Sebuah Kisah : "Kakak"
March 04, 2014“Mungkinkah aku egois? Egois karena tak membiarkan Kakak pergi meninggalkanku, dan karena aku ingin Kakak tetap hidup padahal Kakak tersiksa dengan penyakit yang tak ada obatnya ini?”
“Kakak sedang apa?”
“Sedang melihat bulan, Ren.”
Kutatap lekat wajah Kakak dan kutelusuri garis-garis halus di kedua
pipinya. Namun, mata Kakak tampak begitu fokus dengan satu objek di langit
sana.
“Kenapa Kakak serius banget?”
Kakak mengalihkan pandangan kearahku dan tersenyum. Senyumannya terlihat
begitu tulus, namun tidak bisa menyembunyikan gurat-gurat kesedihan dan
kelelahan yang terukir jelas.
“Karena Kakak kagum sama ciptaan Tuhan yang satu itu,” jawab Kakak ringan,
lalu mengembalikan pandangannya ke langit.
“Apa kak? Bintang?” tanyaku polos.
Kakak menggelengkan kepala perlahan dan menatapku lekat. “Bukan bintang,
Rena, tapi bulan.”
“Aku sih lebih kagum sama bintang kak, soalnya banyak dan cantik,”
seruku sambil bergeser mendekati Kakak, menyejajarkan tubuhku dengan tubuh
semampainya, lalu ikut memandangi langit.
Kakak menggeleng, lalu berkata, “Kalau bintang hilang satu, kita nggak
akan merasakan efeknya, Ren. Tapi kalau yang hilang bulan, kita semua pasti
tahu. Bulan memang cuma sendirian, tapi kecerahannya mengalahkan
bintang-bintang yang muncul di langit malam. Meskipun sendirian, dia nggak
kehilangan manfaat untuk bumi. Dia berarti.”
Aku mencoba mencerna kata-kata Kakak sambil mencoba membandingkan kecerahan
bintang dan bulan yang sedang kupandangi. Cukup lama kami terdiam menikmati
hening hingga aku kembali mendengar suara Kakak.
“Ren,” panggilnya. Aku menoleh tanpa menyahut.
Lalu Kakak melanjutkan, “Jika suatu hari nanti Kakak nggak bisa
jagain kamu lagi, kamu harus percaya kalau Kakak akan terus berdoa agar Tuhan
mengizinkan bulan itu menemani kamu, supaya kamu nggak sendirian.”
Aku meraih tangan Kakak, menggenggamnya, lalu menatapnya sambil tersenyum.
“Kakak jangan khawatir. Aku cuma butuh Kakak. Bagiku, Kakak adalah yang
paling berarti yang aku punya.”
Kakak memelukku erat dan kurasakan air mataku mengalir ringan. Saat itu,
usiaku tujuh tahun. Aku tidak begitu memahami apa yang sedang terjadi dan beban
macam apa yang sedang Kakakku hadapi. Saat itu aku tak tahu bahwa menghabiskan
malam memandangi bulan di balkon rumah bersama Kakak adalah momen yang akan
kurindukan di malam-malam setelahnya. Bersama dengan waktu yang menjadikanku
bertambah tua, aku memahami banyak hal yang sebelumnya bahkan tak pernah
terpikir.
***
Sepuluh tahun kemudian...
“Gimana? Kelihatan jelas atau nggak?”
“Agak sulit, Res. Sepertinya polusi cahaya di daerah ini memang cukup
tinggi.”
“Apa kamu yakin penyebabnya bukan cuaca?”
Aku mengangguk dan berujar, “Kalau penyebabnya cuaca, bintangnya nggak
akan samar tapi justru tertutup awan.”
“Berarti kita sampai pada kesimpulan?”
“Bisa jadi. Tapi, kita tetap harus mencoba titik pengamatan lain.”
Aku membenahi teleskop dan seluruh perangkat pengamatan. Aresta membantuku
merapikan data-data yang berserakan di atas meja. Kami baru saja meneliti
polusi cahaya langit, objek penelitian kami. Penelitian ini adalah tugas akhir
kami sebagai syarat kelulusan SMA.
“Habis ini kamu mau kemana?” tanya Aresta setelah barang-barang kami
terkemas.
“Entahlah. Mungkin aku mau pulang saja,” jawabku.
Perlahan, aku merasakan rintikan air hujan membasahi tanganku. Aku dan
Aresta memasukkan peralatan ke dalam bagasi dan bergegas masuk ke mobil.
