Pada akhirnya aku kalah lagi. Aku memang tidak pernah sanggup untuk membenci. Marah lama-lama, selain pada diriku sendiri. Biarlah. Biar akhirnya aku mengibarkan bendera perdamaian. Biar aku yang lagi-lagi mengucap maaf. Biar aku yang lagi-lagi mengawali interaksi. Aku tidak mungkin membohongi diri sendiri. Aku tidak suka permusuhan, jadi apa itu salah? Namun, benarkah itu alasannya? Atau ternyata sebenarnya sejak awal aku memang tidak...
Pilihan jurusan kuliah itu sangat beragam. Sebuah PTN rata-rata memuat lebih dari dua puluh jurusan yang dibagi-bagi ke dalam beberapa fakultas. Sebagai 'anak kelas tiga', aku ngerasain banget yang namanya galau jurusan gara-gara kebanyakan referensi. Yah, milih jurusan memang harus hati-hati karena selama beberapa semester kita akan berkutat dengan hal itu. Jangan sampai kita merasa salah pilih, terus nanti dampaknya jadi nggak baik.
Ada beberapa teman yang sedikit bersitegang dengan orangtuanya membahas masalah jurusan kuliah. Walaupun beberapa orangtua mengaku membebaskan anaknya dalam memilih jurusan, kalau ditelisik, sampai saat ini, banyak orangtua yang masih menginginkan anaknya kuliah di jurusan yang menurut beliau paling baik diantara yang lainnya. Yang IPS, biasanya disarankan ekonomi atau akuntansi, kalau yang IPA biasanya kedokteran.
Nah, karena jurusanku IPA, disini aku akan membahas tentang kedokteran. Dulu waktu TK, setiap guruku bertanya tentang 'apa cita-cita kalian', hampir bisa dipastikan sepertiga kelas akan menjawab 'dokter'. Saat itu aku bingung kenapa teman-temanku ingin jadi dokter. Apa daya tariknya menjadi 'dokter'?
Di SD nggak berbeda jauh. Masih setidaknya sepertiga kelas menjawab ingin jadi 'dokter'.Bahkan di SMP dan SMA (MAN IC maksudnya -,-), masih banyak yang mau jadi dokter. Tapi, ada perbedaan untuk kali ini: tidak semua yang mau jadi dokter itu benar-benar mau.
Ada teman yang benar-benar berjuang mati-matian belajar biologi demi masuk kedokteran menuruti kata-kata ibunya, padahal dia sendiri maunya psikologi. Ada lagi teman yang nggak bisa milih jurusan, pindah dari jurusan satu ke jurusan lainnya, akhirnya balik ke kedokteran nurutin kata-kata orangtuanya. Dua kasus ini masih oke. Tapi coba yang terakhir ini. Anaknya pingin jurusan IPS, tapi tetep dibujuk IPA supaya bisa jadi dokter, lantaran ibunya dulu pingin jadi dokter tapi nggak kesampaian.
Orangtua memang mau yang terbaik buat anaknya. Tapi gimana kalau anak itu nggak siap? Kita semua tau kuliah kedokteran nggak sebentar, materinya nggak sedikit, apalagi kalau ambil spesialis.
Saat teman-teman dengan masalah semacam itu mendatangiku, aku cuma bisa memberi saran 'jangan pernah berhenti ajak orangtuamu bicara', karena memang hanya itu yang bisa kusarankan.
Alhamdulillah, orangtuaku nggak pernah memaksaku ke satu jurusan khusus. Walaupun, tetap saja beberapa kali Mama mengindikasikan kalau beliau mau aku kuliah di Universitas dan jurusan tertentu. Yah, beliau tau aku nggak akan nurut. Aku akan tetap sama pilihan aku karena ini memang pilihan aku. Lagipula, aku bisa mengajukan alasan-alasan yang bisa diterima rasionalnya Mama.
Nah, suatu hari Mama pernah tanya aku gini, "kamu yakin nggak mau ambil kedokteran?"
Aku cuma menggeleng. Teringat pengalamanku dengan dokter-dokter RSUD yang beberapa bulan sebelumnya kudatangi. Langsung terbayang wajah tidak ramah, kalimat kasar, tatapan mata merendahkan, dan pelayanan tidak memuaskan yang kuterima.
Dalam hati, aku bersuara...
Beberapa temanku yang memang sudah yakin dengan kedokteran mulai mengisi formulir SNMPTN. Aku juga sudah mengisinya dengan jurusan pilihanku. Tentu bukan kedokteran. Aku tidak anti-kedokteran, aku juga nggak bilang kedokteran itu meinstrim. Aku nggak pernah mempertimbangkan kedokteran, karena seperti yang kukatakan, kedokteran itu bukan aku. Sesederhana itu.
Ada beberapa teman yang sedikit bersitegang dengan orangtuanya membahas masalah jurusan kuliah. Walaupun beberapa orangtua mengaku membebaskan anaknya dalam memilih jurusan, kalau ditelisik, sampai saat ini, banyak orangtua yang masih menginginkan anaknya kuliah di jurusan yang menurut beliau paling baik diantara yang lainnya. Yang IPS, biasanya disarankan ekonomi atau akuntansi, kalau yang IPA biasanya kedokteran.
Nah, karena jurusanku IPA, disini aku akan membahas tentang kedokteran. Dulu waktu TK, setiap guruku bertanya tentang 'apa cita-cita kalian', hampir bisa dipastikan sepertiga kelas akan menjawab 'dokter'. Saat itu aku bingung kenapa teman-temanku ingin jadi dokter. Apa daya tariknya menjadi 'dokter'?
