Ada yang hilang malam ini. Tidak seperti sebelum-sebelumnya. Tidak ada persiapan. Aba-aba dan hitungan mundur. Sudah hilang. Kubiarkan saja hilang. Terbawa keraguan dalam ketidaktahuan. Biarkan sajalah. Aku peduli. Namun, baiknya tak kupedulikan lagi. Ada yang hilang malam ini. Sengaja kuhilangkan. ...
Sudah pertengahan Desember lagi. Sebentar lagi tahun ini akan berakhir. Ajaib, bagaimana pergantian tahun adalah sesuatu yang menarik untuk dikomentari padahal itu tak lebih dari hitung-hitungan ciptaan manusia. Dan seperti yang pernah kubilang di entri sebelum-sebelumnya, ketika mendekati akhir, maka kamu akan kembali mengingat masa yang paling awal. Mendekati berpisah dengan tahun ini, aku kembali mengingat bagaimana aku mengawali tahun ini. Owl City,...
"Teh, SMAnya dimana?" "MAN Insan Cendekia Serpong." "Hah iya? Itu kan SMAnya Gilang yang di OIC!" Begitulah percakapanku dengan seorang customer service salah satu Bank di Indonesia yang kantor cabangnya ada di GKU Timur ITB. Belakangan ini memang acara OIC milik RTV sedang ramai dibahas oleh IAIC berbagai region (dan mungkin juga digemari keluarga-keluarga di Indonesia). Pasalnya, Insan Cendeia Serpong mengirim perwakilannya ke...
Pernah dengar tentang kutipan-kutipan sok bijak yang bicara tentang rata-rata? Misalnya, "Rata-rata perempuan akan menangis jika menonton...... *sesuatu*", atau "Rata-rata laki-laki akan memilih diam ketika...... *blablabla*". Jangan mudah percaya dan terpengaruh oleh pernyataan-pernyataan itu. Rata-rata secara matematis adalah jumlah nilai dibagi dengan jumlah data (jika merupakan angka). Tidak berarti setiap elemen dalam data tersebut mempunyai nilai sama dengan nilai rata-rata. Bisa saja ada...
Ada yang berbeda malam ini. Saat aku membuka daftar pesan belum terbaca di salah satu aplikasi chat di smartphone-ku, aku tertegun membaca sebuah note dari seorang teman di grup chat ITB MGNV. ### Ga ada ruginya baca bentar bro.. "bareng-bareng terus ya :)” “yang penting masih bisa atur jadwal kumpul lah” “yang penting masih bisa ketemu sesekali lah” ... “dia apa kabar ya?”...
Apa kabar, Exorfation? . . . Malam, Exorfation. Tidak ada kepentingan tertentu menulis tentang kalian. Hanya sedang bosan lalu bernostalgia, dan berakhir dengan tangan menari di atas keyboard laptop. Padahal belum genap lima tahun kita lulus dari MTs, tapi bagiku sendiri rasanya sudah sangat lama. Masa-masa bersama kalian adalah masa-masa paling naik-turun yang pernah kualami. Tak banyak yang kuingat, kecuali bahwa aku adalah...
Walaupun hanya sedikit orang yang tahu dan bahkan lebih sedikit lagi yang ingat, bukankah hari kelahiranmu akan tetap spesial? Meskipun kamu sudah dewasa atau bahkan tua nantinya, bukankah tetap ada setitik rasa bahagia? Bahagia itu bukan karena kamu mendapat banyak hadiah, bukan karena kamu bisa merayakannya ramai-ramai, tapi bahkan di tengah sepi tanpa siapa-siapa seperti yang tengah kurasakan rasanya tetap bahagia. Bahagia karena...
... Lagu yang tak pernah bisa kunyanyikan, Melodi yang tak pernah sampai kubunyikan, Soal yang tak pernah bisa kukerjakan, Pertanyaan yang tak pernah bisa kujawab, Esai yang tak pernah bisa kurampungkan, Air yang tak pernah bisa kutenggak, Makanan yang tak pernah bisa kulahap,Tanah yang tak pernah bisa kuinjak, Pintu yang tak pernah bisa kubuka, Lembaran yang tak pernah bisa kutulisi, Bintang yang tak...
