The moment you think that you've moved on and given that actually you stayed, you just somehow refused to look closely and decided not to pay any attention.
Waalaikumsalam.
Hai kawan, maaf baru saya baca dan bisa saya respon sekarang.
Okay I made you a post.
1. Pertanyaanmu ini agak menyindir ya, soalnya saya udah lama sebenarnya nggak menulis lagi. Banyak faktor sih. Mungkin karena kegiatan saya juga makin banyak dan pada akhirnya jarang menuangkan tulisan di blog ini lagi. Tapi kalau dulu, saya selalu menulis karena saya ingin menceritakan apa yang saya pikirkan dan rasakan untuk kawan-kawan saya dan diri saya di masa yang akan datang.
2. Paradigma soal hidup itu hanya bisa didapat dari hidup. Setelah kita melihat hal-hal dan merespon hal-hal dalam kehidupan. Caranya? Hidup, bukan hanya di dunia yang diciptakan oleh hegemoni, tapi dunia sebenar-benarnya.
3. Mau, insya' Allah. Saya nggak punya kriteria khusus sesungguhnya, siapa yang Allah tetapkan insya' Allah saya akan ikhlas dan mengusahakan yang terbaik yang saya bisa. Masalah waktu, dari sekarang saya udah minta, terserah Allah mau ngasihnya kapan. Hehe.
4. Yang saya lakukan ketika senggang adalah membaca dan/atau mencari teman diskusi. Karena narasi dan dialektika adalah jendela menuju dunia yang lebih luas dari apa yang kita tau selama ini.
Terima kasih sudah mengirimkan pertanyaan. Terima kasih sudah mau membaca tulisan-tulisan saya. Semoga bermanfaat.
Wassalam.
BUMN goes to Campus: Baby shark lebih penting dari sesi tanya-jawab?
Sabtu lalu (28/10), memperingati hari sumpah pemuda ke-89, kampus saya kedatangan tamu dari Kementerian BUMN, WIKA (Wijaya Karya), dan Inalum. Perwakilan Kementerian BUMN yang hadir adalah Staff Khusus Ibu Rini Soemarno yang juga adalah alumni ITB ’84, Ibu Nana, sedangkan WIKA dan Inalum diwakili langsung oleh Direktur Utama masing-masing perusahaan. Format acara yang diadakan adalah upacara sumpah pemuda, kemudian dilanjutkan dengan acara seminar dengan Bapak/Ibu dari Kementerian BUMN serta WIKA dan Inalum sebagai pembicara.
Upacara bendera berlangsung mulai sekitar pukul 08.00 WIB selama kurang lebih satu jam di Lapangan Saraga ITB. Setelah itu, sekitar 1000 peserta melakukan mobilisasi ke Gedung CRCS ITB. Seminar dimulai kurang lebih pukul 09.00 WIB dibuka dengan sambutan dari Bapak Rektor ITB, Prof.Dr.Ir. Kadarsah Suryadi DEA dan para tamu undangan. Setelah sambutan seluruhnya disampaikan, seminar dimulai dengan dibuka oleh Ibu Nana selaku moderator.
Narasumber pertama adalah Bapak Bintang Perbowo, SE, MM, selaku Direktur Utama WIKA. Beliau menyampaikan mengenai sebesar apa perusahaan WIKA saat ini dan operasi apa saja yang dilakukan oleh WIKA. Setelah itu dilanjutkan oleh Bapak Budi Gunadi Sadikin yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Inalum, sekaligus dapat dikatakan sebagai Bos Holding BUMN di bidang pertambangan. Narasumber terakhir adalah dekan saya, Prof.Ir. Ade Sjafruddin M.Sc.,Ph.D., yang menyampaikan mengenai peran akademisi dalam pembangunan.
Seminar yang sangat menarik. Apalagi ditambah dengan hadiah-hadiah yang dipersiapkan panitia untuk para peserta yang mengikuti lomba kontes foto dan video.
Sayangnya, ada satu hal yang kurang dalam seminar ini. Satu hal yang sangat penting: sesi tanya-jawab. Dari sekian banyak materi menarik yang disampaikan oleh para narasumber, sayang sekali peserta tidak diberikan kesempatan untuk berdialog dengan para narasumber.
Saya sangat kecewa sebab alasan kekurangan waktu hanya digunakan untuk meniadakan sesi tanya-jawab saja, sedangkan sesi lain tidak. Panitia tetap membacakan pemenang lomba dengan bantuan video yang diulang-ulang, padahal cukup sekali diputar lalu dibacakan dan selesai. Begitupun dengan pengundi nomor yang harus diputar berulang-ulang padahal tidak perlu demikian. Belum lagi dengan sesi baby shark yang entah maksudnya apa ada di acara tersebut. Total waktu yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan tersebut seharusnya dapat setara dengan setidaknya satu atau dua pertanyaan di sesi tanya jawab.
Saya jadi ingat pengalaman beberapa waktu lalu. Saya menghadiri kegiatan Penguatan Nilai Pancasila yang diadakan oleh Unit Kerja Presiden Pancasila di IPB. Pada saat itu, saya berkesempatan untuk langsung berhadapan dengan yang terhormat Bapak Presiden Joko Widodo. Saya sangat berharap di sesi saat beliau berbicara, beliau bersedia menerima barangkali satu atau dua pertanyaan di dalam forum, bukan setelah forum selesai. Namun nyatanya, tidak sedikitpun peserta diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan.
Saya tidak mengerti ada apa dengan pemangku kebijakan kita hari ini. Apakah sebegitu sulit membuka dialog di hadapan banyak orang? Apakah sebegitu takut? Bukankah jika tidak merasa bersalah tidak perlu takut?
Padahal, saya berangkat pagi-pagi menuju kampus untuk bertemu dengan Bapak/Ibu dari BUMN bukan untuk duduk lalu baby shark, saya juga tidak mengharap hadiah jalan-jalan atau apapun itu. Saya datang untuk berdialog, bertanya, di hadapan kawan-kawan saya semuanya, bukan hanya antara saya dengan Bapak/Ibu saja dan itupun Bapak/Ibu terburu-buru untuk pergi. Saya hanya berharap bahwa ada kesempatan saya bisa bertanya, dan Bapak/Ibu menjawab, menjelaskan kepada kita semua.
Bagaimana cara agar di tengah pembangunan yang marak ini BUMN dapat menstabilkan modalnya?
Berapa total pekerja, terutama di PT WIKA dan PT Inalum dan apakah mereka memperoleh hak-hak yang layak sebagai seorang pekerja?
Bagaimana rencana pengembangan industri PT WIKA untuk menyokong kebutuhan bahan baku konstruksi di Indonesia?
Bagaimana skema divestasi 51% PT Freeport Indonesia?
Berapa total pekerja, terutama di PT WIKA dan PT Inalum dan apakah mereka memperoleh hak-hak yang layak sebagai seorang pekerja?
Bagaimana rencana pengembangan industri PT WIKA untuk menyokong kebutuhan bahan baku konstruksi di Indonesia?
Bagaimana skema divestasi 51% PT Freeport Indonesia?
Saya berharap bisa bertanya, mendapat jawaban, dan semua orang dapat mendengar jawaban tersebut. Namun sayangnya, saya tidak dapat melontarkan pertanyaan-pertanyaan di atas. Saya malah jadi bertanya-tanya, apakah masih ada ruang dialog publik untuk orang seperti saya yang mau bertanya pada pemangku kebijakan? Atau ruang dialog publik semacam itu hari ini sudah kalah dengan baby shark dan instagram photo contest?
