Four Seasons - Empat Musim
October 04, 2013
Habis buka draft-draft tulisan jaman dulu yang nggak selesai. Lucu juga bacanya, kayaknya dulu aku masih polos banget (eh?), jadi ide ceritanya belum begitu berasa. Yang paling mengundang tawa adalah draft-sembilan-puluh-enam-halaman yang harusnya jadi novel dengan tokoh Rana-Dava-Rizky. Ada lagi draft-tiga-puluh-dua halaman dengan tokoh Zein-Ira (semua halaman dinyatakan dalam ukuran kertas A4). Habis gimana, mau dilanjutin juga aku udah lupa ceritanya. Lagian sedikit udah nggak relevan sama gaya hidupku yang sekarang.
Tapi, ada satu draft yang menarik perhatianku. Aku inget draft ini kutulis lebih kurang setahun yang lalu. Sebuah prolog cerita yang kutulis dengan bahasa inggris belepotan. Judul aslinya four seasons. Aku lupa sebenernya ceritanya kayak apa. Tokoh aslinya Mario-Jennifer, dan masalah yang terjadi diantara mereka adalah jarak dan rasa percaya. Terus seingetku, cerita ini kubikin sad ending dengan salah satu tokohnya berubah jadi nggak sama lagi.
Karena merasa inti cerita ini lumayan menarik, aku merombak ulang ceritanya dan membuatnya jadi berbeda. Yang tadinya berbahasa inggris, kujadikan bahasa Indonesia. Nah, baca aja deh daripada kuceritain panjang lebar. Maaf kalau ada kesamaan nama tokoh, karakter, atau tempat. Semata karena ketidaksengajaan.
Tinggal di negeri empat musim memiliki nilai tersendiri bagiku.
Tapi, ada satu draft yang menarik perhatianku. Aku inget draft ini kutulis lebih kurang setahun yang lalu. Sebuah prolog cerita yang kutulis dengan bahasa inggris belepotan. Judul aslinya four seasons. Aku lupa sebenernya ceritanya kayak apa. Tokoh aslinya Mario-Jennifer, dan masalah yang terjadi diantara mereka adalah jarak dan rasa percaya. Terus seingetku, cerita ini kubikin sad ending dengan salah satu tokohnya berubah jadi nggak sama lagi.
Karena merasa inti cerita ini lumayan menarik, aku merombak ulang ceritanya dan membuatnya jadi berbeda. Yang tadinya berbahasa inggris, kujadikan bahasa Indonesia. Nah, baca aja deh daripada kuceritain panjang lebar. Maaf kalau ada kesamaan nama tokoh, karakter, atau tempat. Semata karena ketidaksengajaan.
EMPAT MUSIM
Tinggal di negeri empat musim memiliki nilai tersendiri bagiku.
Aku bisa merasakan saat matahari membakar kulitku di
musim panas, dedaunan menimpa puncak kepalaku saat aku menapaki jalur pejalan
kaki di musim gugur, salju putih yang dingin menghujani mantel yang kukenakan
di musim dingin, dan aku dapat menghirup aroma bunga-bunga yang bermekaran di
musim semi.
Bukannya aku tidak suka tinggal di negeri dua musim.
Apalagi negeriku memiliki kekayaan panorama yang tidak bisa dibandingkan dengan
negeri manapun. Hanya saja, empat musim seakan benar-benar menggambarkan
seperti apa manusia. Empat musim memiliki nyawa dan ungkapan perasaannya
sendiri.
Musim panas mengungkapkan rasa benci. Kemarahan yang siap
membakar siapapun yang masih berada dalam jarak pandangnya. Namun, rasa
marahnya bukan rasa marah yang tanpa akhir. Ia akan mengakhirinya dan memulai
perasaan yang baru.
Musim gugur. Ketika rasa bersalah mulai menghantui, hingga
bahkan pepohonan menggugurkan keindahannya. Ia jatuhkan dedaunannya, sampai ia
tak memiliki satupun lagi. Hanya tinggal batang kayu yang terlihat kosong dan
rapuh.