"Aku lelah. Memperjuangkan diriku dan menyakiti orang lain. Maka untuk kali ini, biar aku memperjuangkan orang lain dan menyakiti diriku." "Bukan begitu. Tidak harus begitu. Kamu hanya harus belajar bagaimana menyampaikannya, bukan menelannya bulat-bulat. Kamu bisa tetap menjadi dirimu dengan cara yang berbeda." "Berteori itu mudah. Apalagi untukmu yang tak pernah merasakan bagaimana rasanya dibenci dan tersakiti karena telah menyakiti." "Tapi apa itu...
Hanya saat berada diantara dua persimpangan, manusia akan benar-benar menggunakan kepalanya. Memeras otak, mencari titik masalah, mencari jalan keluar, mencari mana yang terbaik, memilih. Pertentangan di dalam kepala terus berkecamuk. Satu berkata kanan, yang lainnya kiri, dan pikiran lain ikut mencampuri, membesitkan bahwa diam saja lebih baik. Positif dan negatif melintas. Datang dan kembali pergi lagi. Tak lama, hanya berusaha agar dilihat, agar...
Hari ini di tengah perjalanan panjang dari Masjid Salman ITB ke kosan di Cisitu Baru, aku mendapat ilham lagi. Entah kenapa tiba-tiba memikirkan teman-teman Magnivic, lalu mengerucut kepada teman-teman dekat sampai ke seseorang yang sangat dekat, seseorang yang baru beberapa hari yang lalu berkunjung ke Bandung jauh-jauh dari Yogyakarta. Dan tak lupa tentunya seseorang yang terus-menerus membantuku sejak masih di IC dulu sampai...
Karena nggak boleh cerita-cerita tentang OSKM2014 di blog, jadi aku mau pos foto aja ya. Semoga bisa memberi bayangan cerita seperti apa yang akan kutulis jika aku boleh menuliskannya. Makasih banget Zahra, Firda, Andini, Ella, Monic, Yunita, Fani, Mika, Kiky, Bayu, Farhan, Akbar, Ardi, Vito, Aji, Afiq, Patrick, Ramdani, Harry, Nikko, Veris, Kak Kun, Kak Arsyad, Kak Septin, Kak Nesya, ITB 2014, OSKM...
Tiga tahun... Bisa menjadi bilangan Mungkin menjadi peringatan Terkadang menjadi tujuan Pernah menjadi keluhan Tak jarang menjadi beban Namun bagi kami, tiga tahun adalah kebersamaan penuh kenangan... *** ...
Biasanya... Malam ini aku sedang mengganggumu. Bercerita apa yang terjadi seharian, apa yang orang katakan, apa yang orang lakukan, dan apa tanggapanku akan hal itu. Aku bersandar di dinding kamarmu sambil memandang kamu yang duduk di atas kursi, lalu perlahan turun ke bawah, duduk di sampingku, dan mendengarkanku dengan penuh perhatian. Biasanya... Kita sedang tertawa karena satu dan lain hal yang terjadi. Menertawakan...
Aku nggak lupa kok, Tsan. Aku hanya menunggu saat yang tepat untuk bisa menyampaikan. Aku hanya perlu momentum. Minggu pagi, aku menunggu pesan dari kamu. Pesan yang mungkin berbunyi, "Ana kamu inget nggak ini hari apa?" Sampai siang, aku tunggu, tapi tetap tidak ada apa apa. Lalu aku menyimpulkan, mungkin kau benar-benar sudah tidak begitu memikirkan siapa yang mengucapkan dan tidak mengucapkan. Atau...
Terduduk, diam, sepi. Detak jam dinding bisa terdengar, terasa. Sunyi yang mencekam, hening yang sesungguhnya. Angin menggelitik wajah. Menerpa perlahan mewarnai. Dingin, tenang, damai. Butuh teman untuk bersandar, untuk berbagi cerita. Namun kemudian sadar, bahwa kesendirian ini baru saja dimulai. ...