Aresta adalah teman sekelasku. Saat ini kami duduk di bangku kelas 3 SMA
Pelita Bangsa, sebuah sekolah Internasional di kawasan Jakarta Selatan. Dia
temanku yang cukup dekat. Alasan terkuat aku bisa berteman dekat dengan Aresta
adalah walaupun dia perempuan, dia tidak pernah berusaha bertanya tentang
hidupku yang memang tak ingin kuceritakan. Selain itu, Aresta mengenalkanku
pada jilbab, selembar kain yang membawa ketenangan bagi batinku.
Aresta mengemudikan sedan putihnya dengan hati-hati. Sepanjang perjalanan,
seperti biasanya kami bercerita tentang sekolah. Ia mengantarku sampai ke depan
rumah.
“Makasih ya, Res!” ujarku sambil meraih payung di dashboard dan
bersiap melangkah turun dari mobil.
“Kok kamu nggak pernah ajak aku main ke rumah kamu sih, Ren?” tanya
Aresta sebelum tanganku sempat menyentuh pintu.
Aku terdiam sejenak, bingung harus menjawab apa. Aku memang tidak pernah
membiarkan seorang pun temanku main ke rumahku. Aku tidak mau ada yang tahu
kondisi rumahku yang kacau oleh Tante Rheina dan teman-temannya. Kakak juga
melarangku mengajak teman ke rumah karena dia tidak mau ada yang melihat
kondisinya.
Akhirnya, aku hanya berkata, “Lain kali aja ya, Res. Udah larut,
nanti kamu dicariin orangtuamu, lho.”
Aresta mengangguk bosan dan membiarkanku berlalu. Kutatap mobilnya berbalik
arah dan pergi dari teras depan rumahku. Setelah mobilnya benar-benar hilang
dari pandangan, aku hanya bisa bergumam, “Maaf ya, Res. Ini demi Kakak.”
***
Aku melangkah masuk ke dalam rumah.
Pemandangan pertama yang terlihat di hadapanku adalah Tante Rheina yang sedang
bermesraan dengan kekasihnya. Aku melangkah malas ke dalam kamarku dan berusaha
mengabaikan mereka berdua. Kukunci pintu kamarku dan kuletakkan semua barang-barangku
di atas meja.
Aku lalu berjalan ke arah pintu yang menghubungkan kamarku dengan kamar
kakakku, dan membuka pintu itu. Kutatap kakakku yang kurus kering berbaring di
ranjang. Dia sedang menatap kosong dan tak melakukan apa-apa.
Melihatnya dengan kondisi seperti itu selalu membuatku ingin menangis. Tapi
lima tahun menghadapi keadaan yang sama, membuatku sedikit bisa menahan air
mata.
“Kak,” panggilku lembut.
Kakakku menoleh padaku dan tersenyum. “Bagaimana pengamatannya?”
“Menyenangkan, Kak. Andai Kakak disana,” ujarku lagi.
Tangan kurusnya meraih tanganku dan menggenggamnya. Kondisi kakak saat ini
benar-benar sangat buruk, seakan tidak bisa lebih buruk lagi dari ini.
Enam tahun yang lalu, kakak mengonsumsi narkoba jenis hasish (ganja
cair) yang menggunakan jarum suntik. Kakak melakukannya lantaran Ayah dan Ibu,
yang bahkan tidak pernah memberi perhatian padanya sama sekali, terus-terusan
memaksanya kuliah di jurusan yang tidak dia inginkan.
Setelah hampir setengah tahun menjadi pemakai, Kakak ketahuan Ibu dan
dikirim ke tempat rehabilitasi. Setelah Kakak kembali, Ayah dan Ibu berubah
menjadi lebih memperhatikan aku dan Kakak.
Aku merasa saat itu benar-benar hari-hari yang luar biasa menyenangkan.
Namun, tak berselang lama, Kakak divonis HIV dan Ibu yang mendengarnya
terkena serangan jantung sampai akhirnya meninggal. Ayah yang seorang pelaut
tetap harus bekerja sebagai pelaut untuk menghidupi kami. Jadi aku dan Kakak
dititipkan kepada Tante Rheina.
