Perspektif Politik di Mata Generasi Penerus

September 21, 2011

-->
Ehem. Hai semua pembaca yang baik hati. Beruntunglah anda semua membaca entri saya yang satu ini. Karena kali ini, saya akan membahas hal yang serius.
Perhatikan saja, jika saya menggunakan kata 'aku' sebagai sudut pandang orang pertama, maka saya sedang menulis sesuatu yang saya jalani/alami. Jika saya menggunakan kata 'gue', maka itu artinya saya sedang labil. Jika saya menggunakan bahasa yang sok puitis, itu artinya saya sedang galau.
Dan jika seperti sekarang ini, menggunakan kata 'saya' berarti saya sedang berpikir serius.

Yang akan saya bahas disini adalah tentang perspektif generasi penerus terhadap dunia politik. Sebelumnya maaf jika saya terlalu frontal atau apalah. Yang jelas, saya hanya ingin memiliki wadah untuk menyalurkan aspirasi dan pandangan saya.
POLITIK.
Kata yang satu ini kadang melahirkan ketakutan tersendiri bagi saya. Bukan takut pada politiknya, lebih tepatnya, takut pada suasana yang ditimbulkan oleh politik itu.
Kalau kita sama-sama lihat perkembangan politik sekarang, maka selain mengelus dada dan mendinginkan fikiran agar tak terbawa emosi, pasti ada sedikit fikiran kalau suatu saat nanti kita tak mau menjadi politikus. Walaupun kita tak mengakui itu, tapi pasti perasaan itu ada “sedikit”.
Jujur saya juga terkadang merasa demikian.
Ketika kita bertanya pada pelajar Indonesia, “apa cita-cita kalian?” pasti kebanyakan menjawab profesi-profesi umum seperti dokter, pilot, perawat, guru, dan sejenis itu.
Sangat jarang yang menjawab ingin menjadi seorang politikus. Atu berani memiliki cita-cita menjadi seorang presiden. Meskipun bukan berarti tidak ada.
Padahal ketika berdiskusi di kelas tentang bagaimana politik Indonesia dewasa ini, hampir semuanya bersemangat dan berkomentar tentang para politikus.
Dari mulai terlalu banyak korupsi, sampai penjara koruptor yang terlalu mewah. Semua komentar yang dilontarkan sebenarnya dapat dijadikan kritik membangun jika itu direalisasikan.
Tapi masalahnya, ketika ditanya apa cita-cita mereka, tak ada yang menjawab ingin menjadi politikus, atau presiden, atau jabatan lain dalam pemerintahan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat merealisasikan apa yang tadi dibahas di kelas.
Inilah ironinya orang Indonesia. Atau mungkin bukan orang Indonesia saja. Banyak yang suka berkomentar tentang orang lain, tapi belum tentu bisa memposisikan diri di orang itu.
Seharusnya, ketika kita siap berkomentar terhadap para koruptor, dan politik Indonesia yang penuh monopoli, kita harus siap action. Jangan sampai teorinya saja yang sempurna, tapi prakteknya nol besar.
Ketika pemerintah membeli mobil mewah untuk para anggota DPR, padahal ekonomi kita saat itu sedang terseok-seok, kita hanya bisa menonton di televisi dan berdemo kecil-kecilan. Tapi, saya tidak melihat diantara anggota DPR itu yang menolak mobil dinasnya dan minta ditukar dengan mobil yang biasa karena alasan merasa mengecewakan rakyat. Padahal saat kampanye, di koar-koarkan bahwa dia bersedia membela kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Klise.
Ada satu hal lagi yang paling membuat saya meringis.
Tempo hari, di kelas, saat sedang membahas masalah kebangsaan, guru Pkn saya bertanya, “siapa yang siap menegakkan hukum?”
Dan sedihnya adalah, hanya sebagian kecil dari kelas itu yang mengangkat tangan. Sangat kecil.
Alasannya adalah, menegakkan hukum di zaman sekarang ini sulit. Di mana-mana monopoli. Sogok-menyogok, ancam-mengancam, dan bahkan tak jarang saling memfitnah.
Ini masalahnya.
Semua berpikir, seandainya benar-benar masuk ke dunia politik, maka dia tidak akan kuat menahan godaan akan harta, atau dia tidak akan kuat tetap menjaga kejujuran saat keluarganya diancam akan dibunuh. Seakan kita tidak memiliki pilihan.
Padahal seperti yang pernah (atau tidak) saya katakan.
Hidup ini penuh dengan pilihan. Jika kita ingin menjadi orang sukses, maka pilihlah sesuatu untuk dirimu, sebelum sesuatu itu memilihmu.

Hidupmu adalah pilihanmu.
Tidak sulit. Kita hanya perlu memilih ingin menjadi politikus, yang jujur, atau tukang menjajah bangsa sendiri. Itu terserah pada kita. Karena apa yang kita lakukan, sesungguhnya kita pula yang akan mempertanggungjawabkannya.
Kita tahu kalau harta tidak akan dibawa mati. Kita juga tau bahwa hidup dan matinya manusia sudah ada yang mengatur, dan tentu saja itu bukan manusia. Jadi, apa yang ditakutkan dari ancaman itu?
Fear of death is worse than death it self...

