Belajar Berkata Tidak
September 05, 2016
Sudah lama aku ingin menulis tentang ini. Rentetan kejadian yang menurutku sangat memberikan pelajaran. Entah kenapa aku akhirnya menuliskannya hari ini.
Banyak orang bertanya, "kamu di kabinet jadi apa sih, Na?"
Pertanyaan yang selalu gagal untuk aku jawab. Mungkin karena aku hanya takut mengatakan atau karena aku saat ini memang tidak berada dimana-mana.
Kabinet adalah tempat yang akrab denganku sejak zaman TPB. Mulai dari zaman sospol dipegang oleh Luthfi Anshari sebagai sebuah kementerian, sampai saat ini sospol dipegang oleh Luthfi Muhamad Iqbal sebagai sebuah kemenkoan, aku selalu menjadi bagian dari Kabinet KM ITB.
Tapi tahun ini ada yang berbeda.
Dua orang temanku di zaman TPB dari Kementerian Sospol tahun ini sama-sama jadi orang penting di kabinet. Yang pertama menjadi menteri dan yang kedua menjadi pimpinan suatu direktorat jaringan. Kedua temanku itu berada di dua kemenkoan berbeda. Pada saat itu aku hanya ingin membantu sebab keduanya adalah temanku. Maka ketika yang pertama datang, aku dengan ragu namun berusaha yakin mengiyakan permintaannya. Aku berusaha meyakinkan diriku saat itu meskipun apa yang ditawarkannya benar-benar di luar hal yang biasa kukerjakan.
Saat yang kedua datang, aku bimbang menerima karena telah menerima tawaran yang satunya. Namun sebab merasa ingin membantu juga, aku juga mengiyakan namun menyatakan bahwa aku tidak ingin berada di struktur atau jabatan tertentu. Selain itu, aku pikir direktorat tidak akan begitu disorot seperti kementerian sehingga aku bisa berada di keduanya.
Selang beberapa hari setelah aku mengiyakan yang kedua, temanku itu tetaunya naik jadi menteri. Semua jabatan di direktorat langsung pindah ke kementerian. Pun aku.
Aku sejujurnya bingung harus apa. Aku takut meninggalkan salah satunya dan lalu kehilangan yang lain. Tapi saat aku menjalani keduanya, rasanya selalu ada yang salah. Selalu ada satu hal yang seharusnya aku pilih dan bukan keduanya.
Beberapa minggu aku menjalani peran di dua tempat itu. Berusaha mendoktrin diri tentang apa yang seharusnya aku lakukan, apa yang baiknya tidak aku lakukan. Aku mulai merasa atmosfer mengeruh, begitu keruh.
Lalu momentum itu datang.
Aku tidak berkata bahwa aku melakukan ini hanya untuk melepaskan diri dari keduanya. Aku hanya kemudian merasa bahwa mungkin ini cara Allah menolongku dari situasi yang meresahkan ini.Meski dengan kebimbangan dan takdir yang entah bagaimana disetting olehNya, aku terpilih menjadi Ketua Parade Wisuda Juli 2016 di bawah kemenkoan selain keduanya.
Yang satu, tanpa aku meminta, dia langsung melepaskan jabatanku. Lalu untuk membuatnya menjadi adil, aku lalu mengundurkan diri juga dari yang lainnya. Keduanya pada saat itu berstatus sementara. Tapi walaupun sementara, saat itu aku lega.
Selesai mengurus Parade Wisuda Juli, resah mulai menghampiri lagi. Menko yang membawahi wisuda meminta aku dan Ketua Parade Wisuda April untuk menjadi steering committee di Parade Wisuda Oktober. Di saat yang sama, aku harus mengonfirmasi kejelasan status ku di kedua kementerian yang sebelumnya.
Setelah kemudian berfikir panjang, aku akhirnya memutuskan untuk tetap mengurus wisuda (lalu untuk alasan pembelajaran soal isu dan advokasi, menko-ku menyarankan untuk mengais pembelajaran di MWA WM) dan melepaskan kedua kementerian itu. Aku mengirimkan pesan panjang kepada kedua temanku. Hanya satu yang membalas dan aku tahu kalau sejak saat itu sebenarnya aku telah kehilangan seorang teman.
