Cerpen Civitas Day 2012 : Terima Kasih, Pak Rasyid!
December 26, 2012
Rheina menatap pusara keluarganya
dengan wajah sendu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengalirkan airmata
dalam diam. Ya, hanya dalam diam. Bukan pecahan tangis yang memekakkan telinga,
atau bahkan raungan tak teredam tanda kehilangan.
Rheina gamang. Ia tak tahu apa
tepatnya yang harusnya ia rasakan. Kadang, rasa sesal menyeruak dalam benaknya.
Andai ia tak pernah memutuskan sekolah berasrama, pasti di malam naas itu ia
sedang bersama keluarganya, berada di dalam mobil maut itu. Pasti.
Tapi terlepas dari itu, Rheina
sadar ia bukan anak kecil yang bisa terus-menerus larut dalam kesedihan. Ia
sudah dewasa. Dan sepinya hidup bukan alasan untuk menenggelamkan
kedewasaannya. Meski ia tahu benar, inilah makna kesepian yang sebenarnya.
-oOo-
“Rhe!” panggil Arista lemah. Ia
khawatir lantaran sahabatnya itu sekarang ini lebih banyak diam. Memang, ini
hal yang cenderung wajar, melihat apa yang baru dialami oleh Rheina. Seluruh
keluarganya mengalami kecelakaan lalu lintas. Mobilnya masuk ke jurang yang
cukup dalam. Seluruh penghuninya meninggal dunia, dengan jasad hancur dan sulit
dikenali. Tapi, kewajaran tidak dapat meredam kekhawatirannya.
Rheina menoleh lemah. Berjuta
masalah berkelebat di otaknya. Dari mulai tante dan omnya meributkan soal harta
orangtuanya, rasa sakit dan merasa sendirian, sampai masalah beasiswanya yang
akan dicabut oleh yayasan. Dalam satu tolehan pada Arista, Rheina
mengekspresikan semuanya.
“Yaampun, Rhe. Muka lo pucet
banget. Lo nggak enak badan?” tanya Arista.
Rheina menggeleng lemah. “Gue
cuma lagi mikir kok, Ris,” jawabnya lemah. Semakin terdengar rapuh.
Arista merangkul pundak
sahabatnya dan berkata, “Rhe, jangan mikir sendirian ah. Kalo misalnya lo punya
sesuatu yang memberatkan lo, jangan pernah ragu bagi-bagi itu ke gue.”
Rheina terdian sejenak sebelum
bergumam, “gue takut nggak bisa sekolah lagi, Ris”
“Lho? Kenapa, Rhe?” Arista
mengernyitkan kening.
“Beasiswa gue sebentar lagi
dicabut sama pemilik yayasan. Papa sama Mama udah nggak ada, jadi nggak bisa
membiayai sekolah gue. Tante sama Om gue malah ngeributin harta peninggalan
Mama sama Papa, nggak memikirkan kelanjutan pendidikan gue sama sekali.”
Akhirnya keluh Rheina terucap juga, setelah selama ini berusaha ia tutupi dengan
rapi.
“Lo kan bisa kerja sambilan, Rhe.
Dan bisa nuntut Om dan Tante lo juga untuk membiayai pendidikan lo. Biar
bagaimanapun, itu kan uang orangtua lo,” saran Arista.
Rheina menggeleng sambil
tersenyum mengejek. “Gue udah pernah nyoba ngomong sama Om dan Tante, tapi
hasilnya nihil, Ris. Masalah kerja part
time, udah gue lakuin. Tapi itu cuma cukup buat kehidupan gue sehari-hari.
Tau sendiri kan seberapa mahal biaya sekolah sekarang ini, bahkan meskipun gue
pindah dari sekolah supermahal ini, hasil kerja part time gue tetep nggak cukup.”
“Kalo gitu, Rhe, satu-satunya
cara adalah, kita harus bisa mencegah beasiswa lo dicabut. Atau, lo harus bisa
dapetin beasiswa di instansi lain,” Arista kembali memberikan saran.
Rheina mulai tersenyum. Mungkin
saja ini merupakan satu titik cerah baginya. “Tapi, gimana caranya, Ris?”
