Pura-pura tidak melihat jika berpapasan.
Pura-pura tidak sadar ketika kebetulan muncul di beranda media sosial.
Pura-pura tidak tahu saat tiba-tiba kontak ponselmu menambahkan akun miliknya secara otomatis.
Bentuk usaha itu bermacam-macam, meski sebenarnya ke arah mana usaha itu belum jelas tergambar. Di mataku hanya satu kata yang pantas menggambarkannya: menghindar.
Entah kemana ceriwismu tentang manusia harus bisa menghadapi masalahnya. Tak tahu terbawa apa percaya dirimu yang biasanya membuat orang terheran-heran. Mungkin kamu sama saja dengan manusia pada umumnya, hanya pandai bicara saja.
Aku lihat kamu memandangi namanya terus menerus tanpa berani menyapa dan bertanya sekadar apa kapar. Padahal, bukankah kamu ingin tahu?
Kamu berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang kamu lakukan hanya untuk menjaga diri kalian masing-masing dari ketidakpastian. Padahal, bukankah dengan menghentikan silaturahmi kamu malah menambah-nambah ketidakpastian itu?
Aku hanya bisa tertawa melihat tingkahmu. Apa sebegitu hilangnya fikiranmu sampai-sampai rasional saja tidak bisa. Tidak peduli dengan semua kata-kata bijak yang bilang bahwa hati itu dipilih dan bukan memilih, kamu tahu persis bahwa semua yang ada di kepala bisa kamu kendalikan. Kamu harus percaya kalau kamu bisa memilih, sekalipun menyangkut masalah hati.
Sebaiknya aku tidak menceramahimu lagi. Bukankah kau makin bingung dengan kata-kataku?
Tapi, masa iya dari sekian banyak pilihan kamu memilih untuk menghindar?
Ah, sudahlah.
Mungkin menghindar adalah caramu untuk percaya pada Tuhan akan takdirNya.
Mungkin karena kamu merasa kamu sudah tidak bisa percaya pada dirimu sendiri tentang ini maka kamu memutuskan untuk percaya pada takdir.
Walaupun aku masih bertanya-tanya, apa kamu benar-benar sepercaya itu?
Benarkah percayamu sejauh itu?
Padahal kamu tau kan, Na, menyerah pada takdir berarti kamu menghampiri ketidakpastian lain. Dan pada akhirnya memang kamu selalu berakhir pada ketidakpastian.
Pura-pura tidak sadar ketika kebetulan muncul di beranda media sosial.
Pura-pura tidak tahu saat tiba-tiba kontak ponselmu menambahkan akun miliknya secara otomatis.
Bentuk usaha itu bermacam-macam, meski sebenarnya ke arah mana usaha itu belum jelas tergambar. Di mataku hanya satu kata yang pantas menggambarkannya: menghindar.
Entah kemana ceriwismu tentang manusia harus bisa menghadapi masalahnya. Tak tahu terbawa apa percaya dirimu yang biasanya membuat orang terheran-heran. Mungkin kamu sama saja dengan manusia pada umumnya, hanya pandai bicara saja.
Aku lihat kamu memandangi namanya terus menerus tanpa berani menyapa dan bertanya sekadar apa kapar. Padahal, bukankah kamu ingin tahu?
Kamu berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang kamu lakukan hanya untuk menjaga diri kalian masing-masing dari ketidakpastian. Padahal, bukankah dengan menghentikan silaturahmi kamu malah menambah-nambah ketidakpastian itu?
Aku hanya bisa tertawa melihat tingkahmu. Apa sebegitu hilangnya fikiranmu sampai-sampai rasional saja tidak bisa. Tidak peduli dengan semua kata-kata bijak yang bilang bahwa hati itu dipilih dan bukan memilih, kamu tahu persis bahwa semua yang ada di kepala bisa kamu kendalikan. Kamu harus percaya kalau kamu bisa memilih, sekalipun menyangkut masalah hati.
Sebaiknya aku tidak menceramahimu lagi. Bukankah kau makin bingung dengan kata-kataku?
Tapi, masa iya dari sekian banyak pilihan kamu memilih untuk menghindar?
Ah, sudahlah.
Mungkin menghindar adalah caramu untuk percaya pada Tuhan akan takdirNya.
Mungkin karena kamu merasa kamu sudah tidak bisa percaya pada dirimu sendiri tentang ini maka kamu memutuskan untuk percaya pada takdir.
Walaupun aku masih bertanya-tanya, apa kamu benar-benar sepercaya itu?
