#AMI2016stories Bagian 1: Memilih Takdir
April 07, 2016
Sudah lama ingin bercerita tentang yang satu ini. Tapi entah mengapa baru sekarang saya akhirnya benar-benar menulis. Beberapa bulan sebelum tanggal 7 Februari, saya terlibat dalam suatu kepanitiaan terpusat berskala besar: kepanitiaan AMI 2016.
Rangkaian entri dalam label ini bukan evaluasi, atau bagian dari laporan pertanggungjawaban, atau cerita untuk membuka buku putih. Ini adalah tulisan yang saya buat untuk mengungkapkan apa yang saya dapatkan selama perjalanan setengah tahun ke belakang.
Saya memulai perjalanan ini 8 September 2015 ketika pertama kali saya mendapatkan sebuah pesan dari Kak Auliya Nur Amalina (Ana) berupa tawaran untuk menjadi Ketua Divisi Education Fair (Edufair) AMI 2016.
Bohong kalau saya bilang saya tidak pernah memikirkannya. Bohong kalau saya bilang saya tidak pernah mempertimbangkan posisi tersebut sebelum hari itu. Sejak lama, mungkin sejak pertama kali membicarakan AMI dengan Ketua Divisi Edufair tahun sebelumnya, Kak Bagas, saya sudah pernah berfikir tentang menjadi seorang "Kadiv Edufair". Saya sudah pernah menimbang-nimbang apakah jika kesempatan itu datang saya akan menerimanya atau tidak.
Lalu ada pertanyaan dari beberapa orang: Apa sebenarnya saya sudah tau kalau tawaran itu akan sampai?
Jawabannya: belum.
Sampai saat tawaran itu akhirnya terlontar saya tidak pernah menduganya. Banyak alasan. Salah satunya adalah pada saat itu saya tidak begitu kenal dekat dengan ketua terpilih, Faza Ahmad. Saya menduga beliau pasti punya nama lain yang direkomendasikan. Yang lebih dekat dikenalnya, atau dirasa lebih mampu dibandingkan saya.
Tapi saya harus bersiap dengan segala kemungkinan bukan?
Tak perlu waktu lama untuk saya berfikir. Hanya 4 menit berselang dari pertanyaan, dengan bismillah saya mengiyakan. Saya sudah berfikir selama hampir setengah tahun lamanya dan saat itu saya hanya perlu menjawab. Saat saya berkata "iya", saya tahu bahwa saya sedang berjanji untuk memberikan sebagian besar waktu saya untuk acara ini. Bahwa saya sedang memilin komitmen demi menyukseskan acara ini.
Setelah saya mengiyakan tawaran, saya langsung diajak untuk berdiskusi tentang AMI 2016. Saya berjalan menuju labtek 6 lantai 1 kampus ITB. Saat saya datang, sudah ada beberapa orang yang berkumpul. Diantara semuanya, hanya Kak Faza, Kak Ana, dan Tasya Nadya (Tasya) yang sudah saya kenal. Sisanya mungkin saya pernah bertemu namun tidak pernah sempat berbincang.
Pertama saya bergabung, saya langsung dikenalkan dengan Ketua Bidang Acara yang sudah dipilih oleh Kak Faza, Kabid yang membawahi saya. Namanya Syauqi Abdurrahman dari jurusan Fisika Teknik ITB, di tahun sebelumnya beliau adalah Kadiv Logistik AMI.
Kesan pertama saya terhadap Kak Syauqi: biasa saja, nothing in particular. Tapi saya punya perasaan pada saat itu kalau kami akan menjadi rekan yang baik dalam definisi yang sulit dipahami orang lain. Sebab sepertinya saya akan menjadi terlalu excited nantinya, sedangkan Kak Syauqi sedikit lebih kalem. Walau begitu, pada saat itu saya merasa tahu bahwa dia adalah tipe orang yang profesional dalam pekerjaan.
Sore itu kami berbincang-bincang soal AMI 2016. Kami membahas tentang siapa, untuk mengisi posisi apa, dan kenapa.
Menghabiskan sore hari kami mempersiapkan sebuah tim raksasa untuk mewujudkan mimpi pendidikan Indonesia yang lebih baik.