Aku rindu. Entah pada apa atau pada siapa. Aku hanya rindu. Rindu untuk hidup dalam kehidupan. Kehidupan yang mendesak. Kehidupan yang menguras kesabaran. Kehidupan yang terus menerus mengulang aktivitas yang sama namun tak pernah persis. Kehidupan yang mau tak mau, kunikmati. ...
Melirik jam dinding lagi, dan lagi. Beberapa jam dari sekarang aku akan meninggalkan rumah ini. Tiga tahun lalu aku juga pernah seperti ini. Antara senang dan sedih, antara berani dan takut, antara berharap waktu cepat berlalu dan berharap waktu bertahan lebih lama. Bandung. Itulah tujuanku setelah ini. Berbeda dengan tiga tahun yang lalu, saat aku memulai bersama 119 lainnya. Maka saat ini, aku...
Dan requiem-pun akhirnya mengalun... Kita semua sama-sama tahu. Tak mudah mengombinasikan musik dan menjadikannya padu nan harmonis. Kita harus mengatur tempo permainan, pola, dan volume masing-masing instrumen. Tidak boleh ada yang terlalu mencolok dan tak boleh sampai ada yang tertelan oleh yang lain. Cerdasnya sang komposer dipertaruhkan untuk menyuguhkan komposisi yang cukup menarik dan layak dinikmati. Sebuah ukhuwah tak ubahnya macam musik harmonis...
Situation is changing, also people, you and I are included.. So, why? Why are you looking forward to something that will change in the future? Are you sure that you still can handle it? Why don't you just let it flow? Why don't you just let it go? And let the time doing its job... ...to answer all our questions? ...
Baru-baru ini sering sekali melihat dua buah gambar senada yang intinya mirip-mirip di berbagai medsos. Yang punya bener-bener dari berbagai angkatan, seakan-akan semuanya bener-bener satu suara (seakan-akan lho ya). Dari mulai facebook, twitter, instagram, ask.fm, bahkan whatsapp dan line angkatan. Nggak punya komentar apa-apa. Cuma bisa menggumam "aamiin" sambil bertanya-tanya siapa yang pertama kali bikin tulisan kayak gini. Nggak menyalahkan, hanya ingin tahu....
Aku sayang Magnivic, tapi... ...di awal kebersamaan kita, di tahun pertama keberadaan di IC, aku merasa sendiri. Aku merasa tidak ada artinya peduli dengan angkatan. Aku merasa cukup bahagia dengan dunia kecilku sendiri. Kalian ada, tapi saat itu bagiku tak kentara. Aku sayang Magnivic, tapi... ...saat waktu mulai berjalan. Aku malah semakin tidak mengerti dengan kalian. Kalian melihatku sinis tanpa aku tahu kenapa....
... Lanjutan dari Part 1 dan Part 2 Aisyah Nur Izzati ...
... Lanjutan dari Part 1 Rizkiana Sidqiyatul Hamdani ...
#PerangPosterRamadhan adalah sebuah kompetisi kecil-kecilan yang tujuannya adalah untuk berbagi kebaikan. Kompetisi ini betajuk lomba poster, bisa berupa hadits, ayat Al-Quran, atau kutipan. Berikut adalah karya-karya yang sudah berpartisipasi dalam #PerangPosterRamadhan (versi non-official). Semoga bermanfaat :D Satrio Wahyu Fathurrahman ...
Dengarkah kau? Rintih senduku Bisik cemasku Senandung lirihku Yang kusampaikan lewatNya Sudahkah kau membalasnya? Kutunggu kirimanmu... ...
Sudah lebih dari sebulan sejak terakhir kali aku menuliskan sesuatu di blog ini. Aku tidak menulis bukan karena tak ada hal yang menarik, tapi justru sebaliknya, terlalu banyak hal menarik sampai aku sendiri bingung harus mulai menuliskannya dari mana. Lulus UN dengan nilai Fisika sempurna, diterima undangan FTSL ITB, wisuda MGNV yang berkesan, MGNV juara 2 UN Nasional, begitu luar biasa rasanya nikmat...
