Luwes Ber-KM ITB #6: Surat Terbuka untuk Anggota KM ITB mengenai Referendum Penurunan Ketua Kabinet KM ITB

April 02, 2020

Konteks

Setelah selesai persoalan "menjadi koorpus padahal bilangnya tidak", KM ITB kembali dihadapkan pada persoalan "berangkat Judicial Review (JR) tanpa izin Kongres KM ITB". Dijatuhi memorandum pertama terkait JR Presidential Threshold (JRPT), rupanya persoalan masih terus berlanjut hingga memorandum kedua dan referendum penurunan Ketua Kabinet. Tulisan ini lahir tepat setelah Forbas bersejarah 4 Agustus 2018. Merupakan sebuah upaya dari tangan yang tak mampu lagi melawan, sebuah gambaran hati yang lemah karena sudah begitu lelah. Meski sebagian orang berfikir bahwa melalui ini saya ingin menjadi heroik, saya sudah tidak punya tenaga untuk peduli. Karena kaki ini bahkan sudah meronta ingin berhenti.



Kepada Seluruh Anggota Biasa KM ITB KM ITB merupakan organisasi kemahasiswaan terpusat mahasiswa S1 ITB . KM ITB yang hari ini berdiri lahir pada tahun 1998 atas prakarsapara ketua lembaga (HMJ dan UKM) pada masa itu, dan merupakan KM ITB yang sama dengan 1960. Organisasi ini berlandaskan Pancasila dan kebenaran ilmiah. Anggota KM ITB adalah seluruh mahasiswa S1 ITB tanpa terkecuali. Keanggotaan KM ITB secara otomatis diperoleh setelah menjadi mahasiswa S1 ITB tanpa melalui proses apapun.

Di dalam KM ITB, kedaulatan tertinggi berada di tangan seluruh anggota KM ITB dengan perwujudan kedaulatan itu adalah basis keterwakilan anggota KM ITB, yakni senator dari HMJ yang terkumpul dalam Kongres KM ITB. Meski secara formal Kongres KM ITB memegang kekuasaan tertinggi di KM ITB, namun ada sebuah mekanisme aktif informal yang dibenarkan untuk semua anggota KM ITB guna menjaga keideaIan di KM ITB.


Dengan dua paragraf itu saya akan membuka surat terbuka yang saya peruntukkan untuk seluruh keluarga saya sesama anggota KM ITB. Sudah dua semester terakhir, sejak PEMIRA KM ITB 2017 dimulai,saya melihat banyak sekali ketidakidealanyang terjadi di KM ITB.Sebelum hari ini,saya selalu merasa, dengan kerja keras kita dapat perlahan memperbaiki ketidakidealan itu, namun nyatanya tidak demikian sampai hari ini. Apalagi dengan kasus yang marak selama setengah tahun terakhir, mulai dari kasus Koorpus BEM SI, wawancara ketika aksi 19 Mei, JRPT, forbas KM ITB, sampai referendum yang kini sedang berproses. Kasus yang menurut saya adalah permasa lahan turunan dari sebuah masalah yang lebih fundamental.


Permasalahan Judicial Review Presidential Threshold (JRPT)

JRPT merupakan pemantik terkini dari kechaosan yang kini terjadi di KM ITB. Saya melihat dia bukan masalah utama,tapi memancing permasalahan lainnya bergejolak.

Jikalau banyak orang mempermasalahkan tanggal izin, audiensi, dan lain-lain, saya justeru melihat sesuatu yang lebih mendasar dari kasus ini. Saya melihat kasus ini agak serupa dengan pengambilan amanah sebagai koorpus BEM SI tempo hari, yakni kabinet bergerak sendiri tanpa adanya komunikasi kepada massa KM ITB, bahkan melalui elit sekalipun. Tidak sama sekali ada pelibatan massa untuk permasalahan yang secara nasional cukup sensitif.

Saya sepakat hal ini bisa diangkat, saya sendiri sejujurnya merasa sangat tidak sesuai ketika hasil PEMILU Legislatif 2014 digunakan sebagai "tiket" untuk PEMILU Presiden 2019. Namun, kita perlu sadari bahwa yang bertarung dalam permasalahan ini adalah entitas dengan kepentingan politis masing-masing sehingga sepatutnya mahasiswa yang ikut-ikutan dalam permasalahan ini membawa kajiannya sendiri agar independensi gerakan mahasiswa tetap terjunjung tinggi. Kabinet sepatutnya menyadari ini, begitupun Kongres KM ITB.

Permasalahan ini jadi serupa dengan perkara Koorpus BEM SI. Yang menjadi Koorpus BEM SI bukan hanya Kabinet, melainkan KM ITB. Sehingga sepatutnya massa dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan kesiapan massa serta sistem menjadi hal yang harus dominan dipertimbangkan. Bukan malah dorongan eksternal yang dijadikan pertimbangan. Sebab tentunya ketika KM ITB rnenjadi Koorpus, harapannya adalah bagaimana gerakan KM ITB terbawa keluar, bukan sebaliknya kita yang dipengaruhi. Maka tentunya kondisi internal harus sangat kuat. Sayangnya, pada masa itu keputusan demikian yang diambildan pada saat itu massa KM ITB sudah cukup dengan roadshow dan platform gerakan (yang pada akhirnya kurang berjalan juga hari ini, silahkan ditanyakan kepada pihak yang bersangkutan).