Sudah lebih dari sebulan berlalu, tapi selain saya melewati annual post, saya belum juga menulis tentang hari jadi saya ke-21. Biasanya, saya akan selalu menulis tepat pada harinya sebagai bentuk perenungan apa saja yang sudah saya lakukan selama saya hidup. Tapi kemarin sepertinya saya terlalu sibuk menjalani hidup itu sendiri ketimbang merenunginya.
Tidak banyak kata yang bisa saya keluarkan di pos kali ini. Sepertinya cukup gambar, untuk mewakili betapa penuhnya hari jadi saya ke-21 kemarin. Penuh dengan rasa syukur karena Allah SWT masih membiarkan saya bernafas bersama mereka yang saya sayangi, dan semoga selalu menyayangi saya.
Dua puluh satu mungkin adalah hari jadi terbaik saya sejauh ini :) Terima kasih atas doanya, saya belum pernah merasa disayangi seperti ini. Tidak lupa terima kasih kepada kawan-kawan yang edit-edit foto buat saya. Semuanya tersimpan di akun private saya dan selalu saya aamiin-kan setiap saya baca, Terima kasih, terima kasih <3 br="">3>
Tidak banyak kata yang bisa saya keluarkan di pos kali ini. Sepertinya cukup gambar, untuk mewakili betapa penuhnya hari jadi saya ke-21 kemarin. Penuh dengan rasa syukur karena Allah SWT masih membiarkan saya bernafas bersama mereka yang saya sayangi, dan semoga selalu menyayangi saya.
A Super Special Family Lunch Prepared by My Beloved Mom :) |
00.00 yang berlalu bersama mereka, walaupun mereka ngeselinnya luar biasa -_- |
My Very First "Surprise" Presented by Inkubasi Kajian and of course My Wamen :) |
Terima kasih, angkatanku! Kalian memang selalu yang terbaik :" |
Kiwi is my next "surprise" yang nggak "surprise" tapinya wkwkwk |
The most successful "surprise" was from Kak Ulya :" I was surprised |
Then, suarasa close it, sweetly |
Thanks! |
The Collage <3 td="">3> |
That Pict ._. |
Thanks Kak Dita! |
And the only my picture alone (with the gift and cake and pink-white balloons) |
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019) bercita-cita untuk dapat mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkeadilan, dalam konteks ini tentunya adalah untuk seluruh rakyat Indonesia. Dalam rangka mewujudkan cita-cita ini, Pemerintahan Jokowi-JK mencanangkan pembangunan infrastruktur besar-besaran, terutama dalam tahun 2017 dan 2018, tercermin dari Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dalam dua tahun tersebut.
Pembangunan yang dilakukan dan dipercepat (dengan dikeluarkannya Peraturam Pemerintah), diantaranya termasuk infrastruktur perhubungan, antarmoda, utilitas umum, dan kelistrikan. Pembangunan tidak hanya dilakukan di kota-kota besar, namun merata di seluruh nusantara agar pemerataan dapat terwujud.
Untuk mewujudkan cita-cita pembangunan ekonomi berkeadilan ini, seluruh pihak harus bergerak, secara bersama-sama, mendukung proyek-proyek yang dilakukan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai dan prinsip Bangsa Indonesia. Prinsip yang sangat penting dipertahankan diantaranya adalah supremasi hukum dan ekonomi kerakyatan. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam operasinya sangat penting memperhatikan kedua prinsip tersebut. Supremasi hukum akan mempertahankan praktik pembangunan yang memperhatikan kondisi sosial lingkungan. Sedangkan ekonomi kerakyatan akan mempertahankan praktik pembangunan yang merata ini tetap berkeadilan ekonomi dan sosial
BUMN pun berperan dalam menjaga pembangunan tetap berintegritas.
Agar BUMN dapat menjalankan perannya dengan baik, kita semua, terutama kawan-kawan pemuda harus terus mendukung. Sebab pembangunan bukan hanya tugas pemerintah, bukan hanya tugas BUMN, ini tugas kita.
#BUMNuntuknegeri
Cinta pertama datang bersama praduga dan rasa takut. Membawa setiap yang merasakan berkelana dalam pikirannya sendiri. Tenggelam. Atau terkadang berhasil berenang meski lelah mencari tepi yang tak jua ditemui.
Cinta pertama akan sulit diungkapkan. Tidak padanya. Pun tidak pada diriku.
Ia datang bersama penolakan luar biasa pada awalnya. Bahagia, namun cemas di saat yang sama. Ingin berhenti, namun mengerti bahwa sudah terlalu jauh untuk bisa berhenti.
Cinta pertama pada akhirnya mendesak untuk dikatakan. Ia ingin diungkapkan. Ia ingin lepas dan mengharapkan sebuah jawaban.
Namun, cinta pertama tak pernah sungguh-sungguh ingin dijawab. Ia akan menutup telinga rapat, dengan ketakutan, dengan kecemasan, dengan harapan yang tak tahu bergantung pada apa.
Lalu seraya waktu berlalu. Ia yang tidak pernah berani menerima jawaban akan membekas. Bekas yang cukup untuk menutup hati. Bekas yang cukup meniadakan yang kedua, apalagi ketiga keempat.
Cinta pertamaku.
Ia terlepas, bebas, namun tak pernah cukup kuat menerima jawaban, menerima penolakan. Maka inilah dia, mengganjal, tidak masuk, dan tidak membiarkan apapun masuk kesini.
Ke hatiku.
Membiarkannya tetap kosong untuk waktu yang lama. Sangat lama.
Cinta pertama akan sulit diungkapkan. Tidak padanya. Pun tidak pada diriku.
Ia datang bersama penolakan luar biasa pada awalnya. Bahagia, namun cemas di saat yang sama. Ingin berhenti, namun mengerti bahwa sudah terlalu jauh untuk bisa berhenti.
Cinta pertama pada akhirnya mendesak untuk dikatakan. Ia ingin diungkapkan. Ia ingin lepas dan mengharapkan sebuah jawaban.
Namun, cinta pertama tak pernah sungguh-sungguh ingin dijawab. Ia akan menutup telinga rapat, dengan ketakutan, dengan kecemasan, dengan harapan yang tak tahu bergantung pada apa.
Lalu seraya waktu berlalu. Ia yang tidak pernah berani menerima jawaban akan membekas. Bekas yang cukup untuk menutup hati. Bekas yang cukup meniadakan yang kedua, apalagi ketiga keempat.
Cinta pertamaku.
Ia terlepas, bebas, namun tak pernah cukup kuat menerima jawaban, menerima penolakan. Maka inilah dia, mengganjal, tidak masuk, dan tidak membiarkan apapun masuk kesini.
Ke hatiku.
Membiarkannya tetap kosong untuk waktu yang lama. Sangat lama.
Sudah lama saya ingin menulis tentang hal ini. Sudah lama saya gelisah.
Saya saat ini adalah seorang mahasiswa, seorang yang belajar di perguruan tinggi. Bahkan sebuah perguruan tinggi negeri yang cukup ternama di Indonesia. Tapi, entah mengapa saya mengalami ketidaknyamanan yang luar biasa.
Mungkin ini terkait pada siapa saya berguru. Mungkin juga terkait dengan siapa saya bertukar gagasan. Menyebabkan segala hal yang ada di hadapan saya begitu klise, begitu tinggi ego.
Kata UU No. 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, mahasiswa sedang dibentuk menjadi seorang Insan Akademis, seorang intelektual. Katanya mahasiswa adalah bagian dari civitas akademika yang turut menjalankan tridharma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat. Kata panitia waktu saya OSKM, dan kata panitia waktu saya osjur, mahasiswa punya peran sebagai iron stock, agent of change, guardian of value, dan social control.
Kata Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah proses pembudayaan. Kalau saya interpretasikan, pendidikan seharusnya menjadikan suatu bangsa lebih baik dari sebelumnya. Membebaskan bangsa dari kebodohan, mengentaskan kemiskinan.