Si pengancam atau penyogok (sebut saja X) itu bukan Tuhan yang menguasai takdir. Dia hanya manusia yang lemah dan dipenuhi rasa takut. Lalu, terjepit dan tak dapat menentukan pilihan lain. Kita jangan memandang dari sudut pandang lemah. Yang menyatakan kalau dia itu dapat melakukan apapun pada kita kalau kita berani macam-macam padanya. Tapi pandanglah dalam perspektif kalau dia hanyalah orang yang kerdil dan terpojok dalam dunia hukum dan politik. Dia hanya terombang-ambingkan oleh keadaan.
Maka, jika begitu saya rasa tak ada lagi momok menakutkan jika kita mendengar kata politik atau hukum.
Lewat coretan singkat ini, saya ingin mengajak seluruh generasi penerus yang saat ini membaca apa yang saya tulis. Kita pasti tahu, dalam segala sisi, Indonesia memiliki kekurangan. Dan dalam beberapa bidang banyak terdapat monopoli, yang kebanyakan berunsur uang. Atau yang lebih kita kenal dengan sebutan KKN.
Kita tahu itu, tapi lalu apa yang akan kita lakukan?
Apa kita akan diam saja?
Berkomentar seperlunya namun setelah itu berpura-pura tidak tahu?
Kembali fokus pada dunia sendiri?
Saya tidak menghasut anda semua untuk merubah cita-cita. Biar bagaimanapun tidak semua orang ahli dalam hal politik, dan handal membawa diri dalam suasana penuh dominasi seperti itu.
Tapi bagi anda yang berpotensi besar, mengapa tidak kita merealisasikan apa yang kita sampaikan pada pemerintah.
Jika pemerintah mengabaikan aspirasi anda, mengapa bukan anda sendiri yang menjadi pemerintah dan mengubah negeri yang simpang siur ini.
Mengapa tidak begitu?
Karena anda takut?
Takut pada semua hal yang telah saya paparkan di atas?
Takut dihasut atau difitnah?
Jika anda takut pada hal-hal di atas, meskipun anda memiliki tekad yang kuat. Anda akan sulit untuk berhasil. Kenapa?
Anda lihat kutipan saya di tengah tulisan ini?
Artinya kira-kira adalah : “Takut pada kematian itu, lebih buruk dari kematian itu sendiri...”
Secara tidak langsung, itu menjelaskan bahwa takut pada sesuatu hal yang buruk, sebenarnya lebih buruk lagi dari hal yang huruk tersebut. Kenapa? Karena kita TAKUT.
Cobalah untuk mengimbangi tekad anda ke dunia politik dengan keberanian tinggi. Jangan lupa disertai dengan berpegang teguh pada ajaran agama.
Rakyat Indonesia merindukan pemimpin yang seperti itu. Pemimpin yang punya sikap. Meski akan banyak orang yang sirik kepada anda, so what? Sirik itu tanda tak mampu,'kan?
Percayalah bahwa semua yang ada di dunia itu memiliki batas, dan batas itulah yang akhirnya membuat kita harus berjuang. Begitupun cobaan.
Sesungguhnya, cobaan dalam dunia politikpun memiliki batasan tersendiri. Batasan itu istilahnya jika dalam ujian semester adalah 'materi yang diujikan'. Kalau kita berhasil melewati batasan itu, berarti kita lulus dalam level yang satu, dan lanjut ke level yang lain. Begitu seterusnya sampai masa kontrak hidup kita habis. Karena hidup itu hakikatnya hanya menunggu kematian, dan apa yang bisa kita lakukan selama menunggu agar tidak bosan.
Kalau boleh jujur, ketika menulis entri ini, sayapun masih bimbang dalam menentukan pilihan, apakah saya berani terjun ke dunia politik atau tidak.
Kalau memandang sisi egoisme saya, saya tidak akan terjun ke dunia politik. Karena, nilai Pkn saya saja pas-pasan, gimana mau menjadi pemimpin sebuah negara dan membuatnya bangkit. Istilahnya nih, teorinya saja belum sempurna, apalagi prakteknya.
Tapi memandang pola pikir saya yang saya tuangkan ke dalam blog ini, kalau saya berani mengajak orang lain untuk berani terjun ke dunia politik, dengan segala pemikiran rasional. Apa alasan saya untuk tidak meranah dunia politik?
Dunia politik itu mendominasi. Tapi, jika kita menyatakan siap menjadi politikus, kita harus siap membalikkan keadaan. Bagaimana cara kita mendominasi dan mengendalikan dunia politik itu.
Banyak orang yang jika sudah bisa menguasai dunia politik dalam genggamannya, maka tujuan yang tadinya untuk mensejahterakan rakyat berubah menjadi mensejahterakan diri.
Maka dari itu, kita harus berpegang teguh pada agama. Ingat, Tuhan Maha Melihat.
Seseorang yang akan berhasil di dunia politik adalah, orang yang bisa memonopoli dunia itu dengan caranya sendiri. Bukan malah orang yang dimonopoli oleh politik.

Begitulah kira-kira coretan singkat saya (singkat apanya?) tentang politik. Semoga bisa menginspirasi anda semua.
Saya bukan orang yang pandai berbicara atau memberikan statement tanpa berpikir. Saya pasti memikirkan masak-masak, apalagi untuk hal seserius ini. Bukan orang yang suka omong kosong.
Jadi, kalau ada di antara anda yang tak berkenan dengan isi entri ini, saya siap mempertanggungjawabkannya (serem amat).

Regards

Written by Anna Kumala

You Might Also Like

0 comments