Pura-pura tidak melihat jika berpapasan.
Pura-pura tidak sadar ketika kebetulan muncul di beranda media sosial.
Pura-pura tidak tahu saat tiba-tiba kontak ponselmu menambahkan akun miliknya secara otomatis.
Bentuk usaha itu bermacam-macam, meski sebenarnya ke arah mana usaha itu belum jelas tergambar. Di mataku hanya satu kata yang pantas menggambarkannya: menghindar.
Entah kemana ceriwismu tentang manusia harus bisa menghadapi masalahnya. Tak tahu terbawa apa percaya dirimu yang biasanya membuat orang terheran-heran. Mungkin kamu sama saja dengan manusia pada umumnya, hanya pandai bicara saja.
Aku lihat kamu memandangi namanya terus menerus tanpa berani menyapa dan bertanya sekadar apa kapar. Padahal, bukankah kamu ingin tahu?
Kamu berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang kamu lakukan hanya untuk menjaga diri kalian masing-masing dari ketidakpastian. Padahal, bukankah dengan menghentikan silaturahmi kamu malah menambah-nambah ketidakpastian itu?
Aku hanya bisa tertawa melihat tingkahmu. Apa sebegitu hilangnya fikiranmu sampai-sampai rasional saja tidak bisa. Tidak peduli dengan semua kata-kata bijak yang bilang bahwa hati itu dipilih dan bukan memilih, kamu tahu persis bahwa semua yang ada di kepala bisa kamu kendalikan. Kamu harus percaya kalau kamu bisa memilih, sekalipun menyangkut masalah hati.
Sebaiknya aku tidak menceramahimu lagi. Bukankah kau makin bingung dengan kata-kataku?
Tapi, masa iya dari sekian banyak pilihan kamu memilih untuk menghindar?
Ah, sudahlah.
Mungkin menghindar adalah caramu untuk percaya pada Tuhan akan takdirNya.
Mungkin karena kamu merasa kamu sudah tidak bisa percaya pada dirimu sendiri tentang ini maka kamu memutuskan untuk percaya pada takdir.
Walaupun aku masih bertanya-tanya, apa kamu benar-benar sepercaya itu?
Benarkah percayamu sejauh itu?
Padahal kamu tau kan, Na, menyerah pada takdir berarti kamu menghampiri ketidakpastian lain. Dan pada akhirnya memang kamu selalu berakhir pada ketidakpastian.
Pura-pura tidak sadar ketika kebetulan muncul di beranda media sosial.
Pura-pura tidak tahu saat tiba-tiba kontak ponselmu menambahkan akun miliknya secara otomatis.
Bentuk usaha itu bermacam-macam, meski sebenarnya ke arah mana usaha itu belum jelas tergambar. Di mataku hanya satu kata yang pantas menggambarkannya: menghindar.
Entah kemana ceriwismu tentang manusia harus bisa menghadapi masalahnya. Tak tahu terbawa apa percaya dirimu yang biasanya membuat orang terheran-heran. Mungkin kamu sama saja dengan manusia pada umumnya, hanya pandai bicara saja.
Aku lihat kamu memandangi namanya terus menerus tanpa berani menyapa dan bertanya sekadar apa kapar. Padahal, bukankah kamu ingin tahu?
Kamu berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang kamu lakukan hanya untuk menjaga diri kalian masing-masing dari ketidakpastian. Padahal, bukankah dengan menghentikan silaturahmi kamu malah menambah-nambah ketidakpastian itu?
Aku hanya bisa tertawa melihat tingkahmu. Apa sebegitu hilangnya fikiranmu sampai-sampai rasional saja tidak bisa. Tidak peduli dengan semua kata-kata bijak yang bilang bahwa hati itu dipilih dan bukan memilih, kamu tahu persis bahwa semua yang ada di kepala bisa kamu kendalikan. Kamu harus percaya kalau kamu bisa memilih, sekalipun menyangkut masalah hati.
Sebaiknya aku tidak menceramahimu lagi. Bukankah kau makin bingung dengan kata-kataku?
Tapi, masa iya dari sekian banyak pilihan kamu memilih untuk menghindar?
Ah, sudahlah.
Mungkin menghindar adalah caramu untuk percaya pada Tuhan akan takdirNya.
Mungkin karena kamu merasa kamu sudah tidak bisa percaya pada dirimu sendiri tentang ini maka kamu memutuskan untuk percaya pada takdir.
Walaupun aku masih bertanya-tanya, apa kamu benar-benar sepercaya itu?
Benarkah percayamu sejauh itu?
Padahal kamu tau kan, Na, menyerah pada takdir berarti kamu menghampiri ketidakpastian lain. Dan pada akhirnya memang kamu selalu berakhir pada ketidakpastian.