Aku dan kamu dikatakan satu saat kita bisa berbagi kehidupan. Saat aku bisa menyelami kehidupanmu dan kau bisa menyelami kehidupanku. Jika kita memiliki kehidupan masing-masing dan tak bisa saling menyentuh, maka kita bukanlah satu. Kita hanyalah pion-pion yang bermain di papan berbeda. Aku dan kamu dikatakan satu saat kita bisa berbagi kehidupan. Saat aku bisa menyelami kehidupanmu dan kau bisa menyelami kehidupanku. Jika...
Bukannya aku sombong, tapi kalau boleh jujur, aku lebih suka menjadi ikan besar di kolam kecil daripada menjadi ikan kecil di kolam besar. Kalimat itu adalah sebuah kalimat paling jujur yang pernah aku denger dari teman seperjuangan di Insan Cendekia. Sore itu, kami sedang mengenang tiga tahun terakhir yang telah kami habiskan di tempat ini. Tiga minggu lagi, kami bukan lagi siswi Insan...
I keep thinking times will never change. Keep on thinking things will always be the same. But when we leave this year we won't be coming back. No more hanging out cause we're on a different track. And if you got something that you need to say. You better say it right now cause you don't have another day. Cause we're moving on...
“Mau dikatakan berapa kalipun kau tidak akan mengerti, ‘kan?” Suara bass Rein terdengar lagi di telingaku, namun lebih dalam dari sebelumnya. Untuk pertama kalinya sejak percakapan ini, aku mengalihkan pandanganku dari laptop dan mulai memerhatikan wajahnya. Sudah setengah jam ia bercerita dan meminta pendapatku, kupikir dia sedang baik-baik saja. Yah, sebelumnya memang baik-baik saja seperti waktu-waktu biasa saat ia menggangguku di tengah pekerjaanku...
Entah kenapa masih juga merinding, meskipun ini kali ketiga UN. Masih juga minder walaupun sudah jutaan kali tryout. Masih juga nggak percaya kalau "LULUS" itu benar-benar tinggal selangkah, walaupun jelas tiga tahun di belakang bukanlah sesuatu yang mudah dilalui. Seperti banyak orang bilang, ketika mendekati akhir, kita akan otomatis melakukan flashback. Dan kenangan itu pasti akan sampai di permulaan yang paling awal dan...
Pada akhirnya aku kalah lagi. Aku memang tidak pernah sanggup untuk membenci. Marah lama-lama, selain pada diriku sendiri. Biarlah. Biar akhirnya aku mengibarkan bendera perdamaian. Biar aku yang lagi-lagi mengucap maaf. Biar aku yang lagi-lagi mengawali interaksi. Aku tidak mungkin membohongi diri sendiri. Aku tidak suka permusuhan, jadi apa itu salah? Namun, benarkah itu alasannya? Atau ternyata sebenarnya sejak awal aku memang tidak...
Pilihan jurusan kuliah itu sangat beragam. Sebuah PTN rata-rata memuat lebih dari dua puluh jurusan yang dibagi-bagi ke dalam beberapa fakultas. Sebagai 'anak kelas tiga', aku ngerasain banget yang namanya galau jurusan gara-gara kebanyakan referensi. Yah, milih jurusan memang harus hati-hati karena selama beberapa semester kita akan berkutat dengan hal itu. Jangan sampai kita merasa salah pilih, terus nanti dampaknya jadi nggak baik.
Ada beberapa teman yang sedikit bersitegang dengan orangtuanya membahas masalah jurusan kuliah. Walaupun beberapa orangtua mengaku membebaskan anaknya dalam memilih jurusan, kalau ditelisik, sampai saat ini, banyak orangtua yang masih menginginkan anaknya kuliah di jurusan yang menurut beliau paling baik diantara yang lainnya. Yang IPS, biasanya disarankan ekonomi atau akuntansi, kalau yang IPA biasanya kedokteran.