Tan Malaka bilang, tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. Artinya, sungguh orang-orang berpendidikan akan menjadi sedemikian bijaksana untuk masyarakat bangsanya.
Bukankah dengan itu pendidikan menjadi sesuatu yang luar biasa menjanjikan?
Tapi nyatanya, sebagai seorang mahasiswa di institut ini, saya merasa tidak merasa sedang dibentuk menjadi seorang Insan Akademis. Saya merasa sedang dibentuk menjadi pekerja yang nggak boleh nanya kenapa, yang penting tahu bagaimana cara mengerjakan pekerjaan. Saya dikelilingi orang-orang yang protes ketika saya coba memperhatikan apa yang sedang terjadi dengan Indonesia, meskipun saya punya kapasitas untuk berkomentar.
Saya merasa dosen, pembicara seminar yang diadakan prodi, bahkan alumni, hampir semua mengarahkan kepada bagaimana caranya untuk bisa menjadi sukses dalam artian mapan secara materi. Hampir tidak ada yang bilang soal mengabdi atau keikhlasan. Berbeda sekali dengan apa yang diceritakan Bang Hokki tempo hari soal alumni institutku di zaman baheula.
Saya ingin sekali mendengar cerita seorang alumni institutku yang mengabdikan hidupnya untuk medidik masyarakat di wilayah 3T. Atau alumni institutku yang dengan penuh integritas beraksi diantara para elit memperjuangkan kebenaran demi masyarakat. Saya ingin mendengarnya bersama generasiku.
Agar generasiku mau berjuang bersama membebaskan bangsa ini dari kebodohan dan mengentaskan kemiskinan.
Saya saat ini adalah seorang mahasiswa, seorang yang belajar di perguruan tinggi. Bahkan sebuah perguruan tinggi negeri yang cukup ternama di Indonesia. Tapi, entah mengapa saya mengalami ketidaknyamanan yang luar biasa.
Mungkin ini terkait pada siapa saya berguru. Mungkin juga terkait dengan siapa saya bertukar gagasan. Menyebabkan segala hal yang ada di hadapan saya begitu klise, begitu tinggi ego.
Kata UU No. 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, mahasiswa sedang dibentuk menjadi seorang Insan Akademis, seorang intelektual. Katanya mahasiswa adalah bagian dari civitas akademika yang turut menjalankan tridharma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat. Kata panitia waktu saya OSKM, dan kata panitia waktu saya osjur, mahasiswa punya peran sebagai iron stock, agent of change, guardian of value, dan social control.
Kata Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah proses pembudayaan. Kalau saya interpretasikan, pendidikan seharusnya menjadikan suatu bangsa lebih baik dari sebelumnya. Membebaskan bangsa dari kebodohan, mengentaskan kemiskinan.
Tan Malaka bilang, tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. Artinya, sungguh orang-orang berpendidikan akan menjadi sedemikian bijaksana untuk masyarakat bangsanya.
Bukankah dengan itu pendidikan menjadi sesuatu yang luar biasa menjanjikan?
Tapi nyatanya, sebagai seorang mahasiswa di institut ini, saya merasa tidak merasa sedang dibentuk menjadi seorang Insan Akademis. Saya merasa sedang dibentuk menjadi pekerja yang nggak boleh nanya kenapa, yang penting tahu bagaimana cara mengerjakan pekerjaan. Saya dikelilingi orang-orang yang protes ketika saya coba memperhatikan apa yang sedang terjadi dengan Indonesia, meskipun saya punya kapasitas untuk berkomentar.
Saya merasa dosen, pembicara seminar yang diadakan prodi, bahkan alumni, hampir semua mengarahkan kepada bagaimana caranya untuk bisa menjadi sukses dalam artian mapan secara materi. Hampir tidak ada yang bilang soal mengabdi atau keikhlasan. Berbeda sekali dengan apa yang diceritakan Bang Hokki tempo hari soal alumni institutku di zaman baheula.
Saya ingin sekali mendengar cerita seorang alumni institutku yang mengabdikan hidupnya untuk medidik masyarakat di wilayah 3T. Atau alumni institutku yang dengan penuh integritas beraksi diantara para elit memperjuangkan kebenaran demi masyarakat. Saya ingin mendengarnya bersama generasiku.
Agar generasiku mau berjuang bersama membebaskan bangsa ini dari kebodohan dan mengentaskan kemiskinan.
Bukan hanya menghindarkan diri dari kebodohan dan mencegah diri agar tidak miskin.
Legal in Indonesia nowadays is being strong parameter to decide whether something is good or bad. But, unluckily, legal is not that supreme that it can be changed by governance easily. Actually, if our governance want to build an infrastructure that doesn't match the RTRW, they can easily make Perpres or PP that can force adaption for any regulation. It proves that legal is actually not supreme anymore.
Legally legal in Indonesia doesn't guarantee something is good for people.
So, if last night's conversation said that Meikarta is legally legal. I say, yes it's legal. But, is it good?
Legally legal in Indonesia doesn't guarantee something is good for people.
So, if last night's conversation said that Meikarta is legally legal. I say, yes it's legal. But, is it good?
The only relationship I have for people now is friend. What kind of friend? It depends on quality of conversations we have.
The risk of being so far away from parents since years ago is your parents have no idea of what you are involved with, just because you are too tired to explain it. Or let's say, you have explained it once, but they were not listening to you at all. They never even count you as someone that worth to be listened.
I thought everything will be fine, since I will always live separately from them. I thought everything will be fine, because in my vision, I have done nothing wrong. But, seems all my thoughts are wrong. Nothing is gonna be alright.
In time, everything will explode.
The bad thing is now appearing. One by one. Like raindrops.
Now, as the raindrops reach the ground, I have no idea how to tell why the rain come in the first place. Even if I'm sure that this rain is not bad at all, I'm afraid.
I'm afraid to tell because I'm not sure that my parents going to listen my explanation. I'm afraid to throw my self and having a conversation because I'm sure that it will be so one-sided, because they will not try to understand at all.
I'm afraid because I'm sure that if my parents know, then all my life will go so fast. Like the wind, and I'll never get it back.
I'll have to say goodbye, to the life that I love.
Unless there will be someone that can safe, both me and my life. Which is almost impossible.
Baru-baru ini saya menyadari betapa saya dikelilingi oleh orang-orang hebat. Saya yang saat ini sangat belum ada apa-apanya dibanding mereka yang sudah mengalami asam garam melihat dunia dengan beragam kacamata.
Saya merasa cuma disini-sini saja.
Dan kalau sedang underestimate seperti ini, saya jadi tiba-tiba semangat.
Saya merasa cuma disini-sini saja.
Dan kalau sedang underestimate seperti ini, saya jadi tiba-tiba semangat.
Menjadi yang tahu kadang tak lebih baik dari yang tidak tahu.
Yang tahu harus bisa mengatur informasi yang masuk sedemikian rupa agar tidak merusak suasana, merusak hubungan satu dengan yang lain, atau menimbulkan kekacauan yang tidak bisa dihindarkan.
Yang tahu kadang bingung sebab harus berpura-pura tak tahu, lalu senyap bersama pengetahuan hingga bungkam terasa berat.
Yang tahu kadang diam meski tahunya berimplikasi, meski kadang pengetahuan menyakiti ia yang tahu.
Yang tahu mati-matian menekan diri.
Sedang yang tidak tahu bisa melengang dengan nyaman tanpa beban. Tidak perlu merasa bersalah, tidak perlu merasa berdosa.
Asik bukan menjadi yang tidak tahu?
Yang tahu harus bisa mengatur informasi yang masuk sedemikian rupa agar tidak merusak suasana, merusak hubungan satu dengan yang lain, atau menimbulkan kekacauan yang tidak bisa dihindarkan.