Lagi nyari-nyari file .apk mario bros di laptop, tiba-tiba nemuin draft lama yang ditulis sekitar 5 tahun lalu waktu aku masih aktif ngobrol bareng temen-temen "Detektif Conan Indonesia (DCI)" di facebook. Jadi, dulu itu admin DCI bikin kuis yang ada poinnya. Anggota dengan poin terbanyak akan diangkat menjadi admin. Nah, ceritanya aku adalah admin kedua yang diangkat setelah Tante Amanda Agrippina. Jadi, gegara itu aku sering bikin kasus-kasus seru bukat dipecahkan bersama-sama. Yang akan aku post disini adalah salah satunya.
Pertama baca bingung juga, kok ini detail banget ya. Bahkan 30 menit cuma bengong ga ngerti maksudnya gimana. Nah, daripada bingung mending langsung dibaca aja detail kasusnya.
Pertama baca bingung juga, kok ini detail banget ya. Bahkan 30 menit cuma bengong ga ngerti maksudnya gimana. Nah, daripada bingung mending langsung dibaca aja detail kasusnya.
"Aku iri sama kamu."
"Hah? Kenapa?"
"Ya, aku iri aja."
"Bercanda kamu. Apa yang ada di aku dan bisa membuat kamu iri?"
"..."
"Hei..."
"Aku iri karena kamu bisa melakukan semuanya sendiri. Aku iri karena di mata semua orang kamu selalu bisa mengatasi masalah apapun. Aku iri karena nggak ada yang menganggapmu lemah. Aku iri karena kamu disegani oleh semua orang. Aku iri karena banyak orang yang bersandar kepadamu. Aku iri karena aku nggak bisa jadi kamu."
"Hmm..."
"Apa yang harus aku lakukan supaya aku bisa jadi kayak kamu?"
"Kenapa kamu harus jadi kayak aku?"
"Karena menurut aku hidup kamu sempurna."
"Terus kamu enggak?"
"Kamu kuliah di universitas ternama, di jurusan favorit, nilai kamu bagus, kamu dikenal banyak orang, dan kamu seperti nggak punya rasa takut, kamu selalu menghadapi semuanya dan semuanya selalu baik-baik aja kalau ada kamu."
"..."
"Jadi, kasih tau aku gimana supaya bisa jadi kayak kamu..."
"Oke."
"..."
"Tapi, kamu harus kasih tau aku gimana supaya bisa jadi kayak kamu."
"Eh?"
"Gimana supaya aku bisa punya banyak waktu sama keluargaku, gimana supaya aku bisa tidur minimal tujuh jam sehari, gimana supaya aku punya seseorang teman untuk berbagi saat aku sedih, gimana supaya orang mau melindungiku dan bukan malah meminta perlindungan, gimana caranya supaya aku bisa dicintai banyak orang dan bukannya malah dianggap sebagai ancaman?"
"..."
"Kamu nggak bisa jawab, 'kan?"
"..."
"Sederhana aja, kita nggak bisa jawab karena kita nggak tahu caranya. Yang kita tahu adalah kita memainkan peran sebagai diri kita sendiri. Ada hal-hal yang memang harus dikorbankan, ada hal-hal yang harus tetap menjadi keinginan, dengan begitulah kita sempurna."
"..."
"Kita sempurna dengan kekurangan dan kelebihan. Aku juga sering berharap menjadi orang lain, punya kehidupan yang sederhana, tapi memang itu bukan aku, aku nggak bisa. Maka mungkin itu juga berlaku sama kamu."
"Tapi kamu nggak pernah bergantung sama orang lain. Malah orang lain yang bergantung sama kamu."
"Dan apa yang bagus dari itu? Aku malah ingin sekali menemukan seseorang yang bisa kuandalkan, yang bisa kugantungkan padanya aku. Tapi sampai saat ini nggak ada yang bisa."
"Kamu juga nggak pernah takut walaupun harus sendirian ngelewatin macem-macem hal. Aku pingin bisa mandiri, aku pingin bisa kayak kamu."
"Aku memang nggak pernah takut sendirian. Aku terbiasa makan sendiri, jalan-jalan sendiri, belajar sendiri. Aku bahkan sering nonton di bioskop sendiri dan nggak peduli apapun selain menikmati kesendirian."
"Tuh kan..."
"Tapi,"
"..."
"ada satu hal yang sangat aku takuti dalam hidup ini."
"Apa?"
"Saat aku terlalu terbiasa dengan kesendirian dan pada akhirnya aku akan menghabiskan hidupku hanya sendirian."
"..."
"Masih mau jadi aku?"
Lalu kau berhenti bicara dan memelukku. Erat.
"Hah? Kenapa?"
"Ya, aku iri aja."
"Bercanda kamu. Apa yang ada di aku dan bisa membuat kamu iri?"