Nah, karena jurusanku IPA, disini aku akan membahas tentang kedokteran. Dulu waktu TK, setiap guruku bertanya tentang 'apa cita-cita kalian', hampir bisa dipastikan sepertiga kelas akan menjawab 'dokter'. Saat itu aku bingung kenapa teman-temanku ingin jadi dokter. Apa daya tariknya menjadi 'dokter'?
Di SD nggak berbeda jauh. Masih setidaknya sepertiga kelas menjawab ingin jadi 'dokter'.Bahkan di SMP dan SMA (MAN IC maksudnya -,-), masih banyak yang mau jadi dokter. Tapi, ada perbedaan untuk kali ini: tidak semua yang mau jadi dokter itu benar-benar mau.
Ada teman yang benar-benar berjuang mati-matian belajar biologi demi masuk kedokteran menuruti kata-kata ibunya, padahal dia sendiri maunya psikologi. Ada lagi teman yang nggak bisa milih jurusan, pindah dari jurusan satu ke jurusan lainnya, akhirnya balik ke kedokteran nurutin kata-kata orangtuanya. Dua kasus ini masih oke. Tapi coba yang terakhir ini. Anaknya pingin jurusan IPS, tapi tetep dibujuk IPA supaya bisa jadi dokter, lantaran ibunya dulu pingin jadi dokter tapi nggak kesampaian.
Orangtua memang mau yang terbaik buat anaknya. Tapi gimana kalau anak itu nggak siap? Kita semua tau kuliah kedokteran nggak sebentar, materinya nggak sedikit, apalagi kalau ambil spesialis.
Saat teman-teman dengan masalah semacam itu mendatangiku, aku cuma bisa memberi saran 'jangan pernah berhenti ajak orangtuamu bicara', karena memang hanya itu yang bisa kusarankan.
Alhamdulillah, orangtuaku nggak pernah memaksaku ke satu jurusan khusus. Walaupun, tetap saja beberapa kali Mama mengindikasikan kalau beliau mau aku kuliah di Universitas dan jurusan tertentu. Yah, beliau tau aku nggak akan nurut. Aku akan tetap sama pilihan aku karena ini memang pilihan aku. Lagipula, aku bisa mengajukan alasan-alasan yang bisa diterima rasionalnya Mama.
Nah, suatu hari Mama pernah tanya aku gini, "kamu yakin nggak mau ambil kedokteran?"
Aku cuma menggeleng. Teringat pengalamanku dengan dokter-dokter RSUD yang beberapa bulan sebelumnya kudatangi. Langsung terbayang wajah tidak ramah, kalimat kasar, tatapan mata merendahkan, dan pelayanan tidak memuaskan yang kuterima.
Dalam hati, aku bersuara...
Beberapa temanku yang memang sudah yakin dengan kedokteran mulai mengisi formulir SNMPTN. Aku juga sudah mengisinya dengan jurusan pilihanku. Tentu bukan kedokteran. Aku tidak anti-kedokteran, aku juga nggak bilang kedokteran itu meinstrim. Aku nggak pernah mempertimbangkan kedokteran, karena seperti yang kukatakan, kedokteran itu bukan aku. Sesederhana itu.
Ada beberapa teman yang sedikit bersitegang dengan orangtuanya membahas masalah jurusan kuliah. Walaupun beberapa orangtua mengaku membebaskan anaknya dalam memilih jurusan, kalau ditelisik, sampai saat ini, banyak orangtua yang masih menginginkan anaknya kuliah di jurusan yang menurut beliau paling baik diantara yang lainnya. Yang IPS, biasanya disarankan ekonomi atau akuntansi, kalau yang IPA biasanya kedokteran.
Nah, karena jurusanku IPA, disini aku akan membahas tentang kedokteran. Dulu waktu TK, setiap guruku bertanya tentang 'apa cita-cita kalian', hampir bisa dipastikan sepertiga kelas akan menjawab 'dokter'. Saat itu aku bingung kenapa teman-temanku ingin jadi dokter. Apa daya tariknya menjadi 'dokter'?