Benarkah percayamu sejauh itu?
Padahal kamu tau kan, Na, menyerah pada takdir berarti kamu menghampiri ketidakpastian lain. Dan pada akhirnya memang kamu selalu berakhir pada ketidakpastian.
Lagi nyari-nyari file .apk mario bros di laptop, tiba-tiba nemuin draft lama yang ditulis sekitar 5 tahun lalu waktu aku masih aktif ngobrol bareng temen-temen "Detektif Conan Indonesia (DCI)" di facebook. Jadi, dulu itu admin DCI bikin kuis yang ada poinnya. Anggota dengan poin terbanyak akan diangkat menjadi admin. Nah, ceritanya aku adalah admin kedua yang diangkat setelah Tante Amanda Agrippina. Jadi, gegara itu aku sering bikin kasus-kasus seru bukat dipecahkan bersama-sama. Yang akan aku post disini adalah salah satunya.
Pertama baca bingung juga, kok ini detail banget ya. Bahkan 30 menit cuma bengong ga ngerti maksudnya gimana. Nah, daripada bingung mending langsung dibaca aja detail kasusnya.
Pertama baca bingung juga, kok ini detail banget ya. Bahkan 30 menit cuma bengong ga ngerti maksudnya gimana. Nah, daripada bingung mending langsung dibaca aja detail kasusnya.
"Aku iri sama kamu."
"Hah? Kenapa?"
"Ya, aku iri aja."
"Bercanda kamu. Apa yang ada di aku dan bisa membuat kamu iri?"
"..."
"Hei..."
"Aku iri karena kamu bisa melakukan semuanya sendiri. Aku iri karena di mata semua orang kamu selalu bisa mengatasi masalah apapun. Aku iri karena nggak ada yang menganggapmu lemah. Aku iri karena kamu disegani oleh semua orang. Aku iri karena banyak orang yang bersandar kepadamu. Aku iri karena aku nggak bisa jadi kamu."
"Hmm..."
"Apa yang harus aku lakukan supaya aku bisa jadi kayak kamu?"
"Kenapa kamu harus jadi kayak aku?"
"Karena menurut aku hidup kamu sempurna."
"Terus kamu enggak?"
"Kamu kuliah di universitas ternama, di jurusan favorit, nilai kamu bagus, kamu dikenal banyak orang, dan kamu seperti nggak punya rasa takut, kamu selalu menghadapi semuanya dan semuanya selalu baik-baik aja kalau ada kamu."
"..."
"Jadi, kasih tau aku gimana supaya bisa jadi kayak kamu..."
"Oke."
"..."
"Tapi, kamu harus kasih tau aku gimana supaya bisa jadi kayak kamu."
"Eh?"
"Gimana supaya aku bisa punya banyak waktu sama keluargaku, gimana supaya aku bisa tidur minimal tujuh jam sehari, gimana supaya aku punya seseorang teman untuk berbagi saat aku sedih, gimana supaya orang mau melindungiku dan bukan malah meminta perlindungan, gimana caranya supaya aku bisa dicintai banyak orang dan bukannya malah dianggap sebagai ancaman?"
"..."
"Kamu nggak bisa jawab, 'kan?"
"..."
"Sederhana aja, kita nggak bisa jawab karena kita nggak tahu caranya. Yang kita tahu adalah kita memainkan peran sebagai diri kita sendiri. Ada hal-hal yang memang harus dikorbankan, ada hal-hal yang harus tetap menjadi keinginan, dengan begitulah kita sempurna."
"..."
"Kita sempurna dengan kekurangan dan kelebihan. Aku juga sering berharap menjadi orang lain, punya kehidupan yang sederhana, tapi memang itu bukan aku, aku nggak bisa. Maka mungkin itu juga berlaku sama kamu."
"Tapi kamu nggak pernah bergantung sama orang lain. Malah orang lain yang bergantung sama kamu."
"Dan apa yang bagus dari itu? Aku malah ingin sekali menemukan seseorang yang bisa kuandalkan, yang bisa kugantungkan padanya aku. Tapi sampai saat ini nggak ada yang bisa."
"Kamu juga nggak pernah takut walaupun harus sendirian ngelewatin macem-macem hal. Aku pingin bisa mandiri, aku pingin bisa kayak kamu."
"Aku memang nggak pernah takut sendirian. Aku terbiasa makan sendiri, jalan-jalan sendiri, belajar sendiri. Aku bahkan sering nonton di bioskop sendiri dan nggak peduli apapun selain menikmati kesendirian."
"Tuh kan..."