Musim dingin. Kekosongan dan kesepian diterpa dingin yang
menusuk. Tapi jika ada kekuatan untuk
bertahan, di tengah dingin itu boleh jadi ada perapian hangat tempat bernaung.
Meski menemukan atau menciptakan perapian itu memerlukan usaha yang tidak
sederhana.
Dan setelah begitu banyak perasaan bergejolak, musim semi
memancarkan aura ketentraman. Hilang kebencian dan rasa sesal, tumbuh helai dedaunan
baru, harapan baru. Aroma kehidupan terasa begitu nyata. Menyengat, namun
menenangkan. Meski suatu saat akan kembali lagi ke musim gugur, namun keinginan
untuk menanti datangnya musim semi kembali begitu kuat, mengalahkan ketakutan
akan musim gugur.
Begitulah kisahku dengannya mengalir. Bagaikan empat
musim dengan emosinya masing-masing. Tawa, tangis, rasa percaya, kegelisahan,
keengganan, keraguan, penuh tanya, dan harapan tanpa alasan silih berganti
menghinggapiku. Apakah dia sama?
Di negeri empat musim ini, aku menatap langit dan
memanggil serpihan memori. Perlahan kupejamkan mata dan mulai tenggelam dalam
kerinduan. Apakah negeri empat musimnya juga memiliki makna, dan menerawang
perasaan yang tak sempat tersampaikan jelas?
-o0o-
Kubaca headline surat
kabar yang ada di hadapanku. Lagi-lagi tentang korupsi. Sudah terlalu biasa
untuk saat ini sampai kadang aku muak sendiri. Aku hanya geleng-geleng kepala
membacanya, sembari terus berharap generasiku akan memperbaiki semua kekacauan
ini, dan bukan malah makin mengacaukannya.
Sedang fokus dengan artikel itu, tiba-tiba aku merasakan
seseorang tengah berdiri di sebelah kananku. Kulirik sekilas, dan tidak heran
ketika menemukan siapa yang ada disana.
“Can I read this
newspaper?” dia bertanya dengan Bahasa Inggris, karena memang
perpustakaan adalah Foreign Language
Area.
“But, I’m reading
it, Ardian,” jawabku sambil agak menjauhkan surat kabar itu darinya.
“Oh, come on,
Nirmala, we can read it together, right?” katanya sambil menarik
surat kabar yang tadi kujauhkan darinya.
“Please, Di.
Can’t you just give me a private time even just for a while?” sahutku sambil
memasang wajah sebal. Lalu, untuk yang kesekian kalinya kuputuskan untuk
mengalah. “Okay, if you want to read
this, just take it, now I’m not in a mood to read anything.” Kutinggalkan
Ardian dengan surat kabar itu.
Ardian adalah teman sekelasku. Baru setengah tahun
sekelas dengannya tapi hidupku rasanya seperti dihantui. Bagaimana tidak,
dimanapun dan di berbagai kesempatan dia pasti selalu menggangguku. Pernah
suatu hari dia melempariku balon-balon kecil berisi air saat aku sedang belajar
untuk ulangan kimia di taman. Ya, aku tahu dia memang ahli kimia, maksudku dia
memang ahli di setiap pelajaran, tapi bukan berarti lalu dia bisa seenaknya
mengerjaiku.
Yang membuatku lebih sebal padanya adalah tingkahnya di
kelas. Setiap pelajaran, yang dia lakukan hanya bermain-main dengan sketch book-nya, tapi dia tidak pernah
absen menduduki peringkat tiga besar di kelas sejak kelas satu. Bahkan dia
sering menjuarai berbagai kompetisi, dari mulai matematika, kimia, biologi,
sampai yang tidak ada di kurikulum, yaitu astronomi.
