tidak bisa mengimbangi dan membahagiakan kamu." Ben menata kata-katanya dan menyampaikan dengan suara yang sangat dalam.
"Ar, seandainya percakapan ini terjadi satu tahun yang lalu, aku pasti memilihmu," ujar Ben.
"Kamu telah melewatkanku, bagaimana bisa kamu mengandaikan sesuatu yang mustahil? Lagipula, hadapilah yang ada di depan matamu sekarang dan jadikan kejadian ini sebagai pelajaran. Jangan pernah lagi kamu lewatkan kesempatan apapun yang ada. Terkadang, gagal itu lebih baik daripada tidak pernah mencoba."
Air mataku mulai mengering. Ben tetap terdiam menatapku.
"Lagipula jangan salah sangka, Ben. Aku tidak apa-apa. Aku hanya perlu waktu. Selamat atas pernikahanmu. Semoga keluarga kalian bahagia. Ah, juga sepertinya aku harus pamit karena besok harus bekerja pagi-pagi sekali."
Aku tidak menunggu Ben merespon, melainkan langsung berdiri dan menuju kasir. Aku membayar makan malam kami malam itu dan segera pergi meninggalkan restoran tersebut.
Aku menyetir sambil menangis malam itu. Tidak pernah membayangkan aku akan mengalami patah hati yang seperti ini lagi. Padahal dulu aku sudah bertekad tidak akan pernah berharap pada orang lain. Tapi, sepertinya tanpa sadar bertahun-tahun ini aku sudah menaruh harapan besar pada Ben.
Lagu manusia bodoh mengalun menemani patah hatiku malam itu. Ben melewatkanku, jadi jelas dia bukan jodohku. Lama-kelamaan aku lelah dengan segala kegagalan ini.
Tok! Tok! Tok!
Sekali lagi pintu ruanganku diketuk. Aduh, siapa lagi sih yang mau mendiskusikan pekerjaan jam segini? Masih betah dan belum mau pulang rupanya.
"Masuk!" ujarku pada sosok di balik pintu.
"Permisi, Mbak Ara!"
Rupanya Pak Didin, satpam kantorku, yang mengetuk pintu. Ia terlihat membawa sesuatu di tangannya. Sepertinya sesuatu itu untukku.
"Eh, iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ini, Mbak Ara. Ada undangan untuk Mbak."
Pak Didin menyerahkan sebuah undangan pernikahan berwarna emas. Di muka undangan tersebut terukir inisial mempelai dan tertempel kertas bertuliskan namaku.
"Terima kasih banyak, Pak. Undangannya saya terima."
Pak Didin tersenyum mengangguk dan kemudian meninggalkan ruanganku.
Aku memerhatikan undangan di tanganku. Siapa lagi ya ini? Usiaku 26 tahun, jadi sering sekali aku menerima undangan pernikahan akhir-akhir ini. Beberapa bisa kuhadiri, sedangkan beberapa lainnya tidak.
Aku membuka undangan itu dengan saksama dan memperhatikan detilnya. Bagus sekali. Mungkin undangan seperti inilah yang akan aku cetak untuk pernikahanku kelak. Entah dengan siapa.
Ketika mataku menemukan nama mempelai, aku terdiam. Kubaca berulang kali nama yang tertera, tapi rupanya nama tersebut masih sama. Ah, apakah hari ini masih bisa lebih buruk lagi?
-----o-----
Aku baru saja memarkirkan mobilku di garasi ketika sebuah pesan masuk ke telepon genggamku. "Ar, kamu sudah terima undanganku kah?"
Aku hanya melihat sekilas pesan tersebut di preview. Pesan itu tidak kubuka. Tentu akan kubuka nanti dan kubalas. Tapi tidak sekarang. Tidak di saat perasaanku masih seperti ini dan aku masih belum bisa menjawabnya dengan baik dan benar.
Aku terduduk lama di dalam mobil yang masih menyala. Menarik nafas panjang dan membuangnya. Berusaha menenangkan diri.
Setelah dua puluh menit mematung, aku akhirnya bergerak mematikan mesin mobilku dan keluar dari mobil. Sudahlah, saatnya aku kembali ke rumah dan menjadi seorang anak. Persoalan ini kufikirkan nanti saja.