“Tenang, ikut gue!”
-oOo-
“Jadi, kalian mau meminta bantuan
saya?”
Rheina dan Arista mengangguk
bersamaan. “Iya, Pak,” sahut Arista. “Rheina kan siswi yang berprestasi, sangat
disayangkan jika dia harus berhenti sekolah karena tersangkut masalah biaya.
Maka, kami sangat berharap Bapak bisa membantu kami,” lanjut Arista.
Saat ini, dua gadis itu sedang
berada di ruang tata usaha SMA Terpadu Pelita Bangsa, sekolah mereka.
Berhadapan dengan kepala tata usaha, Pak Rasyid. Mereka berharap Pak Rasyid
dapat membantu Rheina keluar dari masalahnya.
“Saya takut berjanji. Saya takut
mengecewakan kalian berdua,” gumam Pak Rasyid. “Saya tahu Rheina anak yang
berprestasi, tapi masalahnya saya dengar, yayasan sedang krisis. Jika sekolah
ini ingin tetap bertahan, maka yayasan harus menarik semua beasiswa untuk
sementara waktu.”
Rheina menunduk dalam-dalam.
Sejak awal Arista membawanya kesini, ia tahu tak banyak yang bisa diperbuat Pak
Rasyid. Biar bagaimanapun, Pak Rasyid bukan penentu keputusan, melainkan hanya
pegawai yang dipekerjakan yayasan.
“Tapi, saya akan mencoba membantu
kalian.” Mendengar kata-kata Pak Rasyid wakah Rheina dan Arista terangkat, dan
mata mereka seakan berbinar.
“Benarkah, Pak?” tanya Rheina.
Pak Rasyid mengangguk. “Saya akan
berusaha semaksimal mungkin.”
Rheina pun tersenyum, lalu mereka
berdua mengucapkan terima kasih.
-oOo-
Rheina berkutat dengan seluruh
materi di tangannya. Kemarin, Pak Rasyid memberitahunya bahwa beliau tidak bisa
membantu mencegah yayasan menghentikan beasiswa untuk Rheina. Tapi, beliau
memberikan sebuah formulir pengajuan beasiswa ke sebuah lembaga yang cukup
terkenal di Indonesia.
Kata Pak Rasyid, formulir itu
beliau dapatkan dari teman yang bekerja di lembaga tersebut. Dan jumlah
formulir itu sendiri kabarnya sangat terbatas, dan tidak di share bebas.
Lembaga tersebut menawarkan
beasiswa secara kesinambungan sampai mendapat gelar sarjana, di universitas
dalam atau luar negeri. Tapi konsekuensinya, jika Rheina ingin mengajukan diri
untuk menerima beasiswa ini, ia yang sudah kelas dua SMA, harus kembali duduk
di bangku kelas satu.
Tentu saja mengulang satu tahun
bukan masalah besar bagi Rheina. Asalkan, dia bisa sekolah sampai minimal
mendapat gelar sarjana. Maka disinilah Rheina, berkutat dengan test material yang akan diujikan dalam
serangkaian tes yang akan dimulai besok.
Arista belum tahu masalah ini.
Rheina memilih untuk tidak memberitahu Arista terlebih dahulu. Nanti, kalau
sudah pasti ia mendapatkan beasiswa ini, barulah ia akan memberitahu Arista.
Biar bagaimanapun, mengajukan diri menjadi penerima beasiswa ini mengandung
sebuah konsekuensi yang tidak ringan. Ia harus siap jika lembaga yang
bersangkutan memintanya untuk meninggalkan kehidupannya.
Termasuk, berpisah dengan Arista.
Rheina tidak ingin terlalu memusingkan Arista dengan masalah ini. Ia yakin,
Arista juga punya banyak hal yang harus diurusnya, selain hanya memusingkan
tentangnya.
-oOo-
Seminggu
yang lalu, di hari dan jam yang sama, aku baru saja melepas kepergian
sahabatku, Rheina. Dia pergi ke Inggris untuk memenuhi konsekuensinya sebagai
salah satu penerima beasiswa dari sebuah lembaga yang cukup terkenal di
Indonesia.