...
berlanjut ke bagian dua
Rangkaian entri dalam label ini bukan evaluasi, atau bagian dari laporan pertanggungjawaban, atau cerita untuk membuka buku putih. Ini adalah tulisan yang saya buat untuk mengungkapkan apa yang saya dapatkan selama perjalanan setengah tahun ke belakang.
Saya memulai perjalanan ini 8 September 2015 ketika pertama kali saya mendapatkan sebuah pesan dari Kak Auliya Nur Amalina (Ana) berupa tawaran untuk menjadi Ketua Divisi Education Fair (Edufair) AMI 2016.
Bohong kalau saya bilang saya tidak pernah memikirkannya. Bohong kalau saya bilang saya tidak pernah mempertimbangkan posisi tersebut sebelum hari itu. Sejak lama, mungkin sejak pertama kali membicarakan AMI dengan Ketua Divisi Edufair tahun sebelumnya, Kak Bagas, saya sudah pernah berfikir tentang menjadi seorang "Kadiv Edufair". Saya sudah pernah menimbang-nimbang apakah jika kesempatan itu datang saya akan menerimanya atau tidak.
Lalu ada pertanyaan dari beberapa orang: Apa sebenarnya saya sudah tau kalau tawaran itu akan sampai?
Jawabannya: belum.
Sampai saat tawaran itu akhirnya terlontar saya tidak pernah menduganya. Banyak alasan. Salah satunya adalah pada saat itu saya tidak begitu kenal dekat dengan ketua terpilih, Faza Ahmad. Saya menduga beliau pasti punya nama lain yang direkomendasikan. Yang lebih dekat dikenalnya, atau dirasa lebih mampu dibandingkan saya.
Tapi saya harus bersiap dengan segala kemungkinan bukan?
"The destiny choose the owner." -Rizki Nur FitriansyahSebab kalau itu memang takdir saya, berapapun orang yang ditawarkan sebelum saya takdir itu akan tetap sampai ke saya kan?
Tak perlu waktu lama untuk saya berfikir. Hanya 4 menit berselang dari pertanyaan, dengan bismillah saya mengiyakan. Saya sudah berfikir selama hampir setengah tahun lamanya dan saat itu saya hanya perlu menjawab. Saat saya berkata "iya", saya tahu bahwa saya sedang berjanji untuk memberikan sebagian besar waktu saya untuk acara ini. Bahwa saya sedang memilin komitmen demi menyukseskan acara ini.
Setelah saya mengiyakan tawaran, saya langsung diajak untuk berdiskusi tentang AMI 2016. Saya berjalan menuju labtek 6 lantai 1 kampus ITB. Saat saya datang, sudah ada beberapa orang yang berkumpul. Diantara semuanya, hanya Kak Faza, Kak Ana, dan Tasya Nadya (Tasya) yang sudah saya kenal. Sisanya mungkin saya pernah bertemu namun tidak pernah sempat berbincang.
Pertama saya bergabung, saya langsung dikenalkan dengan Ketua Bidang Acara yang sudah dipilih oleh Kak Faza, Kabid yang membawahi saya. Namanya Syauqi Abdurrahman dari jurusan Fisika Teknik ITB, di tahun sebelumnya beliau adalah Kadiv Logistik AMI.
Kesan pertama saya terhadap Kak Syauqi: biasa saja, nothing in particular. Tapi saya punya perasaan pada saat itu kalau kami akan menjadi rekan yang baik dalam definisi yang sulit dipahami orang lain. Sebab sepertinya saya akan menjadi terlalu excited nantinya, sedangkan Kak Syauqi sedikit lebih kalem. Walau begitu, pada saat itu saya merasa tahu bahwa dia adalah tipe orang yang profesional dalam pekerjaan.
Sore itu kami berbincang-bincang soal AMI 2016. Kami membahas tentang siapa, untuk mengisi posisi apa, dan kenapa.
Menghabiskan sore hari kami mempersiapkan sebuah tim raksasa untuk mewujudkan mimpi pendidikan Indonesia yang lebih baik.
...
berlanjut ke bagian dua
0 comments