Di SD nggak berbeda jauh. Masih setidaknya sepertiga kelas menjawab ingin jadi 'dokter'.Bahkan di SMP dan SMA (MAN IC maksudnya -,-), masih banyak yang mau jadi dokter. Tapi, ada perbedaan untuk kali ini: tidak semua yang mau jadi dokter itu benar-benar mau.
Ada teman yang benar-benar berjuang mati-matian belajar biologi demi masuk kedokteran menuruti kata-kata ibunya, padahal dia sendiri maunya psikologi. Ada lagi teman yang nggak bisa milih jurusan, pindah dari jurusan satu ke jurusan lainnya, akhirnya balik ke kedokteran nurutin kata-kata orangtuanya. Dua kasus ini masih oke. Tapi coba yang terakhir ini. Anaknya pingin jurusan IPS, tapi tetep dibujuk IPA supaya bisa jadi dokter, lantaran ibunya dulu pingin jadi dokter tapi nggak kesampaian.
Orangtua memang mau yang terbaik buat anaknya. Tapi gimana kalau anak itu nggak siap? Kita semua tau kuliah kedokteran nggak sebentar, materinya nggak sedikit, apalagi kalau ambil spesialis.
Saat teman-teman dengan masalah semacam itu mendatangiku, aku cuma bisa memberi saran 'jangan pernah berhenti ajak orangtuamu bicara', karena memang hanya itu yang bisa kusarankan.
Alhamdulillah, orangtuaku nggak pernah memaksaku ke satu jurusan khusus. Walaupun, tetap saja beberapa kali Mama mengindikasikan kalau beliau mau aku kuliah di Universitas dan jurusan tertentu. Yah, beliau tau aku nggak akan nurut. Aku akan tetap sama pilihan aku karena ini memang pilihan aku. Lagipula, aku bisa mengajukan alasan-alasan yang bisa diterima rasionalnya Mama.
Nah, suatu hari Mama pernah tanya aku gini, "kamu yakin nggak mau ambil kedokteran?"
Aku cuma menggeleng. Teringat pengalamanku dengan dokter-dokter RSUD yang beberapa bulan sebelumnya kudatangi. Langsung terbayang wajah tidak ramah, kalimat kasar, tatapan mata merendahkan, dan pelayanan tidak memuaskan yang kuterima.
Dalam hati, aku bersuara...
"Aku takut. Aku takut tidak siap dengan ilmu yang ada padaku nantinya. Aku takut merasa paling pintar. Aku takut merendahkan orang lain. Aku takut menjadi dokter yang justru tak ada bedanya dengan dokter-dokter RSUD itu: mengejar materi. Selain itu, aku merasa kedokteran bukan jalanku. Bukan aku. Biarlah saja teman-temanku berada disana, tapi tidak denganku."
Dan masalah orangtua dan kedokteran, bukan salah jurusannya. Memang pandangan orangtua yang melihat kedokteran sebagai suatu jurusan yang berbeda, selain anak-anak kedokteran itu sepertinya memang lebih 'disiksa' daripada jurusan lain. Satu pesan dariku untuk teman-temanku mahasiswa dan calon mahasiswa kedokteran, jangan sampai kalian menjadi seperti apa yang aku takutkan atas diriku (kalau ada di jurusan itu): merasa paling pintar, merendahkan orang lain, dan mengejar materi. Luruskan niat, kawan!
Pertama mengenalmu, aku sama sekali tak punya ide tentang apa yang ada di kepalamu. Kamu memang tak bisa ditebak, sulit dibaca, hampir mustahil dipahami. Tapi, bukan aku namanya kalau aku menyerah mengenalmu hanya karena kau menyulitkan. Perlahan aku mencoba memperhatikanmu, mengenalimu, mencari tahu kebiasaanmu, dan menelisik karaktermu. Tak mudah. Mencari tahu tentangmu memang tak akan mudah, aku yakin. Karena kau hampir-hampir sama saja...