"..."
"Hei..."
"Aku iri karena kamu bisa melakukan semuanya sendiri. Aku iri karena di mata semua orang kamu selalu bisa mengatasi masalah apapun. Aku iri karena nggak ada yang menganggapmu lemah. Aku iri karena kamu disegani oleh semua orang. Aku iri karena banyak orang yang bersandar kepadamu. Aku iri karena aku nggak bisa jadi kamu."
"Hmm..."
"Apa yang harus aku lakukan supaya aku bisa jadi kayak kamu?"
"Kenapa kamu harus jadi kayak aku?"
"Karena menurut aku hidup kamu sempurna."
"Terus kamu enggak?"
"Kamu kuliah di universitas ternama, di jurusan favorit, nilai kamu bagus, kamu dikenal banyak orang, dan kamu seperti nggak punya rasa takut, kamu selalu menghadapi semuanya dan semuanya selalu baik-baik aja kalau ada kamu."
"..."
"Jadi, kasih tau aku gimana supaya bisa jadi kayak kamu..."
"Oke."
"..."
"Tapi, kamu harus kasih tau aku gimana supaya bisa jadi kayak kamu."
"Eh?"
"Gimana supaya aku bisa punya banyak waktu sama keluargaku, gimana supaya aku bisa tidur minimal tujuh jam sehari, gimana supaya aku punya seseorang teman untuk berbagi saat aku sedih, gimana supaya orang mau melindungiku dan bukan malah meminta perlindungan, gimana caranya supaya aku bisa dicintai banyak orang dan bukannya malah dianggap sebagai ancaman?"
"..."
"Kamu nggak bisa jawab, 'kan?"
"..."
"Sederhana aja, kita nggak bisa jawab karena kita nggak tahu caranya. Yang kita tahu adalah kita memainkan peran sebagai diri kita sendiri. Ada hal-hal yang memang harus dikorbankan, ada hal-hal yang harus tetap menjadi keinginan, dengan begitulah kita sempurna."
"..."
"Kita sempurna dengan kekurangan dan kelebihan. Aku juga sering berharap menjadi orang lain, punya kehidupan yang sederhana, tapi memang itu bukan aku, aku nggak bisa. Maka mungkin itu juga berlaku sama kamu."
"Tapi kamu nggak pernah bergantung sama orang lain. Malah orang lain yang bergantung sama kamu."
"Dan apa yang bagus dari itu? Aku malah ingin sekali menemukan seseorang yang bisa kuandalkan, yang bisa kugantungkan padanya aku. Tapi sampai saat ini nggak ada yang bisa."
"Kamu juga nggak pernah takut walaupun harus sendirian ngelewatin macem-macem hal. Aku pingin bisa mandiri, aku pingin bisa kayak kamu."
"Aku memang nggak pernah takut sendirian. Aku terbiasa makan sendiri, jalan-jalan sendiri, belajar sendiri. Aku bahkan sering nonton di bioskop sendiri dan nggak peduli apapun selain menikmati kesendirian."
"Tuh kan..."
"Tapi,"
"..."
"ada satu hal yang sangat aku takuti dalam hidup ini."
"Apa?"
"Saat aku terlalu terbiasa dengan kesendirian dan pada akhirnya aku akan menghabiskan hidupku hanya sendirian."
"..."
"Masih mau jadi aku?"
Lalu kau berhenti bicara dan memelukku. Erat.
Terkadang kita berbohong dengan asumsi-asumsi yang terkesan memudahkan orang lain.
Terkadang kita berbohong dengan dalih 'demi kebaikan' tanpa menyadari bahwa kata-kata 'demi kebaikan' hanya untuk menutupi ego dan ketakutan kita sendiri.
Terkadang kita berbohong karena takut tidak ada yang siap menerima kebenaran, karena takut disalahkan, karena takut dinilai apa adanya.
Terkadang kita berbohong karena merasa akan lebih aman, karena merasa akan terlihat lebih baik.
Terkadang kita berbohong agar tidak menyakiti orang lain, walau sebenarnya kita lebih menyakitinya saat berbohong.
Dan bagi kau yang dibohongi...
Kamu mungkin akan merasa terkhianati.
Kamu mungkin akan merasa bahwa sungguh dunia ini hanya dibanjiri dengan dusta.
Lalu jika yang membohongimu adalah orang yang paling dekat denganmu, orang yang sebelumnya paling kamu percaya, orang yang kamu pikir tidak akan pernah membohongimu, mungkin kamu akan merasakan kecewa yang sangat luar biasa.
Mungkin kamu merasa berhak untuk marah.
Mungkin kamu akan merasa sebagai orang yang paling dikecewakan.
Mungkin kamu akan merasa semua kepercayaanmu kepadanya hanyalah sampah.
