Luwes Ber-KM ITB #2: Partisipasi Massa Rendah, Jangan Menyalahkan!

April 01, 2020

Suatu hari, ada mereka yang mengadakan forum diskusi, mengundang seluruh massa kampus, membuat sebuah ruang publik untuk kawan-kawan saling beradu gagasan. Lalu ternyata ada orang lain yang juga mengadakan forum dengan format kurang lebih sama, di hari dan waktu yang sama. Ketika acara dimulai, yang datang sedikit sekali dan lagi hanya berdiam menunduk sembari memainkan gawai. Akhirnya forum dimulai dan tak berapa lama selesai, mungkin tak sampai setengah dari ekspektasi durasi di awal.

Sebab forum selesai lebih awal, lalu manusia-manusia yang masih ingin diskusi dari forum yang pertama menghampiri forum lainnya, berharap ada diskusi yang lebih seru. Sayangnya, mereka cepat-cepat berjalan hanya untuk menemukan bahwa “forum lain” yang dibayangkan sebenarnya sudah terlebih dahulu bubar. Bahkan forum itu tidak dimulai karena dianggap tidak cukup banyak peserta. 

Akrab dengan kisah ini?

Saya sering sekali menemui peristiwa semacam ini di KM ITB. Sebagai mahasiswa yang cukup akrab dengan acara-acara terpusat KM ITB, saya bahkan pernah mengalaminya ditambah lagi kejadiannya jauh lebih parah setahun terakhir ini (2018-2019). Beberapa kawan yang baru saja mengalami hal semacam ini mengeluh, “Kenapa sih massa kampus? Padahal kita kan mengurus mereka, tapi partisipasi rendah begini.”

Jika pembaca ada di posisi kawan-kawan yang mengadakan acara, pembaca juga mungkin akan berfikir demikian. Kita ini manusia biasa, pasti punya lelah dan butuh diapresiasi. Namun, saya punya pandangan lain terkait hal ini.



Orientasi KM ITB

Di dalam Konsepsi KM ITB tahun 1998 yang terdapat di dalam arsip KM ITB (s.id/arsipKMITB), tersirat dan tersurat bahwa keberadaan organisasi kemahasiswaan terpusat bernama KM ITB ini adalah oleh karena kebutuhan. Berbagai macam kebutuhan yang dalam pandangan ideal dapat dijawab oleh KM ITB, baik yang dilatarbelakangi oleh semangat reformasi pada masa itu (1998) , dilatarbelakangi oleh dorongan dan upaya dalam mendidik diri sendiri , hingga kebutuhan yang dilatarbelakangi hanya oleh status sebagai mahasiswa, yakni kebutuhan dasar. Intinya, keberadaan KM ITB pada hakikatnya adalah untuk menjawab kebutuhan setiap anggota KM ITB, yakni mahasiswa S1 ITB. Hal ini bahkan dinyatakan secara jelas bahwa kewajiban KM adalah memenuhi kebutuhan seluruh anggotanya.

Dari hal yang saya sampaikan di atas, kita sepakat bahwa KM ITB ada untuk memenuhi kebutuhan anggotanya yang dimana di dalam dokumen Konsepsi KM ITB tahun 1998 didefinisikan dalam beberapa aspek.

Kemudian, meskipun KM ITB lahir untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa, namun orientasi dari KM ITB sendiri tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan saja. KM ITB memiliki semangat transformasi sosial masyarakat dan berjuang menata kehidupan bangsa. Seperti tertuang dalam Konsepsi KM ITB tahun 1998 bagian “Orientasi Organisasi” di halaman 5 berikut.

Organisasi kemahasiswaan harus mampu membentuk sosok utuh mahasiswa. Oleh karena itu organisasi kemahasiswaan harus mampu mewadahi ujud identitas dan aktualisasi peran mahasiswa. Untuk itu organisasi kemahasiswaan merumuskan orientasi dasar organisasinya sebagai berikut:

  1. Menjadi wadah pengembangan diri mahasiswa untuk membentuk lapisan masyarakat masa depan yang profesional, intelek, humanis, dan religius. Untuk ini dibutuhkan pembukaan wahana yang seluas-luasnya bagi partisipasi-aktif anggota sehingga semua aktivitas kemahasiswaan merupakan proses pembelajaran dan pemberdayaan seluruh mahasiswa.
  2. Mewujudkan karya nyata mahasiswa dalam perjuangan menata kehidupan bangsa. Untuk ini maka akar aktivitas mahasiswa, yaitu intelektualitas, kemandirian, dan kebenaran ilmiah harus benar-benar dijaga dalam roda gerak organisasi kemahasiswaan,
  3. Menjadi wadah bagi upaya pemenuhan kebutuhan dasar mahasiswa yang meliputi pendidikan, kesejahteraan, dan aktualisasi diri.