Yang tahu kadang bingung sebab harus berpura-pura tak tahu, lalu senyap bersama pengetahuan hingga bungkam terasa berat.
Yang tahu kadang diam meski tahunya berimplikasi, meski kadang pengetahuan menyakiti ia yang tahu.
Yang tahu mati-matian menekan diri.
Sedang yang tidak tahu bisa melengang dengan nyaman tanpa beban. Tidak perlu merasa bersalah, tidak perlu merasa berdosa.
Asik bukan menjadi yang tidak tahu?
Kecuali untukmu yang tahu tapi berpura-pura tak tahu atau yang tak tahu tapi berpura-pura tahu. Ceritanya akan berbeda.
Mohon maaf, Bapak Ibu Anggota DPR RI.
Saya memang nggak sopan!
Saya memang nggak sopan!
Saya bukan siapa-siapa. Bukan dari keluarga pebisnis tersohor. Bukan juga anak pejabat.
Saya juga belum jadi siapa-siapa. Kuliah saya belum tamat, indeksnya juga biasa-biasa saja. Saya nggak punya pekerjaan, masih numpang sama orang tua.
Jadi, seharusnya saya nggak boleh protes apalagi sampai marah-marah.
Saya harusnya diam aja. Saya harusnya percaya saja ya sama Bapak Fahri Hamzah yang terhormat ketika Bapak bilang kasus korupsi KTP-el cuma kebohongan KPK. Bapak kan orang nomor 2 di dewan PERWAKILAN RAKYAT, Bapak wakilnya saya juga, harusnya saya percaya sama Bapak. [1]
Harusnya saya percaya saja ketika DPR RI membentuk pansus KPK dengan alasan investigasi. Walaupun anggotanya adalah orang-orang terduga korupsi, tapi kan mereka juga warga negara. Apalagi mereka itu perwakilan rakyat, nggak seperti saya yang orang biasa ini. Jadi harusnya saya menurut sama Bapak Masinton Pasaribu. Saya nggak boleh kejam-kejam amat sama mereka. [2] [3]
Mereka kan cuma lelah mengabdi sama rakyat, makanya minta sedikit tambahan dari uang rakyat nggak apa-apa kan? Lagipula saya memprotes apa sih, yang bayar pajak kan bukan saya, tapi orangtua saya. KTP-el saya pun ada dan prosesnya cepat. Saya kan tinggal di ibukota, jadi KTP-el saya cepat diurus, nggak seperti teman-teman saya di daerah. Harusnya saya nggak usah berlagak jadi korban korupsi segala.
Kejam amat sih saya. Walaupun terduga korupsi, mereka kan masih perwakilan rakyat. Boleh dong mereka menggunakan posisi mereka untuk balik menginvestigasi KPK. Jadi harusnya nggak masalah mereka jadi anggota pansus.
Saya juga seharusnya nggak usah sok-sok ngajak Bapak Ibu buat keluar menemui massa aksi segala. Seharusnya saya bersyukur diundang ke dalam ruangan Bapak Ibu yang dingin dan berkursi empuk. Walaupun untuk menemui rakyat, kalau keluar nanti saya bikin Bapak Ibu wakil rakyat yang terhormat kepanasan, kan keterlaluan namanya.
Saya seharusnya nggak ikut masuk ke ruang sidang sama kawan-kawan saya. Nggak ikut minta Bapak Ibu keluar menemui massa aksi, sampai mengancam akan melakukan publikasi media segala. Saya harusnya tahu diri, siapa sih yang mau percaya sama saya?
Saya lah yang seharusnya percaya dan ikut manut aja sama kalimat-kalimat Bapak Ibu yang terhormat kala itu di dalam ruangan. Walaupun diputar-putar, saya seharusnya percaya kalau itu adalah bagian dari penjelasan. Saya kan harusnya mendengarkan dan mengangguk-angguk setuju.
Mohon maaf, Bapak Ibu wakil rakyat yang terhormat. Saya dan teman-teman saya memang pantas diusir dari ruang sidang tersebut. Kami telah mengganggu waktu Anda yang berharga. Telah memaksa Anda keluar dari singgasana mewah menuju atap langit dan lantai aspal.
Kami betul-betul nggak sopan!
Tapi sesungguhnya, saya lebih suka menjadi nggak sopan dibandingkan menjadi anak baik yang seharusnya. Dan sepertinya, saya akan dengan terus menjadi nggak sopan, mohon maaf.
Ana,
Mahasiswa Nggak Sopan
Mahasiswa Nggak Sopan
[1] http://politik.rmol.co/read/2017/07/04/297828/Fahri-Hamzah:-Bohong-Itu-KPK-Bilang-E-KTP-Rugi-Rp-2,3-Triliun- dan cuplikan berita lainnya
[2] Full Video: http://bit.ly/DebatMahasiswaDPR
Tulisan ini juga dapat diakses di:
LINE Timeline https://timeline.line.me/post/_dfGP08MdZghxsAuJKAN2NDySVflSgCF4zBjNU7s/1149960601704017252
Kompasiana
Medium
Sebuah Catatan Seorang Anggota Parlemen
Jalanan
Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
-W.S. Rendra
Intelektual
adalah suatu kaum yang dapat melihat gambaran besar dari suatu permasalahan. Ia
berorientasi pada ide dan gagasan, serta senang sekali menguji gagasannya
dengan berdiskusi, semata-mata untuk memperoleh gagasan yang lebih baik dari
sebelumnya. Seorang intelektual akan merasa sangat tertarik membahas suatu
permasalahan tidak hanya dari segi keilmuan melainkan juga dari
pengetahuan-pengetahuan yang menurunkan ilmu tersebut.
Kaum
intelektual di kalangan pemuda dikenal "Insan Akademis" yang menjadi
tujuan perguruan tinggi menurut Bapak Pendidikan Indonesia, Moh. Hatta. Secara
spesifik, peran ini sesungguhnya merupakan peran mahasiswa yang belajar di
perguruan tinggi. Bahwa mahasiswa mengenyam pendidikan tinggi bukan hanya untuk
menjadi seorang lulusan siap kerja, melainkan menjadi seorang intelektual, ia
yang selalu mencari dan mencari permasalahan yang ada di sekitarnya dan
senantiasa menguji gagasan tersebut.
Sosial
Politik adalah salah satu sektor dimana seorang cikal bakal intelektual
berkecimpung. Diskusi dan kajian sosial politik membuat individu dapat melihat
gambaran besar suatu permasalahan dengan sudut pandang bahwa suatu ilmu adalah
bagian dari ilmu lain yang lebih besar. Misalnya, keilmuan teknik sipil tentu
tidak bisa lepas dari ilmu ekonomi yang menjadi sumberdayanya, ilmu hukum yang
menjadi penyokongnya, ilmu politik yang menjadi penentunya, serta ilmu sosial
yang mendasari terbentuknya ilmu tersebut. Hal-hal teknis sesungguhnya hanya
suatu bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar.
Satu orang
yang bergerak jauh lebih baik daripada sepuluh orang yang berpikir. Maka
diskusi, pembahasan, dan wacana alternatif tanpa adanya eskalasi tidak berarti
apa-apa. Ia hanya akan menguap ke udara lalu hilang tanpa bekas dan berakhir
tidak bermanfaat dengan yang lain. Eskalasi adalah proses pengangkatan suatu
isu agar wacana alternatif yang terbentuk tersampaikan dengan baik kepada pihak
yang berwenang. Proses eskalasi adalah juga bagian dari gerakan, malah bisa
dikatakan eskalasi adalah pokok dari gerakan itu sendiri. Eskalasi dilakukan
dengan strategi tertentu sesuai dengan wacana alternatif yang disampaikan.
