Masih Adakah Ruang Dialog Publik?

October 29, 2017

BUMN goes to Campus: Baby shark lebih penting dari sesi tanya-jawab?

Sabtu lalu (28/10), memperingati hari sumpah pemuda ke-89, kampus saya kedatangan tamu dari Kementerian BUMN, WIKA (Wijaya Karya), dan Inalum. Perwakilan Kementerian BUMN yang hadir adalah Staff Khusus Ibu Rini Soemarno yang juga adalah alumni ITB ’84, Ibu Nana, sedangkan WIKA dan Inalum diwakili langsung oleh Direktur Utama masing-masing perusahaan. Format acara yang diadakan adalah upacara sumpah pemuda, kemudian dilanjutkan dengan acara seminar dengan Bapak/Ibu dari Kementerian BUMN serta WIKA dan Inalum sebagai pembicara.

Upacara bendera berlangsung mulai sekitar pukul 08.00 WIB selama kurang lebih satu jam di Lapangan Saraga ITB. Setelah itu, sekitar 1000 peserta melakukan mobilisasi ke Gedung CRCS ITB. Seminar dimulai kurang lebih pukul 09.00 WIB dibuka dengan sambutan dari Bapak Rektor ITB, Prof.Dr.Ir. Kadarsah Suryadi DEA dan para tamu undangan. Setelah sambutan seluruhnya disampaikan, seminar dimulai dengan dibuka oleh Ibu Nana selaku moderator.

Narasumber pertama adalah Bapak Bintang Perbowo, SE, MM, selaku Direktur Utama WIKA. Beliau menyampaikan mengenai sebesar apa perusahaan WIKA saat ini dan operasi apa saja yang dilakukan oleh WIKA. Setelah itu dilanjutkan oleh Bapak Budi Gunadi Sadikin yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Inalum, sekaligus dapat dikatakan sebagai Bos Holding BUMN di bidang pertambangan. Narasumber terakhir adalah dekan saya, Prof.Ir. Ade Sjafruddin M.Sc.,Ph.D., yang menyampaikan mengenai peran akademisi dalam pembangunan.

Seminar yang sangat menarik. Apalagi ditambah dengan hadiah-hadiah yang dipersiapkan panitia untuk para peserta yang mengikuti lomba kontes foto dan video.

Sayangnya, ada satu hal yang kurang dalam seminar ini. Satu hal yang sangat penting: sesi tanya-jawab. Dari sekian banyak materi menarik yang disampaikan oleh para narasumber, sayang sekali peserta tidak diberikan kesempatan untuk berdialog dengan para narasumber.

Saya sangat kecewa sebab alasan kekurangan waktu hanya digunakan untuk meniadakan sesi tanya-jawab saja, sedangkan sesi lain tidak. Panitia tetap membacakan pemenang lomba dengan bantuan video yang diulang-ulang, padahal cukup sekali diputar lalu dibacakan dan selesai. Begitupun dengan pengundi nomor yang harus diputar berulang-ulang padahal tidak perlu demikian. Belum lagi dengan sesi baby shark yang entah maksudnya apa ada di acara tersebut. Total waktu yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan tersebut seharusnya dapat setara dengan setidaknya satu atau dua pertanyaan di sesi tanya jawab.

Saya jadi ingat pengalaman beberapa waktu lalu. Saya menghadiri kegiatan Penguatan Nilai Pancasila yang diadakan oleh Unit Kerja Presiden Pancasila di IPB. Pada saat itu, saya berkesempatan untuk langsung berhadapan dengan yang terhormat Bapak Presiden Joko Widodo. Saya sangat berharap di sesi saat beliau berbicara, beliau bersedia menerima barangkali satu atau dua pertanyaan di dalam forum, bukan setelah forum selesai. Namun nyatanya, tidak sedikitpun peserta diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan.
Saya tidak mengerti ada apa dengan pemangku kebijakan kita hari ini. Apakah sebegitu sulit membuka dialog di hadapan banyak orang? Apakah sebegitu takut? Bukankah jika tidak merasa bersalah tidak perlu takut?

Padahal, saya berangkat pagi-pagi menuju kampus untuk bertemu dengan Bapak/Ibu dari BUMN bukan untuk duduk lalu baby shark, saya juga tidak mengharap hadiah jalan-jalan atau apapun itu. Saya datang untuk berdialog, bertanya, di hadapan kawan-kawan saya semuanya, bukan hanya antara saya dengan Bapak/Ibu saja dan itupun Bapak/Ibu terburu-buru untuk pergi. Saya hanya berharap bahwa ada kesempatan saya bisa bertanya, dan Bapak/Ibu menjawab, menjelaskan kepada kita semua.

Bagaimana cara agar di tengah pembangunan yang marak ini BUMN dapat menstabilkan modalnya?
Berapa total pekerja, terutama di PT WIKA dan PT Inalum dan apakah mereka memperoleh hak-hak yang layak sebagai seorang pekerja?
Bagaimana rencana pengembangan industri PT WIKA untuk menyokong kebutuhan bahan baku konstruksi di Indonesia?
Bagaimana skema divestasi 51% PT Freeport Indonesia?

Saya berharap bisa bertanya, mendapat jawaban, dan semua orang dapat mendengar jawaban tersebut. Namun sayangnya, saya tidak dapat melontarkan pertanyaan-pertanyaan di atas. Saya malah jadi bertanya-tanya, apakah masih ada ruang dialog publik untuk orang seperti saya yang mau bertanya pada pemangku kebijakan? Atau ruang dialog publik semacam itu hari ini sudah kalah dengan baby shark dan instagram photo contest?

You Might Also Like

0 comments