Benarkah Sejauh Itu?

December 28, 2015

Pura-pura tidak melihat jika berpapasan.
Pura-pura tidak sadar ketika kebetulan muncul di beranda media sosial.
Pura-pura tidak tahu saat tiba-tiba kontak ponselmu menambahkan akun miliknya secara otomatis.

Bentuk usaha itu bermacam-macam, meski sebenarnya ke arah mana usaha itu belum jelas tergambar. Di mataku hanya satu kata yang pantas menggambarkannya: menghindar.
Entah kemana ceriwismu tentang manusia harus bisa menghadapi masalahnya. Tak tahu terbawa apa percaya dirimu yang biasanya membuat orang terheran-heran. Mungkin kamu sama saja dengan manusia pada umumnya, hanya pandai bicara saja.
Aku lihat kamu memandangi namanya terus menerus tanpa berani menyapa dan bertanya sekadar apa kapar. Padahal, bukankah kamu ingin tahu?
Kamu berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang kamu lakukan hanya untuk menjaga diri kalian masing-masing dari ketidakpastian. Padahal, bukankah dengan menghentikan silaturahmi kamu malah menambah-nambah ketidakpastian itu?
Aku hanya bisa tertawa melihat tingkahmu. Apa sebegitu hilangnya fikiranmu sampai-sampai rasional saja tidak bisa. Tidak peduli dengan semua kata-kata bijak yang bilang bahwa hati itu dipilih dan bukan memilih, kamu tahu persis bahwa semua yang ada di kepala bisa kamu kendalikan. Kamu harus percaya kalau kamu bisa memilih, sekalipun menyangkut masalah hati.
Sebaiknya aku tidak menceramahimu lagi. Bukankah kau makin bingung dengan kata-kataku?

Tapi, masa iya dari sekian banyak pilihan kamu memilih untuk menghindar?
Ah, sudahlah.

Mungkin menghindar adalah caramu untuk percaya pada Tuhan akan takdirNya.
Mungkin karena kamu merasa kamu sudah tidak bisa percaya pada dirimu sendiri tentang ini maka kamu memutuskan untuk percaya pada takdir.
Walaupun aku masih bertanya-tanya, apa kamu benar-benar sepercaya itu?
Benarkah percayamu sejauh itu?

Padahal kamu tau kan, Na, menyerah pada takdir berarti kamu menghampiri ketidakpastian lain. Dan pada akhirnya memang kamu selalu berakhir pada ketidakpastian.

You Might Also Like

0 comments