Kalau ada yang bilang seharusnya permasalahan koorpus sudah selesai dan tidak diungkit lagi, saya rasa tidak demikian. Sebab dengan meninjau lagi, kita jadi melihat bahwa ternyata kedua kasus ini sama, yakni ketidakfahaman mengenai persatuan, kesatuan, dan kedaulatan massa KM ITB. Atau, pun faham, tidah diimplementasi kan dengan baik. Dan saya rasa, ini perlu digarisbawahi, apalagi jelang PEMILU Presiden 2019. Kalau massa tidak diajak berkonsolidasi, lantas sikap KM ITB keluaran siapa?




Forbas KM ITB: Cerminan Matinya Kebebasan Substansial

Ya, saya akui ketika forbas kemarin saya begitu keras,sebab hara pan saya semua massa KM ITB juga bisa sekeras itu menyampaikan opininya sehingga terjadi dialektika yang konstruktif. Sayangnya, forbas kemarin tak ubahnya rapat pimpinan. Yang bicara hanya segelintir orang, yang punya opini memilih untuk nyinyir dari belakang tanpa berani bersuara.Yang berbicara dan beropini dijatuhkan oleh mereka yang tidak berani beropini.

Begitukah cerminan massa KM ITB hari ini? Nyinyir di Line Square begitu semangat, tapi di forbas bungkam. Benci dengan orang ya ng punya gagasan, tapi malah menuduh setting forum dan tidak punya gagasan tandingan. Forum jadi berlama-lama untuk sesuatu yang berputar-putar. Moderator hanya menampung aspirasi tanpa berusaha membantu mengambil kesimpulan.

Kemana kebebasan substansial yang selama ini dijunjung oleh KM ITB? Diajarkan di osjur-osjur, diklat OSKM, dan kaderisasi pasif lainnya? Apakah ia mati ditelan trend ad hominem? Tidak heran dan jangan protes kalau gerakan KM ITB selama ini jadi gerakan elit. Wong segitu banyak massa KM ITB yang hadir di forbas kok ya sepertinya yang bicara hampir semuanya ketua lembaga saja. Padahal kalau setuju ya suarakan, kalau tidak setuju ya suarakan. ltu toh esensinya forbas: kebebasan substansial individu.

Sangat disayangkan forbas kemarin gitu-gitu saja. Hasilnya apa? Menurut saya sih tidak ada, selain sumpah-sumpah dan kejelasan lembaga memaafkan atau tidak. Padahal seharusnya momentum itu bisa kita manfaatkan untuk perbaikan KM ITB secara besar-besaran, sayang sekali.




Turun vs Tetap: Wali Berafiliasi vs KM ITB Malu

Hasil dari forbas KM ITB pada akhirnya hanya: apakah lembaga memaafkan, tidak, atau memaafkan dengan syarat? Tanpa kemudian ada pembahasan: apa yang salah dan seperti apa kita memperbaikinya?

Di ranah publik bahasannya sudah menjurus dan secara umum terbagi ke dalam dua kubu: kubu yang ingin Wali turun karena menuduh ia berafiliasi dan kubu yang ingin dia bertahan karena menghindari ribet dan takut KM ITB malu. Terus terang saya kecewa dengan perkembangan isu di KM ITB ini. Sudah sebegitunya kah KM ITB hari ini jauh dari keidealan sampai-sampai K3M turun atau tidak yang dipertimbangkan hanya itu? Dimana letak Pancasila dan kebenaranilmiah yang katanya merupakan landasan KM ITB?

Padahal seharusnya daripada mempersoalkan Wali turun atau tidak, kita seharusnya mencari terlebih dahulu apa permasalahannya. Saya pribadi ingin sekali mengajukan pertanyaan: Apa yang terjadi dengan kaderisasi di KM ITB hari ini?

Seperti yang kita ketahui, Ahmad Wali Radhi lahir dari PEMIRA yang hasilnya legitimate meskipun prosesnya tidak ideal. Setidaknya hal ini menunjukkan bahwa banyak massa KM ITB yang percaya terhadap Wali pada saat itu. Sedangkan saat ini, kalau boleh saya katakan, kompetensi Wali sebagai seorang K3M sangatlah kurang, baik dari segi struktural, fungsional, dan kultural.

Berikut adalah beberapa dasar saya dalam mengajukan argumentasi tersebut.