Aku melangkah menjauhi meja tempat Ardian membaca tanpa
menoleh lagi. Saat kakiku sampai di depan pintu keluar perpustakaan, bel tanda
masuk berbunyi. Aku segera berjalan ke loker dan mengambil tasku disana. Lalu,
tanpa mengucapkan sepatah katapun, kuayunkan kakiku menuju kelas berikutnya.
Matematika.
-o0o-
“Jadi menurut kamu, soal ini bisa dikerjakan dengan
metode substitusi?”
“Iya, Di. Liat deh, kalau yang di dalam akar ini kita
misalkan suatu variabel terus diturunin, dia bisa memuat bentuk kuadrat.”
“Tapi masih tersisa satu variabel lagi yang nggak
kuadrat, Nirmala.”
Aku dan Ardian berdebat lagi. Entah yang keberapa kali
hari ini. Yang kami perdebatkan adalah, apakah soal matematika integral di
hadapan kami bisa dikerjakan dengan metode substitusi atau hanya dengan
parsial. Herannya, kami kerap kali ada dalam satu kelompok diskusi yang sama
meskipun seringnya kelompok itu bukan jadi kelompok diskusi, tapi kelompok
debat.
“Udahlah, Di, Nir, ngapain sih kalian berdua ngeributin
yang nggak penting? Kan Pak Don udah menjabarkan cara parsialnya secara lengkap
barusan. Intinya, pertanyaan terjawab,” timpal Farhan, teman sekelompok kami
yang lain. Sepertinya dia mulai lelah mendengarkan perdebatan kami.
“Tapi, Far, Nirmala itu udah membuat suatu pertanyaan
yang harus dipertanggungjawabkan,” sahut Ardian. Aku hanya meringis
mendengarnya, lalu memilih diam. Sepertinya kali ini lebih baik aku mengalah
lagi, daripada Farhan jadi tidak nyaman dan anti sekelompok denganku.
“Jadi, Nirmala, apa pertanggungjawabanmu?” tanya Ardian
yang terlihat belum mau mengakhiri perdebatan ini.
Belum sempat aku menjawab bahwa aku menyerah dan ingin
menyudahinya, aku mendengar namaku dipanggil oleh Pak Don. Aku lalu beranjak
dari tempat duduk dan menghampiri beliau.
“Nirmala, kamu dipanggil kepala sekolah,” ujar Pak Don.
Perasaanku jadi sedikit tidak enak. Sepertinya aku tahu
atas alasan apa kepala sekolah memanggilku. Entah wajahku tampilannya seperti
apa, tapi saat itu aku merasa kusut. Kulangkahkan kakiku gontai keluar dari
kelas. Segala tentang perdebatanku tadi dengan Ardian menguap begitu saja.
Sekejap, aku tenggelam dalam bayanganku, sudah seberapa burukkah masalah ini.
-o0o-
“Sebentar lagi pembagian rapor semester lima, Nirmala.
Dengan nilai mata pelajaran kimia yang seperti itu, saya sedikit tidak yakin
kamu bisa lulus.”
Suara kepala sekolah masuk ke dalam telingaku dan menusuk
fikiranku. Empat semester terakhir, nilai kimiaku lulus dengan berkali-kali tes
ulang. Dan saat naik kelas, kepala sekolah telah memperingatkanku bahwa ujian
nasional dan ujian sekolah tidak ada tes ulangnya. Jadi jika aku mau lulus, aku
harus lebih giat belajar.
Aku merasa sudah giat. Nilai-nilaiku meningkat, meskipun
tidak jauh dari nilai nilai tuntas minimum. Setidaknya, jika ujian akhir
semesterku bisa mencapai 60, semester ini aku akan lulus. Tapi, kalau kepala
sekolah sampai memanggilku, berarti...
“Sebenarnya nilai ulangan harian dan ujian tengah
semestermu lumayan, Nirmala. Tapi, ujian akhir semester menjatuhkan semuanya.
Sepertinya, semester ini kamu harus ujian ulang lagi.”
Aku terkesiap. Kalau kepala sekolah bilang aku harus
ujian ulang, berarti nilaiku tidak mencapai 60. Tiba-tiba kepalaku sakit.