Mei Momentum Mei
Mei adalah
bulannya gerakan. Dibuka dengan peringatan hari buruh tanggal 1 Mei, hari
pendidikan nasional tanggal 2 Mei, dan hari kebangkitan nasional tanggal 20
Mei. Hal ini membuat Bulan Mei dapat juga dikatakan penuh momentum. Dengan banyaknya
isu yang mencuat, dimana beberapanya telah diangkat dalam Surat Terbuka KM ITB
mengenai keserampangan pemerintah, tentunya KM ITB tidak bisa hanya berdiam
diri menyambut momentum emas yang ditawarkan oleh Bulan Mei. Ditambah lagi KM
ITB memiliki tanggung jawab menindaklanjuti ultimatum 90 hari yang tertera
dalam surat terbuka KM ITB.
Kemenkoan
Sosial Politik Kabinet Suarasa KM ITB bersama Presiden KM ITB 2017, Ardhi Rasy
Wardhana melakukan diskusi untuk mempersiapkan KM ITB menyambut momentum ini. Kami
memutuskan untuk melakukan aksi besar ke Jakarta di sekitar tanggal 19-21 Mei
2017, dekat dengan tanggal peringatan kebangkitan nasional (yang pada akhirnya
disepakati 19 Mei). Dengan dukungan tenaga sekadarnya sebab kami telah sampai
pada akhir semester dan dekat dengan ujian akhir, kami melakukan persiapan
gerakan massa.
Berbagai
persiapan aksi massa dilakukan, mulai dari mengolah konten, membangun jaringan
ke DPR MPR RI, konsolidasi dengan basis massa kampus lain, sampai propaganda
dan persiapan internal massa KM ITB.
Kemenkoan
Sospol mulai membagi peran masing-masing kepala dalam persiapan aksi ini. Saya,
Andriana Kumalasari SI’14, beserta Izzudin Prawiranegara TG’13 dan Akmal
Ramadhan MRI’13 mempersiapkan konten kajian dan bahan-bahan diskusi. Jaringan
eksternal, baik stakeholder maupun
basis massa kampus lain dikondisikan oleh Miqdam Furqany TA’13 yang selalu
didampingi si paling setia Chairin Chalila EL’15 dan dibersamai oleh sang
Presiden Ardhi Rasy Wardhana TA’13. Strategi dan eksekusi propaganda, serta
perangkat-perangkat aksi disiapkan oleh Ayu Nurhuda DI’13 bersama tim. Massa
aksi KM ITB dipanaskan dengan berbagai metode oleh anak-anak Jaka Satria GL’13,
yakni Gifari alias Biji FKK’15 didukung tenaga Ksatria Ganesha. Dan Menko
Wamenko kami, duo MTI Kurnia Sandi Girsang TI’13 dan Hamnah MRI’14, mengelola
kami semua sebagai sumberdaya.
Perjuangan
kami dimulai sejak persiapan aksi bersama buruh di tanggal 1 Mei 2017 dan
berlanjut hingga hari ini.
Pembuka: Bersama Buruh Turun ke Jalan
May Day yang jatuh pada tanggal 1 Mei
selalu menjadi momentum bagi para buruh untuk melakukan aksi turun ke jalan
bersama-sama menyampaikan aspirasi mereka. Sudah setidaknya empat tahun
terakhir KM ITB tidak pernah ikut menurunkan massa untuk aksi momentum ini.
Tahun ini,
KM ITB menurunkan massa ke Gedung Sate untuk aksi bersama buruh dengan membawa
tuntutan yang berbeda. Persiapan aksi ini bisa dikatakan cukup singkat, yakni
kurang dari seminggu. Bahkan perangkat lapangan disiapkan dalam waktu kurang
dari tiga hari.
Rencana aksi
ini dikabarkan kepada kongres KM ITB dan pimpinan-pimpinan lembaga di awal
minggu terakhir Bulan April. Aksi ini bertujuan selain untuk bersama-sama
menyampaikan aspirasi terkait buruh, juga untuk memberikan pembelajaran kepada
massa KM ITB terkait aksi. Selang satu dua hari setelah kabar rencana aksi
disampaikan, keluar draft kajian KM ITB ke massa kampus untuk direspon dan
disuarakan kepada perwakilan lembaga masing-masing.
Dua hari
sebelum tanggal 1 Mei 2017 dilakukan audiensi ke kongres KM ITB mengenai kajian
dan sikap KM ITB yang akan dirilis ke khalayak. Audiensi berjalan cukup lancar
dan dapat disepakati dengan catatan sebelum jam 12 malam hari itu. Setelah
audiensi, kongres meminta kabinet untuk mempersiapkan teknis lapangan aksi
beserta seluruh perangkat lapangannya. Kami menyanggupi permintaan kongres.
Malam
dinihari setelah audiensi kongres, kami menentukan perangkat aksi dan seluruh
logistik yang dibutuhkan. Said Fariz Hibban ME’14, Iban AsØ
singa ATMOSPHAIRA adalah koordinator lapangan kami untuk aksi hari buruh.
Secara instan, Iban menunjuk Komeng SI’14 sebagai komandan lapangan. Tim konten
mengolah revisi yang menjadi catatan ke kongres KM ITB, sementara Hamnah selaku
pemimpin tim personalia mempersiapkan rekrutmen terbuka massa aksi. Hari itu,
sehari sebelum aksi 1 Mei, kami menumpang di sekretariat HMS dan belum
meninggalkan kampus hingga menjelang shubuh.
Sehari
sebelum aksi, persiapan logistik, lapangan, dan massa aksi menjadi fokus untuk
hari itu. Massa aksi dikumpulkan dalam briefing
singkat di malam hari. Logistik dan lapangan sudah dapat dikondisikan di
malam itu sehingga kami tidak perlu pulang begitu larut. Pekerjaan yang sedikit
menunda kepulangan hanya pembuatan rilis media 1 halaman yang menyita waktu
kurang dari setengah jam.
Hari yang
ditunggu tiba. Seluruh massa aksi berkumpul di kubus pukul 7 pagi dan
bersama-sama march o march hingga
Gasibu. Ketika kami tiba di Gasibu, rombongan buruh dari berbagai penjuru
berdatangan dan melambaikan tangan pada barisan mahasiswa sambil meneriakkan,
“Hidup Buruh!”. Lalu kami para mahasiswa menyambut seruan tersebut. Sambil
menunggu barisan siap bergerak, kami mengobrol banyak mengenai bagaimana buruh
dari masa ke masa dan apa tuntutan yang dibawa oleh teman-teman buruh dari
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Sayangnya, saat barisan mulai menyatu
dan bergerak, saya harus mengalah hari itu menemani Lubbi Sabili Rusydi TM’14
mengurus logistik aksi, termasuk makan siang untuk massa aksi sehingga saya
cukup kehilangan momen.
Dalam aksi
ini, KM ITB ITB menyatakan
[3]:
1.
Menolak
outsourcing sampai adanya produk
hukum yang menjamin kesetaraan hak-hak buruh outsource dan buruh kontrak dengan buruh tetap.
2.
Menuntut
DPR RI membuat instrumen hukum baru yang memberikan efek jera kepada pelanggar
mengenai Keamanan, Kesehatan, dan Keselamatan Kerja untuk mengganti UU No. 1
Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja.
3.
Menolak
Peraturan Menteri Industri No. 466 Tahun 2014 Tentang Objek Vital Nasional
Sektor Industri sampai adanya pengkajian ulang penetapan objek vital nasional
sektor industri agar tidak mengekang hak-hak buruh dalam berpendapat
Massa aksi KM ITB kembali berkumpul pada
saat makan siang sambil berdiskusi mengenai aksi. Turut serta dalam aksi ini
kawan-kawan kahim Said Fariz Hibban (HMME “Atmosphaira” ITB), Galih Norma Ramadhan (HMP “Pangripta
Loka” ITB), David Yusuf Prabawa (MTI ITB), Muhamad Fahmi (HMS ITB), Fadly Erwil
Prasetya (HMTM “Patra” ITB), serta kawan-kawan senator Dwi Bintang Susetyo
(HMTM “Patra” ITB), Muthiah Salsabila (HMTL ITB), dan Ade Hilmy (HMM ITB).
