Sore ini kenyang banget browsing tentang kuliah di luar negeri. Nggak tau kenapa, sejak dulu aku emang tertarik banget sama perkara kuliah di luar negeri. Sampe-sampe hari gini udah mulai nyari-nyari lembaga yang ngasih beasiswa buat kuliah di luar negeri. Nggak salah siih, toh setahun setengah lagi aku lulus (amin).
Sekitar tiga bulan yang lalu, seorang kakak kelasku, Kak Gian berangkat ke Jepang (sebenernya yang pergi bukan cuma Kak Gian, tapi berhubung cerita ini akan berujung hanya di beliau, jadi beliau saja yang kucantumkan). Beliau mengikuti programnya ILA yang diolah sama Surya Institute, beasiswa kuliah di Tohoku University jurusan Kimia Molekuler (bener nggak tulisannya).
Nah, beliau ini kan punya sepotong blog yang sering diupdate, kebetulan kemarin tak sengaja aku mampir ke blognya, dan membaca beberapa entri terbarunya. Melihat dan membaca entri-entri itu tiba-tiba (nggak tiba-tiba juga siih) aku jadi pengen nyusul ke Jepang. Maksudnya nyusul kuliah disana. Nggak mesti Jepang sih, yang penting kuliah di luar negeri.

It seems great to meet a stranger in an unfamiliar place, but you know that he/she came from same country, and has same culture as you. And, I'd love to know everything new outside here.
Kalo kita kuliah di luar negeri, emang banyak banget pasti resiko yang harus kita tanggung. Makin jauh dari rumah, berada di wilayah asing yang bahasanya nggak kamu ngerti sepenuhnya, jauh dari orangtua, nggak bisa sering-sering pulang, dan resiko lainnya yang nggak harus kusebutin satu per satupun semuanya pasti ngerti.
Tapi, aku selalu mikir, kalo terus mempertimbangkan resiko, terus kapan mempertimbangkan benefit? Sedangkan, sekali aja kita memutuskan untuk sedikit mengabaikan resiko itu (mengabaikan disini bukan berarti nggak peduli), asalkan tetap bisa mempertahankan niat tetap lurus, keuntungan dan manfaat itu akan terus mengalir tanpa henti.
Makanya, walaupun mama sampe saat ini belum setuju aku mau kuliah overseas, aku nggak pesimis. Kalo tiket beasiswa ke luar negeri udah di tangan kan mama nggak bisa bilang enggak. Karena nggak semua orang bisa dapet kesempatan yang begitu luarbiasa itu.
Kenapa tiba-tiba aku nulis entri ini? Soalnya pas sebelum ini, aku baru aja ngintip websitenya PPI Sendai, terus ngeliat kakak-kakak kelasku ada di barisan itu, termasuk Kak Gian. Selain itu, rata-rata anggota PPI Sendai yang perempuan berjilbab. Subhanallah ya :)
Aku jadi makin termotivasi untuk across the limit. Kalau kakak kelasku bisa kuliah di luar negeri, kenapa aku enggak? Kalau akhwat lainnya bisa istiqomah menuntut ilmu di negeri minoritas muslim sana, kenapa aku enggak?
Keinginanku untuk kuliah di luar negeri bukan perkara gengsi, atau sekadar supaya dipandang keren sama banyak orang. Tapi ini masalah batas dan pilihan. Jauh bertahun-tahun yang lalu aku memilih untuk meniadakan batas apapun dalam hidupku dalam meraih cita-cita, termasuk jarak. Dan saat ini, meski pilihan untuk kuliah di luar negeri belum sampai di depan mataku, dan bahkan belum mengambang 5 cm di hadapanku, aku tetap memilihnya.

Karena pilihan, meskipun belum ada dan belum nyata, bukan berarti kau tak bisa memilihnya. Kau hanya perlu menjemput pilihan yang telah kamu pilih itu. Jangan menyerah pada keadaan. Karena batas sesungguhnya usaha seorang manusia adalah keterbatasan itu sendiri.

Written by Anna Kumala