Mungkin saat ini wajahku bukan lagi kusut, tapi benar-benar amburadul.
“Memangnya kamu tidak belajar, Nirmala?”
Aku menunduk dalam-dalam. Ingatanku kembali pada sehari
sebelum ujian kimia. Itu adalah hari dimana Ardian melempariku dengan
balon-balon air, dan karena itu catatan kimiaku basah dan tintanya luntur.
Malamnya, aku hanya belajar dengan handout
yang diberikan guru, sedangkan semua catatanku lenyap.
“Saya belajar, Bu. Hanya saja, mungkin memang kurang
maksimal.” Hanya jawaban itulah yang kemudian kuberikan. Setengah mati kutahan
amarah yang rasanya sudah siap meledak.
“Ya sudah. Sebaiknya kamu belajar lebih dan lebih giat lagi.
Saya ingin melihat kamu wisuda, Nirmala,” ujar kepala sekolah dengan senyuman memotivasi.
“Doakan saya, Bu,” sahutku lemas.
Kubalikkan tubuhku dan aku mulai berjalan. Entah kemana,
namun kuharap aku tak bertemu dengan Ardian. Karena jika sampai aku melihatnya.
Aku tidak tahu separah apa aku akan menyalahkannya atas ini semua.
-o0o-
Saat aku kembali ke kelas matematika, hanya tinggal
barang-barangku yang masih berada disana. Teman-teman sekelasku sepertinya
sudah pindah ke kelas berikutnya.
Saat tubuhku sepenuhnya berada di dalam kelas, aku baru
menyadari bahwa ternyata aku tidak sendirian. Di pojok belakang kelas ada
seseorang yang paling tidak ingin kutemui. Ardian.
“Kenapa lo dipanggil kepala sekolah? Kena kasus?”
tanyanya seenaknya. Aku masih menahan amarah yang rasanya benar-benar ingin
kuledakkan. Kubenahi barang-barangku secepat aku bisa.
“Makanya, Nirmala, belajar yang rajin, jangan nakal,”
ujarnya menambahkan karena aku hanya diam dan menganggapnya tak ada disana.
Saat dia mengucapkan kalimat terakhir, tanganku yang
menggenggam buku matematika bergetar. Aku tidak kuat lagi menahan marah yang
luar biasa, jadi aku hanya terduduk di atas kursi sambil menunduk. Air mataku
mengalir deras, bukan lagi menetes. Ardian yang melihat tubuhku bergetar dari
belakang, menghampiriku lalu duduk di depanku. Aku masih terus menangis dan
enggan melihatnya, karena semakin aku melihatnya akan lebih banyak air mata
yang keluar.
“Siapa, Nirmala?” tanyanya perlahan. “Siapa yang membuat
kamu nangis?”
Dengan segenap kekuatan untuk menahan diri yang masih
kumiliki, kuangkat wajahku dan kutatap matanya lekat. “Gue salah apa sih sama
lo, Di?”
Ardian mengerutkan kening, tampaknya tak bisa
berkata-kata.
“Gue tau lo cerdas, tapi apa harus selalu
mempermasalahkan setiap omongan gue? Gue tau lo suka baca, tapi apa harus
merebut semua yang lagi gue baca? Gue tau lo jago kimia, tapi apa harus lo
ngeledek gue sampe buku catetan kimia gue basah, gue nggak bisa belajar, dan
sekarang gue terancam nggak lulus? Empat semester, Di, gue harus tes ulang
kimia. Saat semester kelima gue bener-bener berjuang untuk dapet nilai lebih
baik, keisengan lo menghancurkan semuanya. Mungkin bagi lo, itu ‘cuma’ kimia,
tapi bagi gue, itu tiket kelulusan, Di.”
Aku mendengar Ardian menghela nafas. Tapi, dia masih diam
tak berbicara sepatah katapun. Seakan masih memberikan waktu untukku
memuntahkan segalanya.