Setelah
makan siang, kami kembali march o march menuju
kampus diiringi hujan deras yang membawa anarcho
menepi di selasar kampus.
Peserta Aksi Bersama Buruh |
KM ITB bersatu dalam barisan |
Spanduk pengganti, sebab yang asli hilang entah kemana |
Pemanasan Internal Kampus
Aksi buruh
hanya pembuka dari rangkaian eksalasi yang dilakukan oleh Kemenkoan Sospol. Muara
dari segala langkah yang dilakukan adalah aksi kebangkitan nasional yang
membawa tuntutan fundamental. Setelah massa KM ITB cukup panas dengan aksi,
Sospol melakukan pemanasan konten yang ingin diangkat, yakni mengenai Supremasi
Hukum dan Ekonomi Kerakyatan.
Di fase
awal, melalui aliansi kajian infrastruktur, kabinet mengadakan kajian mengenai
KCIC dan Reklamasi Teluk Jakarta yang merupakan studi kasus gagalnya penegakkan
supremasi hukum di Indonesia. Ditemani oleh sekretaris setia saya Nabilah
Kushaflyki TL’15, saya menghadiri diskusi di KMKL ITB dengan tuan rumah Aliansi
Infrastruktur KM ITB. Diskusi berjalan cukup dinamis. Kebetulan kami kehadiran
tamu dari media retorika kampus, yakni Mbak Lina yang saat ini sedang menempuh
studi S2 di ITB.
Undangan diskusi terbuka KCIC dan Reklamasi Teluk Jakarta |
Setelah
diskusi bersama aliansi infrastruktur, diadakan diskusi terbuka tiga hari
berturut-turut 9-11 Mei 2017 dengan tema supremasi hukum oleh Alvaryan Maulana
PL’10, ekonomi kerakyatan oleh Rihan Handaulah EL’04 dan Yorga Permana MRI’09,
dan penyimpangan tatanan bangsa oleh Hanief Adrian PL’03 dan A.H. Rasulino
FI’99.
Meskipun di
tengah-tengah masa Ujian Akhir Semester, massa kampus cukup antusias menghadiri
diskusi terbuka tersebut.
Selain
pencerdasan konten melalui diskusi terbuka, dilakukan juga pencerdasan melalui
kawan-kawan kahim. Rapim pertama yang saya hadiri dengan agenda pembahasan
konten untuk aksi kebangkitan nasional adalah rapat pimpinan spesial edisi
Jatinangor. Bersama Rio Pramudita MS’13 dan Fauzan Makarim TM’13, saya
berangkat ke Jatinangor, tepatnya menuju sekretariat HIMASDA ITB. Pembahasan
inti disana adalah mengenai aksi: mengapa aksi, apa tujuannya, apa yang ingin
dibawa, dan lain-lain.
Rapim Jatinangor |
Netizen |
Puncak
pencerdasan konten ke massa kampus dilakukan dengan mengadakan forum massa KM
ITB. Sebelum forum tersebut dilaksanakan, kabinet melepaskan draft buku kajian KM ITB ke massa kampus
untuk dapat dikritisi dan dibangun dengan lebih baik. Dalam forum itu
didiskusikan seluruh bagian konten dari mulai bagian kajian per bab sampai ke
poin-poin penyikapan dan narasi besar yang coba disampaikan dalam sikap ini.
Meskipun di tengah masa UAS, forum yang dilakukan di basement cc timur itu dihadiri oleh hampir 150 massa KM ITB.
Suasana forum massa |
Sebagian peserta forum massa |
Bersama
dengan pencerdasan konten yang terus berjalan, aksi dan propaganda menggunakan
metode-metode khusus untuk membuat aksi 19 Mei menjadi topik bahasan di penjuru
kampus. Propaganda juga mempersiapkan penyuasanaan media dan pembuatan
perangkat fisik aksi yang sangat meriah, mulai dari 2 bendera biru KM ITB,
baliho KM ITB yang kita lukis bersama-sama, panji KM ITB, dan bendera
pernyataan sikap.
Pensuasanaan dengan display picture |
Bersama melukis baliho KM ITB |
Penyuasanaan media |
Jaringan Eksternal Kampus
Bersamaan
dengan teman-teman konten, aksi, dan propaganda yang melakukan pemanasan di
internal kampus, tim jaringan membangun relasi dengan pihak-pihak luar kampus.
Pihak luar kampus bisa dibagi menjadi stakeholder
dan kampus lain.
Bersamaan
dengan momen keluarnya surat terbuka KM ITB Januari 2017 lalu, ada dua kampus
lain yang juga mengeluarkan pernyataan sikap dengan poin-poin yang serupa,
yakni UI dan UGM. Sebab aksi kebangkitan nasional ini juga berhubungan erat
dengan surat terkait, kami menghubungi kedua kampus yang bersangkutan untuk
ikut serta membawa tuntutan ini melalui aksi di tanggal 19 Mei ke gedung DPR
MPR RI. Namun, dengan diskusi yang cukup panjang, akhirnya hanya UI yang
menyatakan untuk ikut serta dalam aksi ini.
Main ke Kantin Takor UI |
Beberapa
kali diskusi dilakukan bersama teman-teman dari BEM UI terutama terkait dengan
konten, teknis lapangan, dan pejenamaan aksi. Sesekali kami yang berkunjung ke
Jakarta dan sesekali teman-teman BEM UI yang berkunjung ke Bandung. Koordinasi
yang kami lakukan bisa dikatakan cukup lancar pun pembagian peran untuk
masing-masing kampus. Teman-teman UI bersedia untuk mengurus perizinan ke
polisi dan mobil sound sebagai salah
satu logistik ciri khas aksi.
Hal yang
juga harus disiapkan adalah bagaimana penerimaan pihak DPR MPR RI terhadap aksi
ini. Maka kemudian tim jaringan, yaitu Miqdam dan Chalila dibekali mobil Rio
berangkat mengantarkan surat permohonan audiensi ke Gedung DPR MPR RI sekitar
seminggu sebelum eksekusi aksi. Selain itu, mereka juga berusaha menghubungi
pihak-pihak strategis dan menjalin hubungan dengan baik untuk komunikasi ke
depannya.
Audiensi dan Tuntutan
Berbagai
persiapan telah selesai dilaksanakan dan kami siap untuk menghadapi audiensi
kepada Kongres KM ITB yang dikepalai oleh Andi Setianegara MG’14. Audiensi
dilaksanakan siang hari 16 Mei 2017 mulai pukul 10.00 WIB (selepas saya ujian
terakhir). Audiensi meliputi sikap dan rencana teknis aksi 19 Mei 2017.
Audiensi ke Kongres KM ITB |
Audiensi
dapat dikatakan cukup lancar meskipun ke depannya ada hal yang kemudian menjadi
masalah yang cukup signifikan di akhir.
Berikut
adalah kalimat tuntutan KM ITB yang disepakati melalui mekanisme yang sesuai
dengan Konsepsi KM ITB, yakni oleh kongres KM ITB sebagai basis keterwakilan KM
ITB [3]:
Di saat eksekutif serampangan dan legislatif
entah dimana, MPR RI sebagai implementasi kedaulatan tinggi di tangan rakyat,
berdasarkan UUD 1945 Amandemen keempat, tidak memiliki hak untuk mengambil
tindakan apapun dalam menyikapi kondisi ini. Akhirnya,
permasalahan-permasalahan yang terjadi tidak kunjung menemui titik
penyelesaian. Rakyat hanya menjadi penonton, beberapa diantaranya menjadi
korban terdampak, dari permainan kekuasaan yang tengah dimainkan oleh para
elitis Negara Indonesia.