Ada sebuah cita-cita kaderisasi untuk masyarakat dan untuk Bangsa. Sebuah mimpi bahwa KM ITB dapat menjadi tempat “bermain” untuk mahasiswanya dan di dalamnya terjadi proses pembelajaran, pemberdayaan, serta pengembangan nilai-nilai intelektualitas, kemandirian, dan kebenaran ilmiah. Dari cita-cita inilah yang dalam pandangan saya turun menjadi budaya kajian yang masih disebut hingga hari ini, budaya berdialektika yang masih menjadi materi diklat untuk panitia OSKM ITB, dan hal-hal kultural lainnya baik yang masih ada, maupun sudah tinggal cerita.

Lalu apa hubungan dari poin-poin yang saya sampaikan dengan permasalahan partisipasi dan keluhan kawan-kawan di awal?


Kebutuhan yang Tak Lagi Dibutuhkan

Jika KM ITB ada untuk memenuhi kebutuhan anggotanya dan para pengurus KM ITB bergerak berdasarkan analisis kebutuhan anggota KM ITB, lantas mengapa partisipasi massa rendah dalam program yang dilakukan pengurus-pengurus KM ITB? Apa yang hilang sehingga permasalahan ini dapat terjadi?

Kebutuhan dasar mungkin adalah sesuatu yang melekat pada diri seorang mahasiswa. Selalu ada kecenderungan untuk membutuhkan pendidikan, kesejahteraan, dan wadah aktualisasi diri apabila status kita adalah mahasiswa. Namun kebutuhan lain yang disebutkan dalam Konsepsi KM ITB tahun 1998, seperti kebutuhan akan gerakan dalam segala aspek yang dilatarbelakangi oleh peristiwa reformasi atau kebutuhan akan wadah mendidik diri sendiri adalah kebutuhan yang lahir dari kematangan berfikir tertentu. Mengembangkan anggota atau kader KM ITB untuk berfikir sedemikian rupa dilakukan dengan kaderisasi, baik aktif maupun pasif. Begitupun dalam menurunkan semangat yang menjadi orientasi KM ITB juga dicapai dengan kaderisasi.

Sudah bukan rahasia jika beberapa tahun terakhir ini kaderisasi di KM ITB tidak berjalan dengan baik. Dapat terlihat dari symptoms yang terjadi, salah satunya krisis kepemimpinan dan minimnya pengetahuan mengenai KM ITB dari para pemimpin lembaga KM ITB. Saya tidak akan membahas kaderisasi dalam tulisan ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa implikasi dari buruknya kaderisasi adalah membuat hal-hal yang sebelumnya dikatakan sebagai kebutuhan saat ini tidak lagi menjadi kebutuhan. Massa KM ITB seluruhnya hari ini mungkin hanya sepakat bahwa pendidikan, kesejahteraan, dan aktualisasi diri adalah kebutuhan. Sebab tidak perlu ada kematangan profil tertentu yang dicapai untuk berfikir demikian, semua mahasiswa jika ia punya status mahasiswa maka akan merasa seperti itu. Kebutuhan lainnya? Entahlah.



Berhenti Menyalahkan!

Untukmu pengurus KM ITB yang mengadakan kegiatan lalu kegiatanmu sepi, janganlah menyalahkan massa kampus atas itu. Mungkin saja dirimu merasa bahwa kegiatanmu adalah demi menjawab kebutuhan massa, tapi kamu lupa mempertimbangkan kemungkinan bahwa massa tidak merasa apa yang kamu lakukan adalah kebutuhan mereka.

Sebagai pengurus KM ITB, orang yang saya anggap pemahamannya akan KM ITB sudah cukup baik, artinya memahami bahwa mengurus KM ITB pada hakikatnya adalah mewadahi seluruh anggota KM ITB. Selain memenuhi kebutuhan yang sudah dianggap sebagai kebutuhan oleh massa KM ITB, juga kini bertambah satu peran, yakni menyadarkan kepada massa KM ITB akan kebutuhan-kebutuhannya yang belum disadari. Tapi hati-hati, pastikan bahwa kebutuhan yang belum disadari itu sejalan dengan cita-cita KM ITB, bukan sejalan dengan cita-cita pengurus KM ITB saja. 

Saat ini, dalam pandangan saya adalah terlalu banyak pengurus KM ITB yang menyalahkan ketidaktahuan massa kampus tetapi mereka lupa berusaha melakukan penyadaran terlebih dahulu di awal. Ingin programnya ramai dan didukung penuh tetapi usaha untuk mewadahi massa ala kadarnya. Kejadiannya sekarang terlihat bukan seperti pengurus KM ITB ingin mewadahi massa kampus, tetapi seperti pengurus KM ITB ingin menjual program yang menjadi mimpinya dan massa kampus adalah pasarnya.