“Apa lo punya penjelasan kenapa lo selalu ganggu gue? Apa
lo punya alasan yang bisa gue terima?” tanyaku menuntut jawaban.
Ardian terdiam. Selama beberapa detik yang terjadi
hanyalah keheningan. Keheningan yang terdengar, karena begitu terasa lambat.
Sampai akhirnya, Ardian menggeleng dan hanya berucap, “gue minta maaf ya,
Nirmala,” lalu pergi meninggalkanku sendirian, tanpa aku tahu butuh waktu lama
untukku kembali menemuinya setelah itu.
-o0o-
Esoknya, Ardian tidak ada di kelas. Aku tidak tahu kemana
dia, tapi aku juga tidak mau bertanya. Aku masih merasa sangat marah padanya
atas banyak hal. Terutama masalah nilai kimiaku.
Seharian ini di waktu luang, aku hanya menghabiskan
waktuku di perpustakaan sendirian. Sesaat, aku merasa sepi juga tidak diganggu
oleh Ardian hampir seharian ini. Namun kuyakinkan diriku untuk menikmatinya,
karena tak selamanya aku bisa seperti ini.
Seminggu berlalu, dan aku masih tidak bertanya-tanya
tentangnya. Tiga hari lagi pembagian rapor semester. Aku mulai membolak-balik
buku kimia dan menyerap berbagai hal dari sana. Minggu pertama semester depan
adalah hari ujian ulangku. Aku hanya bisa berdoa yang terbaik.
Hari pembagian rapor tiba. Seperti yang biasa kulakukan
saat bagi rapor, aku menjaga meja registrasi wali murid yang akan mengambil
rapor. Pagi itu, aku sudah duduk disana sejak pukul tujuh pagi. Walaupun
biasanya wali murid baru akan datang pukul delapan, kurasa tidak ada salahnya
datang lebih awal.
Diluar dugaan, sudah ada seorang wali murid yang menunggu
di depan meja debelum aku dan bahkan wali kelasku datang. Kuhampiri beliau,
lalu kusalami.
“Pagi, Tante!” sapaku ramah.
“Pagi! Pembagian rapor dimulai jam berapa ya kira-kira?”
tanya beliau.
“Biasanya jam delapan tante, tertulis di jadwal juga jam
segitu,” jawabku.
“Haduh, bagaimana ya? Tante mengejar jadwal pesawat. Di
tiketnya tertulis jam sembilan,” sahutnya lagi.
Aku lalu mengernyitkan kening mencoba mencari jalan
keluar. Kuraih telepon genggamku dan ku telepon wali kelasku untuk
memberitahukan masalahnya. Ternyata wali kelasku bersedia untuk datang lebih
awal.
Sambil menunggu, aku banyak mengobrol dengan beliau.
Setelah panjang lebar, aku baru sadar kalau aku belum bertanya beliau wali
murid siapa.
“Maaf, Tante, kalau boleh tanya, Tante wali murid dari
siapa?” tanyaku berusaha sesopan mungkin.
“Kamu bisa panggil Tante Rina, Tante Ibunya Satria Ardian
Mahdi, namamu siapa?”
Aku terkesiap mendengar nama Ardian. Sudah lebih dari
seminggu dia tidak masuk sekolah. Awalnya memang aku senang karena tak ada yang
menggangguku, tapi lama-kelamaan aku jadi merasa kehilangan. Dan sekarang,
ibunya tepat berada di depanku.
“Dik, namamu siapa?” Tante Rina mengulangi pertanyaannya.
“Nama saya Nirmala Diana Sakura, Tante,” jawabku akhirnya
setelah susah payah mengumpulkan suara.
“Oh, jadi kamu yang namanya Nirmala?” tanya Tante Rina
lagi.
Aku bertanya-tanya apa maksudnya, sampai Tante Rina
menyodorkan sebuah kotak terbungkus kertas kado rapi. Kuambil kotak itu. Kotak
yang tak pernah kukira akan kudapatkan.
