A Requiem
August 02, 2014Dan requiem-pun akhirnya mengalun...Kita semua sama-sama tahu. Tak mudah mengombinasikan musik dan menjadikannya padu nan harmonis. Kita harus mengatur tempo permainan, pola, dan volume masing-masing instrumen. Tidak boleh ada yang terlalu mencolok dan tak boleh sampai ada yang tertelan oleh yang lain. Cerdasnya sang komposer dipertaruhkan untuk menyuguhkan komposisi yang cukup menarik dan layak dinikmati.
Sebuah ukhuwah tak ubahnya macam musik harmonis itu. Masing-masing individu harus bisa mengontrol ucapan, karakter, dan ego. Tidak boleh ada yang menyakiti, apalagi merasa tersakiti. Semua berjalan bak aliran air. Siapa yang bisa mengatur dirinya, maka dialah yang akan berhasil di dalamnya.
Dua puluh dua bulan. Berlalu tanpa kita rasa. Mencoba mainkan musik sepadu mungkin, meninggikan toleransi, mengurangi rasa ingin terdengar sendiri. Setelah waktu panjang itu berlalu, kita mulai menghasilkan harmoni nyaris sempurna, tempo konstan, minim cacat.
Tapi bolehkan kutanya mengapa, teman?
Mengapa saat musik itu mulai mengalun, kau, yang merupakan salah satu instrumen terpenting, tiba-tiba menghentikan permainan? Menghentikan alunan senada yang bahkan masih dalam proses penyempurnaan.
Tahukah kau?
Tanpa kau sadari, mengurangi instrumen yang kau mainkan telah mengubah arah permainan musik ini. Lagu penuh semangat berganti tempo dan pola menjadi sebuah melodi miris meresahkan. Kental akan aroma kesedihan karena perpisahan. Lekat dengan setiap kata yang kau ucapkan pada kami, meski kini tak lagi kau ucap. Tak lepas dari setiap langkah yang kau tapaki, meski kini kau tak lagi menapaki tempat ini.
Kini, kami melihat kau menjauh, kemudian lenyap dan terhempas, requiem itu masih mencoba mengakrabi telinga kami. Berbisik kalimat-kalimat bijak menguatkan yang meyakinkan kami bahwa semua akan baik-baik saja, meski memang tak akan sama. Hilangnya instrumenmu membuat requiem itu terdengar semakin tajam menusuk.
Teman, mainkanlah instrumenmu dengan orkestra lain di luar sana. Buktikan bahwa permainanmu akan selalu sama baiknya. Jangan khawatir, suatu saat akan tiba masa dimana kami akan terbiasa dengan requiem ini, terbiasa bermain musik tanpa instrumenmu.
Memang, bagi kami tanpamu selalu menghadirkan sebuah keganjilan asing. Namun, hanya waktu. Waktu yang mampu sembuhkan luka, membalutnya, merawatnya hingga luka itu kembali tertutup kulit. Mungkin bekas takkan hilang, hanya saja, bukankah kita harus tetap melangkah ke depan? Sekadar bekas luka sepertinya hanya akan sedikit mengetuk memori nantinya. Tak lebih. Takkan lebih dari itu.
Berjanjilah, teman. Jika suatu saat kita kembali dalam lingkaran ini, kita akan memainkannya lagi. Melodi luar biasa itu. Melodi yang teralun begitu padu sebelum sapu tangan tertiup angin sore, dan perpisahan terjadi.
Tertulis untukmu
yang akan memulai kehidupan baru...
Oleh sang rival seperjuangan
yang kini merasa kehilangan...
6 Mei 2013
00:17 (UT+7)
0 comments