Berhenti berfikir bahwa massa KM ITB tidak menghargai apa yang kamu kerjakan. Bisa jadi mereka tidak tahu, dan kamu tidak seberusaha itu dalam memberikan mereka pemahaman. Sebagai pengurus KM ITB tidak seharusnya kita menyalahkan massa, tapi kita harus senantiasa mengevaluasi metode dan sejauh mana usaha yang sudah kita lakukan.

Sedikit bercerita, dulu di tahun 2016 ketika saya mencalonkan diri menjadi Ketua Parade Wisuda terpusat, saya berangkat dengan pemahaman bahwa saya tidak boleh mengharapkan partisipasi massa kampus, sebaliknya saya harus berusaha sekuat tenaga mewadahi massa kampus tanpa terkecuali. Maka meski masih calon, saya berangkat pada waktu itu mewawancarai para ketua himpunan, menyelami budaya arak-arakan masing-masing himpunan, apa yang membedakan himpunan yang satu dengan yang lainnya. Bahkan saya berangkat ke Jatinangor pada saat itu, meski harus terburu-buru selepas kuliah mengendarai sepeda motor seorang diri, saya berusaha tidak malas dan tetap berangkat. Karena bagi saya yang terpenting adalah tidak ada yang merasa dibedakan dari yang lain, terutama HMJ-HMJ yang ada di Jatinangor.

Saya yang hari itu memang belum matang secara pemikiran. Saya hanya berangkat dari rasa empati, saya memosisikan diri kalau saya adalah ketua himpunan, saya pasti akan sangat senang ketika calon Ketua Parade Wisuda terpusat mau mengetahui dan bahkan mewadahi budaya himpunan saya. Sesuatu yang sangat sederhana tetapi itikad yang sangat baik.

Begitupun setelah terpilih menjadi Ketua Parade Wisuda terpusat. Saya mendatangi ketua wisuda di masing-masing HMJ satu per satu. Bukan hanya membahas soal teknis saja, tetapi berbincang tentang apa ekspektasi mereka terhadap kepanitiaan terpusat.

Kemudian sebagai result saya kaget luar biasa karena di forum wisuda pertama, massa yang hadir mencapai lebih dari 100 orang. Bukan hanya ketua wisuda saja, bahkan beberapa ketua HMJ ikut mampir sejenak. Kemudian lucunya adalah forum yang sangat ramai tersebut selesai dalam waktu kurang dari satu jam, karena semua sudah satu frame.

Cerita ini adalah sebuah ilustrasi bahwa apabila kita berusaha dengan baik mewadahi massa dan melakukan pendekatan untuk memahamkan urgensi, maka massa pun akan dengan senang hati terlibat sebab mereka sudah sadar akan kebutuhan mereka.

Contoh lainnya yang pernah saya alami adalah ketika melakukan eskalasi untuk aksi kebangkitan nasional tanggal 19 Mei 2017. Sangat panjang rangkaian eskalasi yang Kabinet Suarasa lakukan sampai akhirnya bisa mendatangkan lebih dari 150 massa aksi. Jumlah massa aksi terbanyak setidaknya selama saya berkuliah di ITB. Instan? Tentu saja tidak! Ada usaha, ada tahapan, perlahan. Bukan memaksakan semuanya untuk memahami dalam waktu singkat.

Lalu apa yang terjadi jika kamu sudah berusaha sedemikian rupa namun partisipasi tetap rendah? 

Maka jadikan itu sebagai poin evaluasi dari organisasi kita KM ITB. Artinya ada permasalahan yang lebih mendasar dari itu dan kamu tidak bisa menyelesaikannya sendiri, melainkan harus bersama dengan massa KM ITB lainnya.

Jika kita sudah mau mengurus KM ITB, maka seharusnya kita sudah paham dengan kondisi KM ITB hari ini dan siap dengan segala konsekuensinya. Tidak mengeluh dan tetap berusaha saja. Namun, jika kamu sudah berusaha masih ada yang kurang tepat, maka bukan kamu masalahnya.

Artinya, kita sedang menghadapi masalah yang lebih besar dalam organisasi kemahasiswaan kita. Jangan ditutupi! Jangan dihindari! Mari kita hadapi masalahnya sebagai satu KM ITB! Sayangnya untuk mencapai keberanian itu, seseorang juga harus mencapai kematangan berfikir tertentu dan entah siapa dalam semesta KM ITB yang mampu memberikan kesadaran untuk kita mampu mencapainya.

Bandung, 22 Februari 2019
Andriana Kumalasari

You Might Also Like

0 comments