Meskipun kami tetap tinggal di rumah yang sama, sejak kedatangan Tante
Rheina rumah kami benar-benar terasa seperti neraka. Tante sering membawa
teman-temannya dan membuat keributan. Kadang ia juga membawa kekasihnya dan
bermesraan seakan tidak ada yang melihat mereka. Karenanya, aku dan Kakak
jarang sekali ada di rumah. Setiap Ayah menelepon, Tante Rheina selalu menjawab
dengan meyakinkan, aku diancam untuk tidak memberitahukan apapun kelakukannya
pada Ayah. Karena selama ini Tante Rheina tidak pernah melakukan kekerasan
secara langsung kepada kami dan kami tetap mendapatkan makanan dan keperluan
yang cukup, aku akhirnya memilih untuk diam saja.
Tiga tahun yang lalu, Kakak mulai terjangkit AIDS. Tubuh kakak tergerogoti
oleh berbagai gejala penyakit, sehingga Kakak harus tetap di rumah dan tidak
bisa beraktivitas. Sejak itulah aku lebih sering di rumah menemani Kakak.
Semakin hari, tubuh Kakak semakin ringkih saja. Aku tidak tega melihatnya.
“Ren,” panggil Kakak membuyarkan lamunanku. “Kakak sayang kamu.”
Aku tersenyum. “Aku juga sayang Kakak,” balasku, dan kami saling bertatapan
penuh arti.
Kami sadar bahwa yang bisa kami lakukan hanya saling menyayangi dan saling
menguatkan. Karena aku tanpa Kakak, atau Kakak tanpa aku, pasti takkan sanggup
melalui ini semua.
***
“Rena!”
Aku menoleh dan mendapati Aresta sedang berlari di koridor untuk
mengejarku. “Kenapa, Res?” tanyaku saat akhirnya dia sampai di hadapanku.
“Aku mau main ke rumah kamu,” ujarnya bersemangat.
Aku menggeleng. “Nggak bisa sekarang, Res. Aku sibuk. Ada yang mau
aku kerjain bareng kakakku.”
“Ayolah, Ren. Sebentar aja deh.” Setelah semalam gagal memohon, kali
ini Aresta sepertinya tidak berniat untuk berhenti.
Namun, aku tetap pada pendirianku. “Nggak bisa sekarang, Res.”
Aresta menghela nafas. “Ya udahdeh, tapi aku boleh antar kamu
pulang, ‘kan?”
Aku berjalan sambil berpikir. Aresta masih mengikutiku, berusaha
mengimbangi langkah kakiku yang semakin cepat.
“Iya boleh. Sekalian kita bicarakan lagi masalah penelitian kita ya,”
jawabku akhirnya.
Kami berdua melangkah menuju mobil Aresta. Dan dimulailah percakapan ringan
kami yang biasa, tanpa aku tahu apa yang menungguku bukanlah sesuatu yang
ringan.
***
“Yakin nih, Ren, aku nggak
boleh masuk?”
Aku melemparkan tatapan galak ke Aresta. “Tadi katanya cuma antar pulang,”
keluhku. Enak saja dia berusaha mengakaliku.
Aresta mengeluarkan ekspresi polosnya sambil berkata, “Yah kan udah
terlanjur disini, apa salahnya kalau...”
PRANG!!!
Kami menoleh mendengar suara sesuatu yang pecah dari dalam rumah. Aku panik
dan bergegas masuk ke dalam. Ruangan pertama yang kutuju tentunya kamar Kakak.
Aresta turun dan mengikutiku masuk ke dalam. Aku sudah tidak peduli kalaupun
dia akhirnya masuk, karena yang aku pikirkan saat ini hanya Kakak.
Yang pertama kulihat saat memasuki kamar adalah tubuh Kakak yang tergeletak
di lantai dan kejang-kejang dengan gelas pecah tidak jauh darinya. Aku langsung
menghampiri tubuh Kakak dan memangku kepalanya. Aresta muncul dari pintu dan
terbelalak ketika matanya sampai pada Kakak.
“Rena, ayo bawa dia ke rumah sakit!” sahut Aresta sedikit berteriak,
menunjukkan bahwa dia juga panik.
Aku memasang wajah bingung dan tidak mengerti harus melakukan apa.
Melihat aku yang tidak juga bergerak, Aresta menambahkan, “Jangan buang
waktu, Ren!"
Aresta menghampiriku dan membantuku mengangkat tubuh Kakak.
Kami mengangkat tubuh Kakak yang sebenarnya sangat ringan dan mungkin saja
kuat aku angkat sendirian jika tidak dalam keadaan panik seperti ini. Setelah
tubuh Kakak masuk ke mobil, aku dan Aresta ikut masuk. Kami pergi ke rumah
sakit terdekat.