-----o-----
Sudah tiga hari aku tidak membalas pesan si mempelai. Aku sengaja tidak muncul di media mana pun selama tiga hari ini demi menghindari peluang interaksi dengan dia. Meskipun nampaknya dia pun tidak sebegitu niatnya untuk mengontakku. Buktinya dia hanya mengirimkan pesan sekali itu dan hanya satu kalimat itu saja. Tidak ada pesan lainnya.
Hari ini aku sudah lebih tenang. Sudah banyak berkontemplasi dan belajar menerima kenyataan. Jadi, aku memutuskan sepertinya hari ini aku akan membalas pesannya. Mungkin aku akan berpura-pura sibuk bekerja selama tiga hari ke belakang. Walaupun sesungguhnya aku sibuk menata perasaan.
Baru saja aku ingin membalas pesannya. Teleponku langsung berdering. Dia menelepon.
"Ar, masih sibuk nggak? Hehe," ujar suara di balik telepon. Suara ini, lama sekali tidak kudengar.
"Eh, Ben. Sorry banget yang kemarin belum sempat kubalas. Ini baru aja mau kubalas kok."
"Santai, Ar. Aku paham kok, kamu pasti sibuk," katanya dengan ceria. "Jadi, masih sibuk nggak sekarang? Aku lagi di dekat kantormu nih! Makan malam bareng yuk!" Dia melanjutkan kalimatnya.
Aku berfikir sebentar. Sepertinya tidak apa bertemu orang ini sekali lagi. Setidaknya sebelum dia menjadi suami orang.
"Boleh, Ben. Kami tentukan aja ya tempatnya! Nanti aku nyusul dari kantor."
Aku menerima ajakan Ben dan mengakhiri telepon singkat itu.
Semoga saja perasaan dan sikapku tertata ketika nanti bertemu Ben. Biar perasaanku tidak baik, tapi sikapku harus selalu baik di depan Ben. Harus.
-----o-----
"Jadi gitu, Ar, ceritanya," kata Ben menutup cerita panjangnya tentang sang calon isteri. Sudah satu jam kami berbincang di restoran ini. Lebih banyak Ben yang bercerita tentu saja. Aku hanya tersenyum sambil merespon sesekali untuk memperlihatkan seakan aku tertarik mendengar ceritanya. Meski tentu saja sebagian besar dari ceritanya bahkan tidak masuk sama sekali ke telingaku.
Ben menyesap kopinya lalu bergumam. "Akhirnya aku duluan ya, Ar, yang menikah. Padahal dulu kamu kekeuh kalau kamu mau duluan."
Aku hanya merespon dengan tersenyum kecil. Ah, kenapa aku mau ya diajak makan malam oleh orang ini?
"Kamu belum ada rencana menikah, Ar?"
Aku menggeleng.
"Kenapa, Ar? Kamu sulit diyakinkan ya?" tanya Ben.
Aku menghela nafas dan menjawab. "Aku tidak sulit diyakinkan, Ben. Tapi aku sulit meyakinkan orang bahwa aku yakin terhadap dirinya. Aku sulit membuat orang itu percaya bahwa aku sudah memilihnya."
"Kamu ditolak?" tanya Ben simpatik.
Aku menggeleng. "Aku bahkan belum menyampaikan apapun kepada orang itu. Bagaimana bisa dia menolakku?"
"Kalau begitu kamu sampaikan aja, Ar. Aku yakin dia nggak akan menolakku." Ben berusaha menyemangatiku. Sepertinya dia tidak bisa melihat kemana arah pembicaraan ini akan berakhir. Tapi aku sudah memutuskan, sebaiknya aku mengakhirinya seperti ini.
"Aku tidak bisa menyampaikannya, Ben. Karena dia secara tidak sadar adalah penganut patriarki dimana menurut dia harus laki-laki yang mengungkapkan perasaan duluan."
"Ah, tapi memang iya sih, Ar. Harusnya laki-laki itu yang mengungkapkan perasaannya duluan. Kalau begitu, kamu coba kasih sinya aja, Ar."
"Sudah, Ben. Sudah sejak lama aku berusaha berikan sinyal ke arah sana. Bahwa aku sudah memilihnya, bahwa aku yakin terhadap dirinya, dan aku mau berusaha untuk bersama dia. Tapi, terakhir kutahu, dia sudah memilih orang lain."