"Tapi,"
"..."
"ada satu hal yang sangat aku takuti dalam hidup ini."
"Apa?"
"Saat aku terlalu terbiasa dengan kesendirian dan pada akhirnya aku akan menghabiskan hidupku hanya sendirian."
"..."
"Masih mau jadi aku?"
Lalu kau berhenti bicara dan memelukku. Erat.
"Hah? Kenapa?"
"Ya, aku iri aja."
"Bercanda kamu. Apa yang ada di aku dan bisa membuat kamu iri?"
"..."
"Hei..."
"Aku iri karena kamu bisa melakukan semuanya sendiri. Aku iri karena di mata semua orang kamu selalu bisa mengatasi masalah apapun. Aku iri karena nggak ada yang menganggapmu lemah. Aku iri karena kamu disegani oleh semua orang. Aku iri karena banyak orang yang bersandar kepadamu. Aku iri karena aku nggak bisa jadi kamu."
"Hmm..."
"Apa yang harus aku lakukan supaya aku bisa jadi kayak kamu?"
"Kenapa kamu harus jadi kayak aku?"
"Karena menurut aku hidup kamu sempurna."
"Terus kamu enggak?"
"Kamu kuliah di universitas ternama, di jurusan favorit, nilai kamu bagus, kamu dikenal banyak orang, dan kamu seperti nggak punya rasa takut, kamu selalu menghadapi semuanya dan semuanya selalu baik-baik aja kalau ada kamu."
"..."
"Jadi, kasih tau aku gimana supaya bisa jadi kayak kamu..."
"Oke."
"..."
"Tapi, kamu harus kasih tau aku gimana supaya bisa jadi kayak kamu."
"Eh?"
"Gimana supaya aku bisa punya banyak waktu sama keluargaku, gimana supaya aku bisa tidur minimal tujuh jam sehari, gimana supaya aku punya seseorang teman untuk berbagi saat aku sedih, gimana supaya orang mau melindungiku dan bukan malah meminta perlindungan, gimana caranya supaya aku bisa dicintai banyak orang dan bukannya malah dianggap sebagai ancaman?"
"..."
"Kamu nggak bisa jawab, 'kan?"
"..."
"Sederhana aja, kita nggak bisa jawab karena kita nggak tahu caranya. Yang kita tahu adalah kita memainkan peran sebagai diri kita sendiri. Ada hal-hal yang memang harus dikorbankan, ada hal-hal yang harus tetap menjadi keinginan, dengan begitulah kita sempurna."
"..."
"Kita sempurna dengan kekurangan dan kelebihan. Aku juga sering berharap menjadi orang lain, punya kehidupan yang sederhana, tapi memang itu bukan aku, aku nggak bisa. Maka mungkin itu juga berlaku sama kamu."
"Tapi kamu nggak pernah bergantung sama orang lain. Malah orang lain yang bergantung sama kamu."
"Dan apa yang bagus dari itu? Aku malah ingin sekali menemukan seseorang yang bisa kuandalkan, yang bisa kugantungkan padanya aku. Tapi sampai saat ini nggak ada yang bisa."
"Kamu juga nggak pernah takut walaupun harus sendirian ngelewatin macem-macem hal. Aku pingin bisa mandiri, aku pingin bisa kayak kamu."
"Aku memang nggak pernah takut sendirian. Aku terbiasa makan sendiri, jalan-jalan sendiri, belajar sendiri. Aku bahkan sering nonton di bioskop sendiri dan nggak peduli apapun selain menikmati kesendirian."
"Tuh kan..."
"Tapi,"
"..."
"ada satu hal yang sangat aku takuti dalam hidup ini."
"Apa?"
"Saat aku terlalu terbiasa dengan kesendirian dan pada akhirnya aku akan menghabiskan hidupku hanya sendirian."
"..."
"Masih mau jadi aku?"
Lalu kau berhenti bicara dan memelukku. Erat.
Terkadang kita berbohong dengan asumsi-asumsi yang terkesan memudahkan orang lain.
Terkadang kita berbohong dengan dalih 'demi kebaikan' tanpa menyadari bahwa kata-kata 'demi kebaikan' hanya untuk menutupi ego dan ketakutan kita sendiri.
Terkadang kita berbohong karena takut tidak ada yang siap menerima kebenaran, karena takut disalahkan, karena takut dinilai apa adanya.
Terkadang kita berbohong karena merasa akan lebih aman, karena merasa akan terlihat lebih baik.