-o0o-
Belum sampai
setengah tahun yang lalu aku mengenalmu, dan aku langsung tertarik. Begitu
saja, tanpa alasan yang jelas. Bagiku kau adalah gadis empat musim. Kenapa?
Karena emosimu selalu tampak meski tak pernah kau ledakkan. Kadang kau
tersenyum membawa aura musim semi, kadang kau marah membawa tegangnya musim
panas, kadang kau hanya diam membawa sunyinya musim dingin, dan kadang kau
terlihat begitu rapuh membawa keringnya musim gugur.
Aku selalu ingin
berada di dekatmu, dan mengamati saat musim itu berganti. Hanya saja, mungkin
aku tidak tahu bagaimana caranya. Aku sungguh-sungguh minta maaf, aku memang
salah. Jadi, meskipun kau tak bisa memaafkanku, izinkan aku memperbaiki banyak
hal dengan kotak ini.
Nirmala Diana
Sakura, di negeri dua musim ini aku tak bisa menemukan empat musim lain, maka
saat kamu membuka kotak ini, aku telah berada di tempat dimana seharusnya aku
berada. Negeri empat musim. Mengejar mimpiku, melepaskan apa yang seharusnya
tak pernah ada. Karena bagaimanapun, empat musim di negeri dua musim tak
semestinya kumiliki.
Air mataku menetes lagi. Walau entah telah berapa juta
kali aku membaca ulang surat itu. Surat itu kuterima tujuh tahun yang lalu, di
dalam sebuah kotak berisi dua buah buku, dan satu buah sketch book. Buku pertama berisi ringkasan kimia SMA lengkap, yang
sepertinya adalah tulisan tangan Ardian, buku kedua berisi kliping
artikel-artikel yang pernah kuperdebatkan dengan Ardian, termasuk artikel yang
dulu pernah kami perebutkan di perpustakaan, dan sketch book-nya berisi lukisan wajahku dengan berbagai emosi. Ada
wajahku yang sedang tersenyum dan bertuliskan ‘musim semi’, wajahku sedang diam
tanpa ekspresi bertuliskan ‘musim dingin’, wajahku sedih dan menangis
bertuliskan ‘musim gugur’, dan wajah marahku bertuliskan ‘musim panas’.
Dengan buku ringkasan itu, aku akhirnya bisa lulus
sekolah dengan nilai diatas rata-rata, dan bahkan aku bisa mendaftar ke salah
satu perguruan tinggi di Jepang.
Maka saat ini disinilah aku, terduduk di bangku taman
menikmati angin musim gugur sambil mengenang kembali tentang masa lalu yang tak
pernah bisa kuulangi.
Aku tak tahu dimana Ardian sekarang. Bahkan sejak awal
aku tidak tahu ke negeri mana dia pergi. Seandainya ini hanya sebuah cerita,
maka tentulah aku akan berharap tiba-tiba dia muncul disampingku agar aku bisa
mengatakan semuanya. Tapi, sepertinya, bahkan jikapun ini hanya sebuah cerita,
cerita ini takkan mudah untuk kami yang kini hanya seserpih memori.
-o0o-
Sebuah cerita akan berakhir di titik dimana dia dimulai.
Maka, setelah delapan tahun berlalu sejak kejadian di kelas matematika, kami
kembali dipertemukan disana dalam keadaan yang berbeda. Yang kuingat adalah
kami saling berbalas senyum dan memandang penuh arti. Tidak ada kata-kata
kerinduan, hanya tatapan namun rasanya sudah cukup untuk kami saling mengerti.
Bahwa suatu hari, kami akan mengenang hari ini sebagai hari dimana kami
kembali, memenuhi takdir yang seharusnya. Bahwa empat musim yang kumiliki,
memang hanya untuknya.
2 comments
S.U.K.A.B.A.N.G.E.T :"
ReplyDeleteCiee yang suka banget :p
ReplyDeleteKak, sadar gak? Nama tokohnya itu anagram lhoo (yang cewek doang tapinya)..