Melihat
kondisi Bangsa saat ini, kami, Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung,
menuntut,
1.
Kembalikan perekonomian Indonesia dari
ekonomi yang menjunjung kedaulatan pasar kepada Ekonomi yang menjunjung nilai
moral, kekeluargaan, dan gotong royong!
2.
Kokohkan Supremasi Hukum demi keadilan
rakyat, bukan hanya demi kepentingan konglomerat!
3. Perkuat
tugas, pokok, dan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
apabila Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tidak mampu untuk melaksanakan
fungsi check and balance terhadap Pemerintahan Presiden Republik Indonesia!
Apabila diperlukan Amandemen UUD 1945 Ke-5
demi mewujudkan tuntutan diatas, maka kami akan mendukung dengan terus mengawasi proses Amandemen UUD
1945 tersebut. Harapan kami, Bangsa Indonesia dapat mewujudkan cita-citanya untuk menjadi bangsa yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Untuk dapat
mewujudkan cita-cita tersebut, Bangsa Indonesia harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip yang terkandung dalam
konstitusi Negara Indonesia. Selain itu, bangsa ini membutuhkan pemimpin-pemimpin yang amanah dan konsisten
menjunjung prinsip-prinsip tersebut dalam rangka memakmurkan rakyat. Namun,
yang terpenting adalah seluruh Bangsa
Indonesia harus bergotong royong dalam rangka mewujudkan cita-cita yang
diamanahkan konstitusi.
Setelah
melalui audiensi, maka aksi tersebut telah disepakati dan rekrutmen terbuka
massa aksi dimulai. Jumlah pendaftar massa aksi tidak secepat ekspektasi, namun
masih dalam jumlah yang cukup banyak. Pada akhirnya massa aksi terdata sekitar
150 orang, baik yang berangkat ikut rombongan dengan bus, maupun yang
menggunakan kendaraan pribadi atau menyusul langsung di lokasi aksi.
Kongres juga
bertanya mengenai persiapan perangkat lapangan aksi. Kali ini Fadly Erwil
Prasetya TM’14 sang koorlap INTEGRASI ITB 2016 yang bertugas sebagai Koordinator
Lapangan. Pemaparan persiapan lapangan dilakukan, namun saya tidak dapat
menjelaskan dengan begitu rinci sebab saya tidak begitu terlibat dalam hal
terkait lapangan.
Suara Kontra
Ada satu
bagian yang tidak akan lupa saya ceritakan. Bagian yang tidak bisa tidak saya
pikirkan. Saya paham bahwa setiap gerakan pasti ada yang menolak. Setiap
positif pasti punya negatif, setiap kanan ada kiri. Namun tidak saya sangka
penolakan yang akan saya alami sekeras ini oleh teman-teman saya sendiri.
Singkat
cerita, sebuah komentar dilayangkan ke grup angkatan jurusan saya mengenai aksi
yang akan dilakukan KM ITB. Komentar mempertanyakan yang akhirnya saya respon
dengan maksud untuk memperjelas duduk perkara. Namun ternyata, komentar singkat
saya berakhir dengan chat-chat panjang kawan-kawan saya yang melakukan
penolakan aksi tersebut bahkan diantaranya dengan kalimat yang jauh dari
santun.
Awalnya saya
mencoba menyarikan poin-poin yang bisa dijadikan evaluasi dan berusaha
menjelaskan dari sudut pandang konten. Namun, ke belakang saya mulai merasa
bahwa penolakan ini bukan lagi tentang apa yang dibawa, tapi kontra terhadap
gerakan tanpa argumentasi dan pembelaan buta terhadap pihak tertentu tanpa
melihat poin dan konten yang dibawa apalagi konteksnya. Gelagat ini saya lihat
karena orang-orang yang mengomentari tersebut selain tidak mengikuti proses
sejak awal, juga menolak untuk benar-benar mencermati konten kajian 40 halaman
dalam Buku Kajian KM ITB [2].
Mereka
menolak untuk saya ajak berdiskusi tentang konten. Bahkan menutup telinga
ketika mengajak Ardhi berdiskusi tentang aksi ini. Padahal diskusi adalah
saling membuka pikiran masing-masing pihak sebagai pelaku diskusi, namun yang
terjadi adalah menutup telinga, labelling
negatif. Padahal, lawan saja ide dengan ide! Saya akan sangat terbuka dengan
wacana alternatif yang mereka tawarkan. Wacana alternatif yang terbuka matanya
akan sistem dan strategi dalam melalui sistem. Tapi kalau disuruh diam, saya
menolak.
Pada
akhirnya yang menjadi kalimat penghiburan bagi saya adalah jawaban Ardhi akan
cerita saya mengenai penolakan ini.
Na, perjuangan itu ngga akan mungkin semuanya ikut. Haters gonna hate. Galang yang bisa digalang kalo dia sepemahaman atau galang orang yang ngga sepaham tapi basis massanya besar. Kalo ngeladenin personal ngga akan ada pengaruhnya sama gerakan.
Ide dan
pemahaman. Mimpi. Pada akhirnya pada hal itu saya berpegang. Maka jika ada
diantara kawan-kawan yang mau memengaruhi saya, ajukan ide dan berikan saya
pemahaman, iming-imingi saya dengan mimpi yang saya miliki. Tapi jangan
sekali-kali minta saya diam atau membuat orang lain diam, tidak melakukan apa-apa
setelah saya tahu. Apalagi tanpa punya ide apa-apa.
Forum Bebas: Nasib Surat Kuasa
Sudah lama
sekali sejak terakhir kali Forum Bebas (Forbas) di lapangan basket diadakan.
Terakhir yang saya ingat sewaktu saya jadi panitia OSKM dan itu sudah dua
tahunan yang lalu. Di kesempatan ini, kami mengadakan forbas sebagai seremonial
pelepasan massa aksi oleh KM ITB. Di forum ini, semua berhak menanyakan apapun,
mengangkat topik apapun, sebanyak apapun.
Adanya
forbas dalam rangka aksi 19 Mei ini diharapkan dapat menghidupkan lagi budaya
forbas yang begitu hangat dan menggambarkan persatuan KM ITB. Meskipun tidak
banyak yang hadir, namun semoga forbas ini dapat mengawali forbas-forbas
lainnya. Menjadi salah satu metode Rio Pramudita MS’13 dan kawan-kawan untuk
mendinamisasi kampus.
Topik yang
cukup panas dibicarakan adalah terkait surat kuasa yang direncanakan menjadi gimmick pada saat aksi. Dicetak seperti
baliho dan dipasang di depan gedung DPR MPR RI.
Adanya surat
kuasa tersebut rupanya tersebar ke khalayak dan menuai pro kontra dimana-mana.
Lalu pada akhirnya setelah perdebatan yang panjang, kongres KM ITB tidak
menyetujui adanya surat kuasa ini meskipun sebenarnya keberadaan surat ini sudah sempat disinggung pada saat audiensi kongres. Bahkan kongres meminta Ardhi
meminta maaf kepada khalayak atas keluarnya surat kuasa tersebut. Keputusan
yang sejujurnya masih saya pertanyakan sampai hari ini. Namun saya terima
sebagai bentuk penghargaan saya terhadap sistem dan mekanisme yang terdapat di
KM ITB.
Menyanyikan lagu Indonesia Raya pada saat forbas |
Forbas
ditutup sekitar 23.30 WIB, lalu massa berpindah ke kubus dan memulai briefing.