Terkadang kita berbohong agar tidak menyakiti orang lain, walau sebenarnya kita lebih menyakitinya saat berbohong.
Dan bagi kau yang dibohongi...
Kamu mungkin akan merasa terkhianati.
Kamu mungkin akan merasa bahwa sungguh dunia ini hanya dibanjiri dengan dusta.
Lalu jika yang membohongimu adalah orang yang paling dekat denganmu, orang yang sebelumnya paling kamu percaya, orang yang kamu pikir tidak akan pernah membohongimu, mungkin kamu akan merasakan kecewa yang sangat luar biasa.
Mungkin kamu merasa berhak untuk marah.
Mungkin kamu akan merasa sebagai orang yang paling dikecewakan.
Mungkin kamu akan merasa semua kepercayaanmu kepadanya hanyalah sampah.
Mungkin kamu tidak ingin melihatnya lagi, atau sekadar mendengarnya berkata-kata.
Aku juga.
Ditambah lagi aku bertanya-tanya "kenapa?" akan banyak hal.
Kenapa kamu berbohong?
Kenapa demi dia?
Kenapa tidak menyerah sampai aku hampir berhasil membuktikan?
Kenapa menganggapku begitu bodoh sampai menyangka aku akan percaya dengan sebuah kebohongan yang buktinya saja tidak valid?
Kenapa menganggapku begitu tenggelam dari kehidupan sosial sehingga menyangka aku tidak akan tahu kalau kamu berbohong?
Tapi, sudahlah.
Aku memaafkanmu.
Meski sejujurnya masih bertanya-tanya apakah kamu mengenalku sebaik yang kusebut-sebut pada semua orang? Apakah aku mengenalmu sebaik yang aku kira selama ini?
Meski rasanya masih tidak percaya kalau kamu lagi-lagi berbohong. Membohongiku untuk orang yang sama.
Meski kesannya tidak karena aku menulis entri yang seakan mengungkapkan kebencian luar biasa.
Aku memaafkanmu.
Tapi bukankah aku bilang bahwa aku tidak akan pernah lupa?
Terkadang kita berbohong dengan dalih 'demi kebaikan' tanpa menyadari bahwa kata-kata 'demi kebaikan' hanya untuk menutupi ego dan ketakutan kita sendiri.
Terkadang kita berbohong karena takut tidak ada yang siap menerima kebenaran, karena takut disalahkan, karena takut dinilai apa adanya.
Terkadang kita berbohong karena merasa akan lebih aman, karena merasa akan terlihat lebih baik.
Terkadang kita berbohong agar tidak menyakiti orang lain, walau sebenarnya kita lebih menyakitinya saat berbohong.
Dan bagi kau yang dibohongi...
Kamu mungkin akan merasa terkhianati.
Kamu mungkin akan merasa bahwa sungguh dunia ini hanya dibanjiri dengan dusta.
Lalu jika yang membohongimu adalah orang yang paling dekat denganmu, orang yang sebelumnya paling kamu percaya, orang yang kamu pikir tidak akan pernah membohongimu, mungkin kamu akan merasakan kecewa yang sangat luar biasa.
Mungkin kamu merasa berhak untuk marah.
Mungkin kamu akan merasa sebagai orang yang paling dikecewakan.
Mungkin kamu akan merasa semua kepercayaanmu kepadanya hanyalah sampah.
Mungkin kamu tidak ingin melihatnya lagi, atau sekadar mendengarnya berkata-kata.
Aku juga.
Ditambah lagi aku bertanya-tanya "kenapa?" akan banyak hal.
Kenapa kamu berbohong?
Kenapa demi dia?
Kenapa tidak menyerah sampai aku hampir berhasil membuktikan?
Kenapa menganggapku begitu bodoh sampai menyangka aku akan percaya dengan sebuah kebohongan yang buktinya saja tidak valid?
Kenapa menganggapku begitu tenggelam dari kehidupan sosial sehingga menyangka aku tidak akan tahu kalau kamu berbohong?
Tapi, sudahlah.
Aku memaafkanmu.
Meski sejujurnya masih bertanya-tanya apakah kamu mengenalku sebaik yang kusebut-sebut pada semua orang? Apakah aku mengenalmu sebaik yang aku kira selama ini?
Meski rasanya masih tidak percaya kalau kamu lagi-lagi berbohong. Membohongiku untuk orang yang sama.
Meski kesannya tidak karena aku menulis entri yang seakan mengungkapkan kebencian luar biasa.
Aku memaafkanmu.
Tapi bukankah aku bilang bahwa aku tidak akan pernah lupa?