Kemerdekaan Siapa?

August 17, 2012

Pagi ini, ketika saya menyaksikan pengibaran duplikat bendera pusaka di televisi, tanpa sadar saya menangis. Entah kenapa, yang jelas tadi pagi air mata saya begitu jelas dan nyata. Mungkin saya iri. Iri pada mereka yang jelas-jelas bisa berada di istana negara itu, mengibarkan bendera merah putih seakan memamerkan pada dunia "inilah kami! MERDEKA!" Sedangkan saya hanya bisa duduk dan menyaksikan dari balik layar kaca, sedikit berterima kasih kepada stasiun televisi swasta yang menyiarkannya untuk kami, meskipun sebagian kecilnya dengan alasan komersial.
Atau airmata saya bukan untuk itu? Bukan karena sisi terang Indonesia yang membuat saya iri, tapi karena merasa miris atas sisi gelap bangsa ini yang kadang masih dikesampingkan oleh banyak pihak?
Mungkin.
Mungkin saya menangis mewakili saudara sebangsa saya dari sisi gelap itu. Mungkin saya menangis mewakili mereka yang muak akan korupsi di Indonesia. Mungkin saya mewakili mereka yang muak akan penghinaan para pemuda kepada bangsanya sendiri. Mungkin saya mewakili mereka yang muak akan kehancuran generasi penerus yang nampak jelas di depan mata, namun banyak yang tak melihatnya karena telah 'buta'.
Ya saudaraku, miris melihat orang-orang di depan mata kalian mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi sambil berteriak "MERDEKA!" Sedang kita tahu betul bahwa birokrasi negeri ini masih belum merdeka dari para koruptor.
Terenyuh memantau para pemuda yang mengeluhkan kebobrokan negeri ini di berbagai jejaring sosial, tanpa mengambil tindakan apapun untuk memperbaiki kebobrokan itu. Menyuarakan idealisme klise yang mungkin hanya akan bertahan beberapa tahun kedepan.
Sedih melihat moral generasi penerus bangsa ini dihancurkan. Diracuni pikiran mereka dengan tontonan-tontonan yang memiliki sangat sedikit nilai positif, mode-mode yang mengundang hal-hal buruk terjadi, dan penanaman sikap yang sangat tak sesuai dengan status serta usia mereka.
Mungkin di antara anda, para pembaca entri ini, juga ada yang menangis? Sedih melihat sisi gelap lainnya yang tak saya sebutkan di atas? Melihat kemiskinan rakyat Indonesia, melihat minimnya rasa nasionalisme saat ini...
Tapi saya tidak sedih untuk dua hal itu. Kemiskinan. Memang suatu masalah negeri ini. Tapi, maaf. Bukannya saya kehilangan hati nurani saat saya menyatakan bahwa kemiskinan sebenarnya bukanlah sebuah masalah. Tapi, memang begitulah pendapat saya. Apa yang menjadikannya sebuah masalah? Ketika orang-orang menganggap itu masalah.
Andaikan setiap orang, setiap individu menerima takdirnya masing-masing, pasti tak akan menjadi masalah. Andaikan orang-orang yang memang sudah 'terlalu kaya' itu cukup tahu diri, pasti ada yang menjadi masalah.
Maka ketika orang-orang bertanya apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah kemiskinan, maka saya akan menjawab, tidak ada. Karena kemiskinan sesungguhnya bukanlah sebuah masalah. Hanya dibutuhkan sebuah kelapangan hati dan saling toleransi yang tinggi yang dapat menyadarkan bahwa itu bukanlah sebuah masalah.
Lalu, masalah rasa nasionalisme yang semakin berkurang. Saya akui kita memang harus memiliki rasa itu, namun menumbuhkannya bukan dengan cara menangis dan bersedih atas itu, melainkan mencoba berkobar dan menyemangati, mengajak orang-orang untuk mencintai bangsa ini.
Lalu kenapa saya tidak melakukan tindakan yang sama untuk hal-hal yang saya 'tangisi' di atas? Karena saya belum memiliki sesuatu yang harus dimiliki sebelum saya bisa merubahnya secara keseluruhan. Saat ini saya hanya bisa 'berlatih merubah'. Karena apapun yang saya lakukan sekarang tidak akan merubah secara signifikan.
Jadi, saya disini hanya mencoba menuangkan isi pikiran saya hari ini tentang negeri saya yang tercinta ini. Berharap ada seorang 'berwenang' yang membacanya dan benar-benar mau melakukan perubahan.
Terlalu banyak keterbatasan saya saat ini, sehingga saya belum bisa melakukan sesuatu yang 'sesuatu'. Konyolnya keterbatasan ini bukan dari diri saya sendiri, bukan dari ketakutan dalam diri saya, tetapi karena beberapa dari teman-teman saya sesama generasi penerus yang saat ini masih diremoti oleh budaya yang negatif. Bagaimanapun toh saya tidak akan bisa bergerak sendirian.
Yah, inilah yang membuat saya bertanya-tanya. Kalau banyak orang yang masih 'diremoti' seperti ini, lalu apa artinya Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-67? Kalau kita tidak bisa merasakan kemerdekaan, lalu 17 Agustus 1945 itu... kemerdekaan siapa?

Written by Anna Kumala

You Might Also Like

0 comments