  1. Secara struktural sebagai K3M, Wali kurang baik dalam mengelola kabinetnya sehingga salah satu Menkonya, yakni Said Fariz Hibban undur diri dengan rincian permasalahan yang disampaikan daIam suratnya.
  2. Secara fungsional sebagai pemimpin gerakan KM IT B, Wali kurang baik mengonsolidasikan massa KM ITB sehingga gerakan yang dilakukan cenderung merupakan gerakan sendiri atau kabinet saja, tercermin dari dua kali memorandum yang keduanya adaIah masaIah pelibatan massa kampus dalam gerakan atau peran dalam gerakan.
  3. Secara kultural sebagai seorang presiden bagi massa KM ITB, Wali kurang baik dalam memenuhi ekspektasi lembaga dengan kunjungan atau obrolan non formal, bahkan terhadap elit, seperti yang diutarakan pada saat forbas oleh para perwakilan Iembaga.
Dengan segala kekurangan tersebut di bulan ke-6 setelah ia dilantik oleh Kongres KM ITB, saya bertanya-tanya, lalu apa yang membuat dia bisa begitu banyak memperoleh suara dari massa kampus? Biar bagaimanapunia adalah K3M pilihan massa kampus sehingga apabila ada yang salah darinya, maka konsekuensi logisnya adalah ada yang salah dari massa kampus.

Wali adalah seorang anggota KM ITB, anggota HMJ, dan bahkan pernah menjadi ketua UKM. Artinya, Wali secara penuh menjalani berbagai kaderisasi di KM ITB. Kalau Wali hari ini sepert i ini, maka ada yang salah dengan kaderisasi kita.

Mohon maaf sebesar-besarnya, izinkan saya bertanya pada seluruh anggota KM ITB, seluruh anggota HMT ITB,dan seluruh anggota Gamais ITB,bagaimana kader bernama Ahmad Wali Radhi ini dibentuk? Dan kepada seluruh massa KM ITB yang memilih Wali, apa dasar kalian dalam memilih dia? Kompetensinya kah? Sentimen pribadi? Atau apa?

Apakah Wali yang saIah? Atau ternyata Wali sama sekali tidak bersaIah karena memang dia tidak dibentuk dengan baik? Lantas berarti apa ada yang saIah dengan kaderisasi di KM ITB? Apakah mungkin kaderisasi kita hari ini kehilangan nyawa? Apakah mungkin kaderisasi kita hari ini sudah tidak lagi mampu mencetak kader yang berkompetensi untuk menjadi pemimpin di KM ITB?

Menurut saya, KADERISASI adalah permasalahan yang harus diselesaikan, bukan lagi perkara memberikan kesempatan lagi atau tidak. Bagi saya, kekurangan K3M dan massa KM ITB hari ini bukan sesuatu yang harus dipertanyakan lagi tapi dicari solusinya. Entah apakah Wali diturunkan atau tidak, tapi yang terpenting dan yang pasti adalah kita harus memperbaiki sistem kaderisasi di KM ITB.

Menurut saya, yang harus dilakukan oleh Kongres KM ITB adalah membuat pembahasan dan perbaikan sistem itu mungkin untuk dilaksanakan agar masalah ini tidak berlarut-larut dan segera terselesaikan. Kalau Wali harus diturunkan agar supaya hal itu bisa dilakukan karena terkait proker yang telah disahkan, ya silahkan. Tapi kalau Wali dan Kabinetnya bersedia untuk kooperatif dalam perbaikan sistem kaderisasi ini dengan menyeleksi beberapa proker agar massa kampus dapat fokus dengan perbaikan sistem kaderisasi, ya silahkan juga.

Bagi saya konstrain seperti K3M berafiliasi dengan parpol, wajah KM ITB di mata eksternal, kasihan karena Wali orang baik, tidak akan konstruktif untuk masalah KM ITB ini. Sebab kalau kaderisasi di internal KM ITB kuat,ya independensi gerakan KMITB pasti akan dapat terjaga. Kalau kita nggak benahisekarang,siapa yang jamin tahun depan KM ITB nggak lebih malu dihadapan eksternal. Lha ya terus kalau Wali orang baik kenapa? Baik atau jahat tidak berkorelasi langsung dengan bisa memimpin orang lain atau tidak. Banyak kok kejahatan yang terkoordinir dengan balk, seperti banyak juga kebaikan yang tidak bisa mengoordinasi diri.

Yang saya ingin katakan adalah, ayo kita memperbaiki KM ITB bersama-sama! Tinggalkan semua jabatan dan pride untuk sama-sama berjuang bagi KM ITB. Jadi, saya mengajukan kepada seluruh anggota KM ITB terutama yang berwenang, Kongres KM ITB, untuk mengadakan forbas lainnya sebelum penarikan aspirasi referendum. Forbas yang bertujuan,bukan untuk membahas Wali harus turun atau tidak,namun membahas masalah kaderisasi di KM ITB, solusi yang dapat dilakukan, dan konsekuensi yang harus dijalankan. Sehingga pun apabila Wall atau kabinet harus turun, jadikan itu sebagai langkah dalam perbaikan sistem kaderisasi KM ITB, bukan atas kemarahan tak berdasar atau menghasilkan masalah lainnya.

You Might Also Like

0 comments