Aku mencoba memahami kekecewaannya. Mungkin dia kecewa karena aku mengundurkan diri dari keduanya tapi masih sering mengikuti kegiatan-kegiatan dari kementerian satunya (yang sebenarnya menurutku meskipun aku bukan kabinet aku akan tetap mengikutinya), mungkin dia kecewa karena aku tidak membantunya sama sekali, mungkin dia kecewa karena dia pernah percaya dan pernah berekspektasi.
Aku tahu dia kecewa dan aku memang mengecewakan.
Itu sebabnya aku belum bernyali untuk menegurnya sampai detik ini, terlebih setelah dia menghapusku dari grup kementeriannya. Di entri ini aku ingin meminta maaf secara tidak langsung padanya. Sebab aku paham apa yang kulakukan ini sangat keterlaluan.
But I did learn something.
Aku belajar untuk benar-benar mempertimbangkan, "apa aku bisa menyelesaikan ini?" ketimbang hanya, "aku ingin membantu". Sebab orang seperti aku daripada butuh orang lain lebih butuh diri sendiri untuk bertahan atas tekanan dan cobaan atau apapun yang tidak kusukai dari sebuah situasi.
Lalu sebenarnya entri panjang ini adalah sebuah alasan. Alasan mengapa aku menolak tawaran seseorang sore ini. Tawaran yang sebenarnya sangat strategis, menggiurkan, dan sarat pembelajaran. Namun aku tahu aku tidak bisa. Dengan semua kesibukan MWA WM, kaderisasi pasif, dan Wisuda Oktober ini, aku harus melupakan betapa menggiurkannya pembelajaran dan memikirkan kemampuan untuk menyelesaikan.
Mulai hari ini, aku belajar bagaimana berkata TIDAK saat aku benar-benar harus mengatakannya.
Banyak orang bertanya, "kamu di kabinet jadi apa sih, Na?"
Pertanyaan yang selalu gagal untuk aku jawab. Mungkin karena aku hanya takut mengatakan atau karena aku saat ini memang tidak berada dimana-mana.
Kabinet adalah tempat yang akrab denganku sejak zaman TPB. Mulai dari zaman sospol dipegang oleh Luthfi Anshari sebagai sebuah kementerian, sampai saat ini sospol dipegang oleh Luthfi Muhamad Iqbal sebagai sebuah kemenkoan, aku selalu menjadi bagian dari Kabinet KM ITB.
Tapi tahun ini ada yang berbeda.
Dua orang temanku di zaman TPB dari Kementerian Sospol tahun ini sama-sama jadi orang penting di kabinet. Yang pertama menjadi menteri dan yang kedua menjadi pimpinan suatu direktorat jaringan. Kedua temanku itu berada di dua kemenkoan berbeda. Pada saat itu aku hanya ingin membantu sebab keduanya adalah temanku. Maka ketika yang pertama datang, aku dengan ragu namun berusaha yakin mengiyakan permintaannya. Aku berusaha meyakinkan diriku saat itu meskipun apa yang ditawarkannya benar-benar di luar hal yang biasa kukerjakan.
Saat yang kedua datang, aku bimbang menerima karena telah menerima tawaran yang satunya. Namun sebab merasa ingin membantu juga, aku juga mengiyakan namun menyatakan bahwa aku tidak ingin berada di struktur atau jabatan tertentu. Selain itu, aku pikir direktorat tidak akan begitu disorot seperti kementerian sehingga aku bisa berada di keduanya.
Selang beberapa hari setelah aku mengiyakan yang kedua, temanku itu tetaunya naik jadi menteri. Semua jabatan di direktorat langsung pindah ke kementerian. Pun aku.
Aku sejujurnya bingung harus apa. Aku takut meninggalkan salah satunya dan lalu kehilangan yang lain. Tapi saat aku menjalani keduanya, rasanya selalu ada yang salah. Selalu ada satu hal yang seharusnya aku pilih dan bukan keduanya.
Beberapa minggu aku menjalani peran di dua tempat itu. Berusaha mendoktrin diri tentang apa yang seharusnya aku lakukan, apa yang baiknya tidak aku lakukan. Aku mulai merasa atmosfer mengeruh, begitu keruh.
Lalu momentum itu datang.