Di sepanjang perjalanan aku memeluk kakak dan membisikkan kata-kata yang
sama di telinga Kakak berulang-ulang.
“Aku mohon Kak, bertahanlah! Aku nggak sanggup kalau Kakak nggak
ada.”
***
Aku berada di ruang ICU, menatap tubuh Kakak yang terbaring lemah. Dokter
bilang kami membawanya kesini tepat waktu. Terlambat sedikit saja, mungkin dia
tidak bisa lagi diselamatkan. Aku menggenggam tangan Kakak yang masih tetap
kurus dan kukecup lembut.
Setelah itu, aku beranjak ke luar ruangan. Di koridor, aku menemukan Aresta
duduk sambil bersandar ke tembok dan memejamkan matanya. Aku menghempaskan
tubuhku di sebelahnya. Aresta menoleh memandang wajahku yang entah seperti apa
rupanya. Matanya tidak melukiskan apapun selain pertanyaan. Banyak pertanyaan
yang mungkin dia sendiri tidak tahu bagaimana cara menanyakannya.
“Makasih ya, Res,” ucapku tulus.
Aresta tersenyum dan menjawab, “Sama-sama, Ren.”
Dia meraih tanganku dan menggenggamnya sangat erat. "Aku nggak tau
apa yang menimpa kamu, Ren. Tapi, aku nggak meminta penjelasan. Kalau kamu
nggak mau cerita, aku nggak maksa," ujar Aresta.
Beberapa saat kami hanya menikmati kesunyian. Kupejamkan mataku dan
kusandarkan kepalaku ke pundak Aresta. Berikutnya, tanpa sadar kepercayaanku
padanya menuntun lidah ini mengucap segalanya dan mengalirlah seluruh cerita
tentang aku, Kakak, dan keluarga kami.
***
Entah sudah berapa lama aku terdiam saat kurasakan seseorang menyentuh
bahuku. Bisa jadi ternyata aku sudah berjam-jam tidur. Aku menoleh dan
menemukan ternyata suster yang menyentuh bahuku.
“Maaf, apakah Anda keluarga dari Renita?” tanya suster tersebut.
“Iya, Suster. Saya Renata, adiknya. Ada apa?” aku balik bertanya.
“Sejak tadi Renita seperti memanggil seseorang, mungkin dia mencari Anda.”
Setelah mendengar kalimat terakhir suster itu, aku bangkit dan menuju
ruangan Kakak. Sekilas kulihat waktu sudah berlalu empat jam sejak aku duduk di
bangku itu dan Aresta sudah pamit pulang. Aku kembali melangkahkan kaki ke
dalah ruang ICU tempat Kakak dirawat. Benar saja, sejak masuk ke ruangan itu,
aku bisa melihat bibir Kakak sedikit bergerak-gerak.
Kuhampiri ranjang tempat Kakak berbaring. Kuraih tangannya dan kurasakan
tangannya sedikit bergetar dalam genggamanku. Setetes airmata turun dari
matanya yang tetap terpejam, membasahi pipinya yang tirus.
“Kak, Rena disini,” bisikku lirih. Sebisa mungkin kutahan airmataku agar
tidak jatuh. Kakak tidak boleh melihatku menangis.
“Apa yang Kakak rasain? Sakit?” tanyaku. Tangan Kakak yang berada
dalam genggamanku perlahan bergerak meraih jariku. Sangat perlahan, hingga
mungkin aku tak akan tahu seandainya saja tangan itu tak kugenggam.
“Sakit banget, Kak?” tanyaku lagi. Tangan Kakak kembali bergerak dengan
pola yang sama namun lebih kuat dari sebelumnya.
Kurasakan pipiku basah oleh airmata. Sia-sia saja aku menahan kesedihan
karena melihat orang yang paling kusayangi di dunia ini menderita. Mungkinkah
aku egois? Egois karena tak membiarkan Kakak pergi meninggalkanku, dan karena
aku ingin Kakak tetap hidup padahal Kakak tersiksa dengan penyakit yang tak ada
obatnya ini?
“Aku sayang Kakak,” ucapku tulus, mungkin akan menjadi yang terakhir kali
didengarnya di dunia. “Dan karena itu, aku nggak mau Kakak tersiksa
menahan diri tetap hidup dengan penyakit ini demi aku. Aku ikhlas melepas Kakak
kalau memang Kakak mau pergi. Kakak nggak perlu khawatir, aku bisa
menghadapi semuanya.”