"Kenapa ya, Ar dia seperti itu? Kenapa ya dia membuat hubungan kalian menggantung seperti itu?" Ben bertanya penasaran.
Aku lalu memandang kedua matanya sambil meneteskan air mata. "Kenapa, Ben?"
Ben terdiam bingung, nampaknya tidak mengerti apa maksudku. Aku memandangnya terus dengan tatapan yang sama, tanpa berkedip, dengan tajam. Aku mengulang pertanyaanku, "kenapa?"
Kali ini Ben mengerti. Dia membalas tatapanku dan bergumam dalam, "maaf, Ar."
Aku mengulang lagi pertanyaanku yang belum dijawabnya, "kenapa, Ben? Kenapa kamu tidak pernah bicara apapun? Kamu tahu kedekatan kita layak dibicarakan, kenapa kamu tidak pernah memulai? Sedangkan kamu tidak suka jika aku yang memulai duluan."
"Aku... aku takut kamu menolakku dan menjauh, Ar," ujarnya.
"Ben, kamu bahkan belum menyampaikan apapun. Bagaimana bisa aku menolakmu?"
Air mataku masih menetes. Aku tidak berusaha mendramatisasi keadaan. Hanya saja aku tidak bisa menghentikan air mataku dan entah kenapa mengusapnya terlihat sangat menyedihkan. Aku tidak mau terlihat menyedihkan.
"Aku tidak cukup untuk kamu dan mimpi kamu, Ar. Kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari aku. Aku yakin itu." Ben berusaha menenangkanku. Tapi aku tidak tergerak sekalipun dengan kata-kata itu.
"Jangan menyalahkanku jika orang yang tidak memilih adalah kamu. Aku telah memilihmu, kamu yang tidak memilihku. Artinya bukan kamu yang tidak cukup, tetapi aku. Mungkin pada satu titik dalam hidupmu aku adalah pilihan pertamamu dan kamu berusaha untukku. Sampai seseorang yang lebih baik muncul dan kemudian menjadi pilihan pertamamu."
Ben terdiam mendengarku berbicara. Aku pun melanjutkan.
"Ben, aku tidak mau menghadiri pernikahanmu. Aku minta maaf. Saat ini aku sangat menyedihkan. Aku tidak akan menemui semua orang dengan kondisi perasaan selemah ini."
Ben menyodorkan tisu kepadaku dan mengisyaratkan kepadaku untuk menghapus air mataku. Aku menolaknya. "Kalau aku ingin menghapus air mata ini, aku akan mengambil tisu sendiri."
"Ar, aku minta maaf. Aku menyukai kamu, tapi aku terlalu takut memilih kamu. Aku takut tidak bisa mengimbangi dan membahagiakan kamu." Ben menata kata-katanya dan menyampaikan dengan suara yang sangat dalam.
"Ar, seandainya percakapan ini terjadi satu tahun yang lalu, aku pasti memilihmu," ujar Ben.
"Kamu telah melewatkanku, bagaimana bisa kamu mengandaikan sesuatu yang mustahil? Lagipula, hadapilah yang ada di depan matamu sekarang dan jadikan kejadian ini sebagai pelajaran. Jangan pernah lagi kamu lewatkan kesempatan apapun yang ada. Terkadang, gagal itu lebih baik daripada tidak pernah mencoba."
Air mataku mulai mengering. Ben tetap terdiam menatapku.
"Lagipula jangan salah sangka, Ben. Aku tidak apa-apa. Aku hanya perlu waktu. Selamat atas pernikahanmu. Semoga keluarga kalian bahagia. Ah, juga sepertinya aku harus pamit karena besok harus bekerja pagi-pagi sekali."
Aku tidak menunggu Ben merespon, melainkan langsung berdiri dan menuju kasir. Aku membayar makan malam kami malam itu dan segera pergi meninggalkan restoran tersebut.
Aku menyetir sambil menangis malam itu. Tidak pernah membayangkan aku akan mengalami patah hati yang seperti ini lagi. Padahal dulu aku sudah bertekad tidak akan pernah berharap pada orang lain. Tapi, sepertinya tanpa sadar bertahun-tahun ini aku sudah menaruh harapan besar pada Ben.
Lagu manusia bodoh mengalun menemani patah hatiku malam itu. Ben melewatkanku, jadi jelas dia bukan jodohku. Lama-kelamaan aku lelah dengan segala kegagalan ini.
0 comments