Kurang
lebih sebulan yang lalu, dia datang padaku membawa surat konfirmasi dari lembaga
bersangkutan, yang menyatakan bahwa dia berhak atas beasiswa pendidikan sekolah
menengah selama tiga tahun di London
International High School, lengkap dengan
living cost-nya. Selain itu, Rheina
juga berhak atas beasiswa kuliah di LSE (London School of Economics and
Political Sciences), lengkap dengan living
cost-nya.
Yah,
aku merasa itu ganjaran yang wajar untuk Rheina, mengingat serangkaian tesnya
memakan waktu nyaris enam bulan. Dan selama itu, Rheina tetap sekolah dengan
bantuan biaya dari Pak Rasyid, orangtuaku dan beberapa teman lainnya.
Aku
tahu tentang usaha Rheina sejak awal, meski Rheina memilih untuk tidak
memberitahuku. Aku menghargai keputusannya untuk tidak berkata apapun padaku.
Mungkin, dia tidak ingin memberatkanku, meski aku tak pernah merasa
terberatkan. Di bulan kedua tesnya, aku
melihat dia benar-benar sudah kesulitan. Beasiswanya sudah dicabut, ia dipecat
dari kerja part time-nya, Om dan Tantenya kabur membawa harta orangtuanya ke
luar negeri, hanya menyisakan rumahnya yang dalam hitungan hari akan disita
oleh bank. Jadi, aku memutuskan untuk membantunya dan behenti berpura-pura
tidak tahu. Aku dan Pak Rasyid, kami bersama-sama berusaha menegakkan lagi
sayap Rheina.
Tiga
hari setelah Rheina terbang ke Inggris, Pak Rasyid dipindahtugaskan. Entah
kemana, aku tidak tahu, atau setidaknya belum tahu.
Yang
aku tahu, berkat bantuan Pak Rasyid, Rheina saat ini bisa kembali terbang di
Britania Raya sana.
-oOo-
Tujuh
tahun kemudian...
Bandara
Soekarno-Hatta...
“Gue kangen, Ris.” Rheina memeluk
Arista erat. Sangat erat. Sampai Arista heran bagaimana ia masih bisa bernafas
dalam kondisi itu.
“Sama, Rhe, gue juga kangen
banget sama lo. Udah lamaaaaaa banget kita nggak ketemu langsung. Lo cuma jadi screensaver doang di laptop gue,” jawab
Arista.
“Sama, Ris. Lo juga kayak screensaver laptop. Ada, tapi nggak bisa
gue sentuh.”
Arista mengencangkan pelukannya
di tubuh Rheina. “Sekarang bisa disentuh kan, Rhe?”
“Aww!! Sakit, Ris...” sahut
Rheina mengaduh dan mencoba melepaskan diri dari pelukan Arista.
Lalu, mereka berdua tertawa
bersama.
Di tengah tawanya, tiba-tiba
Rheina teringat sesuatu. “Ris, Pak Rasyid gimana kabarnya?”
Mendengar pertanyaan Rheina,
tubuh Arista menegang. Ia tertunduk dalam dan meneteskan airmata perlahan.
Rheina bingung dengan situasi ini, namun cepat-cepat mencernanya.
Rheina kembali memeluk Arista.
Hangat. Kali ini bukan peluk erat kerinduan akan sahabat. Namun, peluk yang
menenangkan hati yang tak tenang. Terluka karena kehilangan. Tanpa sadar,
Rheina juga ikut menangis. Tanpa perlu Arista menjelaskan secara verbal, Rheina
mengerti. Bahwa kepala Tata Usaha SMAnya, yang begitu baik membantunya hingga
bisa seperti saat ini, telah beristirahat.
Dan bahkan, sampai waktu beliau tiba, Rheina dan Arista belum sempat berucap. Maka saat ini, di Bandara, pagi hari, Rheina tahu Pak Rasyid akan mendengarnya. Akan mendengar sebaris kalimat yang berisi ketulusan untuk membalas ketulusan beliau. Ditemani pelukan Arista, dan airmata yang tak bisa berhenti meleleh dari kelopak mata kedua gadis itu, Rheina menggumam perlahan, “terima kasih, Pak Rasyid...”
Written by Anna Kumala
0 comments