Di SD nggak berbeda jauh. Masih setidaknya sepertiga kelas menjawab ingin jadi 'dokter'.Bahkan di SMP dan SMA (MAN IC maksudnya -,-), masih banyak yang mau jadi dokter. Tapi, ada perbedaan untuk kali ini: tidak semua yang mau jadi dokter itu benar-benar mau.
Ada teman yang benar-benar berjuang mati-matian belajar biologi demi masuk kedokteran menuruti kata-kata ibunya, padahal dia sendiri maunya psikologi. Ada lagi teman yang nggak bisa milih jurusan, pindah dari jurusan satu ke jurusan lainnya, akhirnya balik ke kedokteran nurutin kata-kata orangtuanya. Dua kasus ini masih oke. Tapi coba yang terakhir ini. Anaknya pingin jurusan IPS, tapi tetep dibujuk IPA supaya bisa jadi dokter, lantaran ibunya dulu pingin jadi dokter tapi nggak kesampaian.
Orangtua memang mau yang terbaik buat anaknya. Tapi gimana kalau anak itu nggak siap? Kita semua tau kuliah kedokteran nggak sebentar, materinya nggak sedikit, apalagi kalau ambil spesialis.
Saat teman-teman dengan masalah semacam itu mendatangiku, aku cuma bisa memberi saran 'jangan pernah berhenti ajak orangtuamu bicara', karena memang hanya itu yang bisa kusarankan.
Alhamdulillah, orangtuaku nggak pernah memaksaku ke satu jurusan khusus. Walaupun, tetap saja beberapa kali Mama mengindikasikan kalau beliau mau aku kuliah di Universitas dan jurusan tertentu. Yah, beliau tau aku nggak akan nurut. Aku akan tetap sama pilihan aku karena ini memang pilihan aku. Lagipula, aku bisa mengajukan alasan-alasan yang bisa diterima rasionalnya Mama.
Nah, suatu hari Mama pernah tanya aku gini, "kamu yakin nggak mau ambil kedokteran?"
Aku cuma menggeleng. Teringat pengalamanku dengan dokter-dokter RSUD yang beberapa bulan sebelumnya kudatangi. Langsung terbayang wajah tidak ramah, kalimat kasar, tatapan mata merendahkan, dan pelayanan tidak memuaskan yang kuterima.
Dalam hati, aku bersuara...
"Aku takut. Aku takut tidak siap dengan ilmu yang ada padaku nantinya. Aku takut merasa paling pintar. Aku takut merendahkan orang lain. Aku takut menjadi dokter yang justru tak ada bedanya dengan dokter-dokter RSUD itu: mengejar materi. Selain itu, aku merasa kedokteran bukan jalanku. Bukan aku. Biarlah saja teman-temanku berada disana, tapi tidak denganku."
Dan masalah orangtua dan kedokteran, bukan salah jurusannya. Memang pandangan orangtua yang melihat kedokteran sebagai suatu jurusan yang berbeda, selain anak-anak kedokteran itu sepertinya memang lebih 'disiksa' daripada jurusan lain. Satu pesan dariku untuk teman-temanku mahasiswa dan calon mahasiswa kedokteran, jangan sampai kalian menjadi seperti apa yang aku takutkan atas diriku (kalau ada di jurusan itu): merasa paling pintar, merendahkan orang lain, dan mengejar materi. Luruskan niat, kawan!
Pertama mengenalmu, aku sama sekali tak punya ide tentang apa yang ada di kepalamu. Kamu memang tak bisa ditebak, sulit dibaca, hampir mustahil dipahami. Tapi, bukan aku namanya kalau aku menyerah mengenalmu hanya karena kau menyulitkan. Perlahan aku mencoba memperhatikanmu, mengenalimu, mencari tahu kebiasaanmu, dan menelisik karaktermu. Tak mudah. Mencari tahu tentangmu memang tak akan mudah, aku yakin. Karena kau hampir-hampir sama saja...
Masih menyempatkan berpikir. Meskipun banyak ujian, banyak materi yang menunggu untuk dipelajari, banyak agenda yang harus dilakukan. Satu diantara ribuan lainnya, perlahan kukumpulkan agar satu itu setidaknya bisa menjadi beberapa ratus. Masih bisa melirik, walau tidak dengan mata sepenuhnya terbuka. Sudah bosan dengan terlalu banyak warna. Sudah terbiasa dengan perpaduan senada dan tak senada. Masih bisa terdengar sayup, meski aku sudah tidak begitu...
“Mungkinkah aku egois? Egois karena tak membiarkan Kakak pergi meninggalkanku, dan karena aku ingin Kakak tetap hidup padahal Kakak tersiksa dengan penyakit yang tak ada obatnya ini?”
Dua Maret bagimu mungkin bukan apa-apa. Tapi Dua Maret bagiku adalah sebuah sejarah. Tepat setahun yang lalu peperangan dimulai. Peperanganku, peperangan kami, peperangan kita. Dua Maret tahun lalu, ganjalanku terlepas perlahan. Beban berat di punggungku terangkat sebagian. Dua Maret tahun lalu, meski tanpa asupan makanan, aku punya energi untuk terus bergerak sepanjang hari tanpa henti. Dua Maret tahun lalu, tiga belas orang saling...