Aku tidak berkata bahwa aku melakukan ini hanya untuk melepaskan diri dari keduanya. Aku hanya kemudian merasa bahwa mungkin ini cara Allah menolongku dari situasi yang meresahkan ini.Meski dengan kebimbangan dan takdir yang entah bagaimana disetting olehNya, aku terpilih menjadi Ketua Parade Wisuda Juli 2016 di bawah kemenkoan selain keduanya.
Yang satu, tanpa aku meminta, dia langsung melepaskan jabatanku. Lalu untuk membuatnya menjadi adil, aku lalu mengundurkan diri juga dari yang lainnya. Keduanya pada saat itu berstatus sementara. Tapi walaupun sementara, saat itu aku lega.
Selesai mengurus Parade Wisuda Juli, resah mulai menghampiri lagi. Menko yang membawahi wisuda meminta aku dan Ketua Parade Wisuda April untuk menjadi steering committee di Parade Wisuda Oktober. Di saat yang sama, aku harus mengonfirmasi kejelasan status ku di kedua kementerian yang sebelumnya.
Setelah kemudian berfikir panjang, aku akhirnya memutuskan untuk tetap mengurus wisuda (lalu untuk alasan pembelajaran soal isu dan advokasi, menko-ku menyarankan untuk mengais pembelajaran di MWA WM) dan melepaskan kedua kementerian itu. Aku mengirimkan pesan panjang kepada kedua temanku. Hanya satu yang membalas dan aku tahu kalau sejak saat itu sebenarnya aku telah kehilangan seorang teman.
Aku mencoba memahami kekecewaannya. Mungkin dia kecewa karena aku mengundurkan diri dari keduanya tapi masih sering mengikuti kegiatan-kegiatan dari kementerian satunya (yang sebenarnya menurutku meskipun aku bukan kabinet aku akan tetap mengikutinya), mungkin dia kecewa karena aku tidak membantunya sama sekali, mungkin dia kecewa karena dia pernah percaya dan pernah berekspektasi.
Aku tahu dia kecewa dan aku memang mengecewakan.
Itu sebabnya aku belum bernyali untuk menegurnya sampai detik ini, terlebih setelah dia menghapusku dari grup kementeriannya. Di entri ini aku ingin meminta maaf secara tidak langsung padanya. Sebab aku paham apa yang kulakukan ini sangat keterlaluan.
But I did learn something.
Aku belajar untuk benar-benar mempertimbangkan, "apa aku bisa menyelesaikan ini?" ketimbang hanya, "aku ingin membantu". Sebab orang seperti aku daripada butuh orang lain lebih butuh diri sendiri untuk bertahan atas tekanan dan cobaan atau apapun yang tidak kusukai dari sebuah situasi.
Lalu sebenarnya entri panjang ini adalah sebuah alasan. Alasan mengapa aku menolak tawaran seseorang sore ini. Tawaran yang sebenarnya sangat strategis, menggiurkan, dan sarat pembelajaran. Namun aku tahu aku tidak bisa. Dengan semua kesibukan MWA WM, kaderisasi pasif, dan Wisuda Oktober ini, aku harus melupakan betapa menggiurkannya pembelajaran dan memikirkan kemampuan untuk menyelesaikan.
Mulai hari ini, aku belajar bagaimana berkata TIDAK saat aku benar-benar harus mengatakannya.
2 comments
Hai Kak Anna, mungkin yang namanya takdir memang selalu ada jalannya, nyasar kesini karena mau cari tau soal materi AMI untuk tugas diklat calon panlap AMI 2017, tapi ternyata aku pernah merasa kenal kakak sebelumnya.
ReplyDeleteOh ini ketua Wisjul 2016.
Kebetulan ya?
Mungkin iya, mungkin juga nggak. Akhirnya karena rasa penasaran juga, aku mulai baca sebagian pos-pos kakak, dan Alhamdulillah banget dapat kenalan baru, kating di kampus yang sama, dan blogger. Yang terakhir penting banget disebut ya.
Well, sekalian mau komenin juga soal pos ini, entah kenapa kayak relate banget sama kegelisahan aku belakangan ini. Kayaknya perlu baca cerita di pos yang lain, tetap nulis ya, mungkin aku bakal jadi yang tersering baca cerita kakak disini hehe :)
Hai, Syifaa.. Maaf kan karena aku baru bales soalnya udah mulai jarang buka blog huhu.. Tetap mengunjungi yaa.. Insya' Allah aku akan tetap menulis :)
Delete