Genggaman tangan kakak semakin kuat di tanganku seiring dengan kalimat
panjang yang mengalir dari lidahku.
“Aku percaya walaupun nggak terlihat, Kakak akan tetap ada di
sampingku, memperhatikaku, memastikan bahwa aku baik-baik saja.”
Bersamaan dengan kalimatku berakhir, genggaman tangan Kakak melemah.
Kudengar Kakak menghela nafas panjang, sebelum akhirnya nafas terakhirnya
berhembus dan alat di sampingnya memperlihatkan sebuah garis lurus.
Kulepaskan genggaman tanganku, lalu kuselimuti wajah Kakak. Airmataku
mengalir di sepanjang jalanku keluar dari ruang ICU dan memanggil suster yang
menangani Kakak. Setelah bertemu Suster, aku menunjuk ruangan Kakak tanpa
berkata apapun, hanya terus menangis. Yang selanjutnya kuingat adalah wajah
Suster yang terlihat bingung dan semuanya terasa gelap.
***
Perlahan kubuka mataku dan kukerjapkan. Hal pertama yang kusadari adalah
aku sedang terbaring di atas ranjang di sebuah ruangan asing yang aromanya
seperti rumah sakit. Hal berikutnya, Aresta sedang menungguiku tepat di sisi
kanan tempat tidur. Lalu, ingatan-ingatan lain mulai merasukiku dan saat aku
mulai Kakak telah meninggal, aku mulai menangis lagi.
Di tengah tangisku, Aresta bangkit dari sofa dan menghampiriku.
“Sudahlah, Ren, kakak kamu pasti udah tenang di alam sana,” ujarnya
sambil menatapku lembut.
Dia menyodorkan sebuah sapu tangan padaku, dan aku mengulurkan tangan untuk
menerimanya. Aku sadar, Aresta benar. Lagipula, bukankah aku sudah
mengikhlaskan kepergian Kakak karena aku nggak mau lihat Kakak menderita
dengan AIDS itu? Jadi, aku berusaha menghentikan tangisku.
“Aku harus kabari Ayah dan Tante Rheina,” sahutku.
Aresta menatapku dengan cara yang menurutku sedikit aneh. Lalu, dia
berkata, “Ini udah lewat tiga hari sejak kakak kamu meninggal, Ren.
Kakak kamu udah dikubur.”
Aku tidak menjawab pernyataannya, hanya menatap kosong ke satu titik.
“Gini ya, Res, rasanya terlalu sayang sama seseorang?” ujarku sambil
tersenyum sedih. Karena Aresta tidak berkata apapun, aku melanjutkan, “Karena nggak
tega lihat orang yang aku sayang menderita, aku harus bisa ikhlas saat dia
pergi tinggalin aku kayak gini, walaupun aku sedih, walaupun aku sakit, aku
harus ikhlas.”
Aresta menatapku lekat. Ditatap seperti itu mau tidak mau aku menatapnya
balik. Seakan mengalirkan langsung setiap kata-katanya ke dalam pikiranku, dia
berujar, “Bukan cuma kamu yang bisa menyayangi seseorang. Kamu udah
merasakan betapa kehilangan orang yang disayangi itu rasanya nggak enak,
apa kamu akan terus berlarut-larut dalam kesedihan dan membiarkan orang-orang
yang menyayangi kamu kehilangan kamu? Mungkin kamu ada, Ren, kamu hidup, tapi
tanpa semangat, apa artinya?”
Aresta tidak melepaskan matanya dari mataku dan aku tidak menyahuti
ucapannya, hanya mencerna dengan baik.
Aku tahu Aresta ada benarnya. Setiap manusia di dunia ini pasti mati,
termasuk aku nantinya. Lagipula, sebelumnya aku sudah berkata pada Kakak bahwa
aku ikhlas Kakak pergi. Tidak ada alasan untukku berlama-lama larut dalam
kesedihan. Yang harus kulakukan adalah berjuang dan menjalani hidupku
sebaik-baiknya. Buktikan kalau aku benar-benar menyayangi Kakak dan tak mau
melihatnya kecewa.
Jadi,
demi Kakak yang telah melalui hidupnya dengan berat untuk tetap berada di
sampingku, dan demi Aresta, sahabat terbaikku, saat itu aku tersenyum.
1 comments
:""" naaaaaa
ReplyDelete