Luwes Ber-KM ITB #5: Jika Aku Presiden KM ITB

April 02, 2020

Konteks

Tulisan ini ditulis untuk publik sebagai respon dari rilis yang dikeluarkan oleh Presiden KM ITB (sebelum diturunkan) pada saat itu, yakni Ahmad Wali Radhi (TA'14). Wali pada saat itu sedang dipermasalahkan oleh KM ITB karena membohongi massa KM ITB dengan menyetujui KM ITB ditunjuk menjadi Koordinator Pusat (Koorpus) Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), pada saat Musyawarah Nasional (Munas) BEM SI tahun 2018.

Sebelum berangkat Munas, Wali memberikan pernyataan bahwa dia tidak akan menerima jika ditunjuk menjadi Koorpus. Kenyataannya, ia ingkar janji.



Sudah beberapa hari terakhir ini kampus ITB diramaikan dengan isu “Tiba-tiba ITB jadi Koorpus”. Banyak orang bertanya bagaimana komentar saya mengenai perkoorpusan ini. Tapi saya enggan berkomentar karena khawatir apa yang saya katakan malah memanaskan situasi yang sudah panas dan menurut saya hal tersebut tidaklah bijaksana.

Tapi, rilis yang dikeluarkan Wali hari ini membuat saya merasa perlu memberikan komentar. Bukan sebagai salah satu orang yang disebutkan Wali dalam rilisnya, melainkan sebagai seorang anggota KM ITB yang punya hak dalam menyampaikan pendapatnya.
Biarkan saya melakukan sebuah pengandaian, “Jika saya adalah seorang Presiden KM ITB”.
Jika saya adalah Presiden KM ITB, saya akan sangat memahami bahwa menjadi koordinator terpusat aliansi BEM SI adalah sebuah peluang yang tidak datang setiap tahun dan luar biasa kekuatannya. Dengan menjadi koordinator pusat, KM ITB dapat membawa nafas gerakan yang segar dalam gerakan kemahasiswaan nasional. Maka untuk menyambut kesempatan yang baik ini, saya akan sangat amat mempersiapkan infrastruktur untuk menyokong KM ITB yang saya pimpin untuk dapat memimpin gerakan kemahasiswaan nasional. Karena sebuat kesempatan besar tentunya tidak datang tanpa konsekuensi dan tidak bisa disongsong tanpa adanya persiapan matang.

Saya akan dengan baik mempersiapkan:

  1. Diri saya.
    Jika saya benar-benar menjadi koorpus BEM SI, saya akan banyak tidak berada di kampus. Saya tidak akan mungkin bisa kuliah sehingga saya harus cuti, saya pasti akan sering berkeliling Indonesia, minimal ke sepuluh wilayah naungan BEM SI untuk menghidupkan gerakan BEM SI sesuai yang saya canangkan. Tak terhitung jumlah undangan yang harus saya hadiri atas nama BEM SI sehingga pasti sesedikit itu waktu yang saya miliki untuk beristirahat. Selain itu belum lagi setiap perkataan saya pasti akan diperhatikan dan disoroti, bahkan bukan mustahil bisa menjadi headline seperti kartu kuningnya Zaadit Taqwa.
    Dengan semua hal itu tentu saya harus siap: waktu, tenaga, pikiran, dan kekuatan mental.
  2. Kabinet saya.
    Sudah saya katakan bahwa saya tidak akan memiliki banyak waktu luang, termasuk untuk mengurus Kabinet dan KM ITB. Oleh karena itu, saya harus mempersiapkan kabinet saya sebaik-baiknya. Kabinet saya tidak boleh memiliki konflik internal, harus siap mendukung keputusan saya dan memiliki semangat yang luar biasa untuk mengabdi kepada KM ITB. Saya tidak akan ada untuk menemani mereka sehingga mereka masing-masing harus kuat dan saling menguatkan. Badai dan terpaan tidak datang hanya dari luar, tapi juga dari dalam. Oleh karena itu, mereka harus punya kekuatan dan keyakinan yang sama besarnya dengan saya bahwa semua pengorbanan ini semata-mata demi mengidupkan nafas gerakan di nasional melalui aliansi BEM SI.
  3. Sistem KM ITB.
    Satu hal yang tidak akan pernah saya ingkari adalah sistem KM ITB itu sendiri. Kongres sebagai perwujudan kedaulatan tertinggi di KM ITB harus siap bertindak tegas dan dewasa dalam mengawal saya sebagai Koorpus BEM SI kelak. Mengaudiensi atas dasar gagasan dan konten, bukan kemudian untuk menumpulkan semangat gerakan. Kongres KM ITB juga harus berkomitmen terhadap massa yang mereka wakilkan bahwa mereka akan memberikan sebaik-baiknya usaha yang tidak kalah kuat dari saya dan kabinet saya.
  4. Massa Kampus.
    Elemen terakhir dan yang terpenting adalah dukungan massa kampus. Tidak ada perlawanan terbuka untuk kemudian menghancurkan wacana gerakan sebagai akibat dari ketidaktahuan. Menaruh kepercayaan besar kepada elemen-elemen yang memimpin KM ITB karena kepercayaan itu telah ditumbuhkan. Pun ada suara-suara sumbang penentang gerakan, tidak lain dan tidak bukan sebagai penyeimbang untuk mempertahankan niat dan tujuan gerakan, untuk mempertahankan kemurnian substansi.
Keempat hal tersebut pasti saya persiapkan sebaik-baiknya. Karena bagi saya, untuk dapat kokoh menghadapi guncangan eksternal, saya harus memperkuat KM ITB, sebuah “negara kesatuan” yang berada di bawah kepemimpinan saya.