Aksi, Orasi, dari Kahim hingga Para Srikandi
Poster pelepasan massa aksi |
Perjalanan
berlangsung tidak begitu cepat, namun tidak juga lambat. Kami siap di lapangan
parkir Senayan sekitar pukul 09.00 WIB dalam keadaan siap bergerak. Kami
melakukan long march dikawal oleh
Polisi dari lapangan parkir senayan ke depan gedung DPR MPR RI. Saya
berkesempatan mendampingi Iban memimpin seruan selama long march. Kami menyuarakan yel-yel buatan Iban dan lagu-lagu
perjuangan sepanjang perjalanan. Dengan gayanya yang luwes, Iban sangat membantu dalam menghidupkan suasana.
Sesampai
kita di depan gedung DPR MPR RI, para kahim membuka mikrofon dan menyuarakan
gelegar idealisme dalam kepala mereka sampai seruan sholat Jumat berkumandang.
Seusai sholat
Jumat dan makan siang, kami bergabung dengan rombongan UI dan meramaikan mimbar
bebas yang sesekali mengajak kita menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Hampir
semua orang berkesempatan bersuara, termasuk menko-menko kabinet dan beberapa
peserta aksi perempuan yang dipanggil para srikandi.
Bersamaan
dengan kami yang membuat keributan menyenangkan di depan gedung DPR MPR RI, tim
advokasi telah sejak pagi berkeliling bertemu dengan pihak-pihak yang berwenang
dalam rangka mengadvokasikan tuntutan. Miqdam, Izzu, dan Chalila telah dengan
lebih dulu sampai di Jakarta dua hari sebelumnya dengan difasilitasi mobil
Rifqi Febrian EP’15 sang danlap OSKM 2017. Mereka lalu bertemu dengan Ardhi dan
Saeful Mujab, Presiden BEM UI saat ini. Kelima orang tersebut bersama-sama berusaha
untuk dapat bertemu dengan Setya Novanto, Ketua DPR RI, namun beliau hanya
menjanjikan tanpa adanya follow up.
Sore
harinya, akhirnya kami mendapat kabar dari kelima orang terkait bahwa setelah
sedikit mengobrol dengan Bapak E.E. Mangindaan selaku Wakil Ketua MPR RI dan
memberikan buku kajian KM ITB, kami dijanjikan audiensi di Hari Senin, 22 Mei
2017 11.00 WIB dengan MPR RI terkait tuntutan yang kami bawa. Hasil yang sangat
kurang memuaskan untuk kami yang mengekspektasikan audiensi di tempat.
Meski hasil
yang diperoleh kurang memuaskan, setidaknya KM ITB berhasil menurunkan massa
mencapai lebih dari 150 orang. Jumlah terbanyak setidaknya sejak saya menjadi
mahasiswa di kampus ini. Dan aksi yang kami jalankan memperoleh apresiasi dari
para polisi yang mengawal aksi kami, karena berjalan tertib, tidak rusuh.
Berikut
beberapa dokumentasi keberjalanan aksi [4].
Berkumpul di lapangan parkir Senayan |
Iban sang komandan yel |
Malik Astar singa HMFT ITB |
Massa aksi tiba di depan gedung DPR MPR RI |
Barikade luar massa aksi |
Bergabung dengan massa aksi UI |
Fakhri Guniar menyampaikan orasi |
Anisa "JS" Azizah menyampaikan orasi |
Saya orasi juga dong :p |
Dita Amallya bersama massa aksi perempuan menyampaikan puisi "Ini Kondisi Perlu" karya Luthfi M. Iqbal |
Bersama para perempuan perkasa |
Wamenkoku tercinta, Hamnah |
Bersama Zum dan Kak Ayu |
Massa aksi Insan Cendekia |
Ketua Wisuda Juli dua generasi |
Bendera dikibarkan dari atas mobil sound |
Kemenkoan Sospol! |
Seluruh Massa Aksi 19 Mei 2017 |
Sekitar
18.00 WIB kami bertolak kembali ke Bandung. Setelah berhenti sebentar untuk
sholat dan makan malam di rest area, kami
tiba di kampus ITB sekitar pukul 23.30 WIB.
Audiensi Pasca Aksi
Saya mungkin
tidak dapat terlalu banyak bercerita tentang rangkaian kegiatan pasca aksi lantaran melakukan berbagai
persiapan menjelang kerja praktek (KP), termasuk mempersiapkan internal
kementerian saya untuk menghadapi ketiadaan saya selama beberapa minggu ke
depan. Terutama yang harus saya persiapkan adalah Wakil Menteri saya tercinta
yang luar biasa pengertian Nadia Gissma PL’15, sekretaris luar biasa yang
berhasil notulensi melalui rekaman Nabilah Kushaflyki TL’15 ditemani rekannya
Rany Lindiana STF’16, dan Manajer Personalia saya yang jomblo tapi populer
Anang Marjono SI’15. Mereka harus bisa bekerja baik dengan PJS yang saya pilih
Alief Irham FI’15. Maka saya hanya dapat menceritakan secara umum kegiatan yang
dilakukan. Namun jangan khawatir sebab kemenkoan sospol akan menceritakan
secara detail pada suatu kesempatan dengan suatu metode.
Petualangan pasca aksi meliputi diantaranya audiensi
dengan Wakil Ketua MPR Pak E.E. Mangindaan, mendapatkan kursi untuk dapat
bergabung dalam diskusi ahli pakar dalam Round Table Discussion dan audiensi
dengan Ketua MPR RI Bapak Zulkifli Hasan.
Di Hari
Senin, 22 Mei 2017, rombongan KM ITB dan BEM UI menuju kompleks Gedung
MPR/DPR/DPD RI, Gedung Nusantara III lantai 9 dan langsung bertemu dengan Wakil
Ketua MPR RI Pak E.E. Mangindaan, Pak Yana selaku kepala biro kajian MPR, Ibu
Elis selaku kabag staff Wakil Ketua MPR dan beberapa protokoler. Audiensi
dibuka dengan perkenalan dan dIlanjutkan dengan pemaparan tuntutan pada aksi 19
Mei 2017 oleh Ardhi Rasy Wardhana.
Wakil Ketua
MPR RI memberikan respon yang baik terhadap pemaparan dan tuntutan yang
disampaikan oleh Ardhi. Menyikapi tuntutan mengenai amandemen, beliau
menjelaskan bagaiman proses amandemen UUD NRI 1945 yang harus dilakukan secara
bertahap. Amandemen dilakukan sebagai upaya untuk membangun check and balance.
Audiensi
berjalan dengan lancar dan di akhir keberjalanan audiensi, KM ITB diundang
langsung kedalam Round Table Discussion
Lembaga Pengkajian MPR RI yang diharapkan dapat searah dengan tuntutan KM ITB
dalam aksi pada 19 Mei 2017. Selain itu, Pak E.E. Mangindaan memberikan buku
kajian dari Lembaga Pengkajian MPR RI kepada KM ITB yang berjumlah 12 buku
dengan topik yang berbeda-beda dan dapat diakses di Sekretariat KM ITB.
Audiensi dengan Pak E.E. Mangindaan |
Buku Kajian dari Lembaga Pengkajian MPR RI |
Selanjutnya,
KM ITB mengikuti Round Table Discussion pada
hari Selasa, 23 Mei 2017. Round Table
Discussion Lembaga Pengkajian MPR RI ialah suatu forum diskusi dengan para
ahli pakar yang bertujuan untuk mengkaji mengenai konstitusi yang kemudian
dapat diimplementasikan menjadi rumusan GBHN dan amandemen UUD apabila dirasa
perlu.
Round Table Discussion |
Perwakilan KM ITB dalam Round Table Discussion |
Audiensi dengan Pak Zulkifli Hasan |