Mengalah (lagi?)
March 24, 2014
Pada akhirnya aku kalah lagi. Aku memang tidak pernah sanggup untuk membenci. Marah lama-lama, selain pada diriku sendiri. Biarlah. Biar akhirnya aku mengibarkan bendera perdamaian. Biar aku yang lagi-lagi mengucap maaf. Biar aku yang lagi-lagi mengawali interaksi.
Aku tidak mungkin membohongi diri sendiri. Aku tidak suka permusuhan, jadi apa itu salah?
Namun, benarkah itu alasannya?
Atau ternyata sebenarnya sejak awal aku memang tidak mau menyerah? Aku terlalu tertarik pada kasusmu. Aku terlalu heran kenapa hampir setiap orang mempertanyakan dan mengeluhkan hal yang sama. Kenapa mereka bertanya bagaimana orang sepertimu bisa tercipta? Kenapa mereka bertanya bagaimana bisa kau seakan tak punya hati? Kenapa mereka bertanya tentang apa yang sebenarnya ada di dalam kepalamu? Dan tambah herannya, mereka bertanya padaku, seakan aku tahu semua jawabannya. Aku terlalu ingin meluruskan persepsi orang-orang. Aku terlalu merasa nyaman disibukkan dengan membelamu di hadapan mereka. Aku terlalu sibuk mencoba menjelaskan bahwa kau bukan begini, tapi begitu. Bahwa kau pasti punya maksud. Bahwa kau punya prinsip sendiri. Bahkan aku pun pada akhirnya kembali, setelah maksud dan prinsipmu ternyata benar-benar menggoresku.
Aku hanya ingin menjadi temanmu, teman...
Teman yang entah apa kau mengerti maknanya. Aku hanya ingin berbagi pikiran denganmu seperti aku berbagi pikiran dengan teman-teman yang lain. Berbagi senyuman, seperti aku tersenyum pada yang lain.
Sepenuhnya aku paham, kamu berbeda. Dan entah apa itu karena kamu memang suka merasa berbeda. Sadarkah kau itu membuat posisimu juga jadi berbeda? Karena menghadapimu membuatku harus menguras bukan hanya tenaga, tapi juga sisi emosional, termasuk di dalamnya airmata (meski sungguh aku sangat jarang menangis bahkan untuk diriku sendiri).
Kau sepatutnya terharu. Aku tidak pernah sebegini inginnya berteman dengan seseorang, kamu kasus yang menarik dan berbeda. Berteman denganmu itu sulit. Tapi, sulitnya menyenangkan dan menghadirkan kenyamanan. Ya, yang masih membuatku bertahan hingga saat ini salah satunya adalah rasa nyaman berteman denganmu.
Aku tidak mungkin membohongi diri sendiri. Aku tidak suka permusuhan, jadi apa itu salah?
Namun, benarkah itu alasannya?
Atau ternyata sebenarnya sejak awal aku memang tidak mau menyerah? Aku terlalu tertarik pada kasusmu. Aku terlalu heran kenapa hampir setiap orang mempertanyakan dan mengeluhkan hal yang sama. Kenapa mereka bertanya bagaimana orang sepertimu bisa tercipta? Kenapa mereka bertanya bagaimana bisa kau seakan tak punya hati? Kenapa mereka bertanya tentang apa yang sebenarnya ada di dalam kepalamu? Dan tambah herannya, mereka bertanya padaku, seakan aku tahu semua jawabannya. Aku terlalu ingin meluruskan persepsi orang-orang. Aku terlalu merasa nyaman disibukkan dengan membelamu di hadapan mereka. Aku terlalu sibuk mencoba menjelaskan bahwa kau bukan begini, tapi begitu. Bahwa kau pasti punya maksud. Bahwa kau punya prinsip sendiri. Bahkan aku pun pada akhirnya kembali, setelah maksud dan prinsipmu ternyata benar-benar menggoresku.
Aku hanya ingin menjadi temanmu, teman...
Teman yang entah apa kau mengerti maknanya. Aku hanya ingin berbagi pikiran denganmu seperti aku berbagi pikiran dengan teman-teman yang lain. Berbagi senyuman, seperti aku tersenyum pada yang lain.
Sepenuhnya aku paham, kamu berbeda. Dan entah apa itu karena kamu memang suka merasa berbeda. Sadarkah kau itu membuat posisimu juga jadi berbeda? Karena menghadapimu membuatku harus menguras bukan hanya tenaga, tapi juga sisi emosional, termasuk di dalamnya airmata (meski sungguh aku sangat jarang menangis bahkan untuk diriku sendiri).
Kau sepatutnya terharu. Aku tidak pernah sebegini inginnya berteman dengan seseorang, kamu kasus yang menarik dan berbeda. Berteman denganmu itu sulit. Tapi, sulitnya menyenangkan dan menghadirkan kenyamanan. Ya, yang masih membuatku bertahan hingga saat ini salah satunya adalah rasa nyaman berteman denganmu.
Karena saat kita saling membuang tatapan ke arah lain ketika takdir mempertemukan pandang, ada bagian dari diriku yang merasa sangat salah. Karena beberapa hari kemarin, rasanya aku kehilangan sesuatu yang, kusadari atau tidak, berarti.
1 comments
Andri, ketua DKM yang paling keren. :)
ReplyDelete