Untuk mempersiapkan keempat hal tersebut, saya akan mengokohkan diri saya, mengokohkan orang-orang yang berjuang bersama saya, dan barulah setelah itu mengais kepercayaan kongres KM ITB dan massa kampus agar mau secara dewasa menerima dan berjuang bersama saya.

Membutuhkan proses yang panjang dan melelahkan. Tapi untuk suatu kesempatan yang besar, bagi saya itu adalah sebuah keharusan.

Jika saya adalah Presiden KM ITB, saya akan meletakkan tanggal 17 Februari, yaitu hari Munas BEM SI besar-besar di kamar saya sebagai sebuah pengingat. Bahwa tanggal tersebut adalah tanggal yang penuh dengan potensi. Pun saya belum tahu tanggalnya, saya pasti sudah bisa memperkirakan kapan agenda tahunan tersebut akan dilaksanakan.

Lalu berminggu-minggu sebelumnya, waktu saya pasti akan habis untuk mempersiapkan keempat hal yang saya sebutkan sebelumnya, sampai saya mungkin tidak punya waktu tidur. Saya akan mengusahakan sebaik-baiknya untuk membukakan mata semua orang akan potensi besar ini.

Lalu apabila kemudian Kongres KM ITB menyatakan ketidaksetujuan, saya akan meminta adanya forum bebas untuk kembali meyakinkan massa kampus betapa saya sudah sangat bersiap untuk menyongsong peluang ini, betapa kabinet saya sudah sangat kuat untuk dapat mengambil kesempatan tersebut. Dan di tangan ITB, BEM SI tidak akan biasa-biasa aja. Di tangan KM ITB, BEM SI akan menjadi luar biasa.

Namun, jika setelah usaha terakhir tersebut saya masih tidak memperoleh lampu hijau dari massa kampus. Maka saya akan memutuskan tidak mengambil kesempatan tersebut dan meminta seluruh massa kampus yang menolak untuk berkomitmen mendukung KM ITB membuat sebuah poros gerakan sendiri. Menunjukkan bahwa tanpa melalui aliansi sekalipun, kita akan tetap luar biasa.

Meski saya telah lelah berusaha, saya tidak akan pernah berpaling dari orang-orang yang mengangkat saya sebagai pemimpin mereka. Dorongan eksternal tidak akan membuat saya goyah dan meninggalkan keluarga saya sendiri, Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung, apalagi saya adalah kepala keluarga mereka.

BEM SI, sekuat apapun itu, hanyalah sebuah aliansi gerakan, saya dan KM ITB yang saya pimpin selalu punya pilihan untuk menolak desakan eksternal. Sebuah potensi, apabila saya mempersiapkannya dengan baik, namun akan menjadi sebuah ancaman apabila dipersiapkan secara sembarangan. Sebab bagi saya, ini bukan masalah “kalau tidak suka, ubah, jangan kabur”. Masalahnya dalam mengambil keputusan bukan hanya diri saya yang harus dipertimbangkan, melainkan belasan ribu lainnya yang harus mau bekerja keras bersama saya.

Jika saya adalah Presiden KM ITB, saya tidak akan mengambil kesempatan tersebut tanpa persiapan. Karena hal tersebut sama saja saya bertempur ke medan perang tanpa senjata, dan kekalahan saya dapat dipastikan. Belum lagi saya mungkin tidak akan punya banyak pasukan, sedang pasukan yang ada pun mungkin tidak sekuat yang saya harapkan.

Itu kalau saya adalah Presiden KM ITB.

Tapi, saya bukan.

Saya hanya bisa berceloteh tentang keidealan dalam imaji saya. Mungkin di kolom komentar akan banyak tubir, “kalau gitu kenapa dulu nggak jadi Presiden aja?”, “bisanya ngomong doang, Na”, atau komentar lainnya yang memojokkan saya. Saya tahu, tapi hal itu tidak lantas menghentikan saya untuk menyampaikan ini.

Bukankah seluruh anggota KM ITB adalah garda terakhir KM ITB itu sendiri?

Bandung, 25 Februari 2018
14.46 WIB
Anggota biasa KM ITB,
Andriana Kumalasari

You Might Also Like

0 comments