Mungkin kamu tidak ingin melihatnya lagi, atau sekadar mendengarnya berkata-kata.
Aku juga.
Ditambah lagi aku bertanya-tanya "kenapa?" akan banyak hal.
Kenapa kamu berbohong?
Kenapa demi dia?
Kenapa tidak menyerah sampai aku hampir berhasil membuktikan?
Kenapa menganggapku begitu bodoh sampai menyangka aku akan percaya dengan sebuah kebohongan yang buktinya saja tidak valid?
Kenapa menganggapku begitu tenggelam dari kehidupan sosial sehingga menyangka aku tidak akan tahu kalau kamu berbohong?
Tapi, sudahlah.
Aku memaafkanmu.
Meski sejujurnya masih bertanya-tanya apakah kamu mengenalku sebaik yang kusebut-sebut pada semua orang? Apakah aku mengenalmu sebaik yang aku kira selama ini?
Meski rasanya masih tidak percaya kalau kamu lagi-lagi berbohong. Membohongiku untuk orang yang sama.
Meski kesannya tidak karena aku menulis entri yang seakan mengungkapkan kebencian luar biasa.
Aku memaafkanmu.
Tapi bukankah aku bilang bahwa aku tidak akan pernah lupa?
Terkadang kita berbohong dengan dalih 'demi kebaikan' tanpa menyadari bahwa kata-kata 'demi kebaikan' hanya untuk menutupi ego dan ketakutan kita sendiri.
Terkadang kita berbohong karena takut tidak ada yang siap menerima kebenaran, karena takut disalahkan, karena takut dinilai apa adanya.
Terkadang kita berbohong karena merasa akan lebih aman, karena merasa akan terlihat lebih baik.
Terkadang kita berbohong agar tidak menyakiti orang lain, walau sebenarnya kita lebih menyakitinya saat berbohong.
Dan bagi kau yang dibohongi...
Kamu mungkin akan merasa terkhianati.
Kamu mungkin akan merasa bahwa sungguh dunia ini hanya dibanjiri dengan dusta.
Lalu jika yang membohongimu adalah orang yang paling dekat denganmu, orang yang sebelumnya paling kamu percaya, orang yang kamu pikir tidak akan pernah membohongimu, mungkin kamu akan merasakan kecewa yang sangat luar biasa.
Mungkin kamu merasa berhak untuk marah.
Mungkin kamu akan merasa sebagai orang yang paling dikecewakan.
Mungkin kamu akan merasa semua kepercayaanmu kepadanya hanyalah sampah.
Mungkin kamu tidak ingin melihatnya lagi, atau sekadar mendengarnya berkata-kata.
Aku juga.
Ditambah lagi aku bertanya-tanya "kenapa?" akan banyak hal.
Kenapa kamu berbohong?
Kenapa demi dia?
Kenapa tidak menyerah sampai aku hampir berhasil membuktikan?
Kenapa menganggapku begitu bodoh sampai menyangka aku akan percaya dengan sebuah kebohongan yang buktinya saja tidak valid?
Kenapa menganggapku begitu tenggelam dari kehidupan sosial sehingga menyangka aku tidak akan tahu kalau kamu berbohong?
Tapi, sudahlah.
Aku memaafkanmu.
Meski sejujurnya masih bertanya-tanya apakah kamu mengenalku sebaik yang kusebut-sebut pada semua orang? Apakah aku mengenalmu sebaik yang aku kira selama ini?
Meski rasanya masih tidak percaya kalau kamu lagi-lagi berbohong. Membohongiku untuk orang yang sama.
Meski kesannya tidak karena aku menulis entri yang seakan mengungkapkan kebencian luar biasa.
Aku memaafkanmu.
Tapi bukankah aku bilang bahwa aku tidak akan pernah lupa?
Saatnya ku berkata,Mungkin yang terakhir kalinya.Sudahlah lepaskan semua,
Ku yakin inilah waktunya.Mungkin saja kau bukan yang dulu lagi,
Mungkin saja rasa itu telah pergi.
Dan mungkin bila nanti,Kita kan bertemu lagi.Satu pintaku jangan kau coba tanyakan kembali,
Rasa yang ku tinggal mati.Seperti hari kemarin,Saat semua di sini.
Dan bila hatimu termenung,Bangun dari mimpi-mimpimu.
Membuka hatimu yang dulu,
Cerita saat masa lalu.Mungkin saja kau bukan yang dulu lagi,Mungkin saja rasa itu telah pergi.
Dan mungkin bila nanti,
kita kan bertemu lagi.Satu pintaku jangan kau coba tanyakan kembali,
Rasa yang ku tinggal mati.
Seperti hari kemarin,
Saat semua di sini.
Tak usah kau tanyakan lagi,Simpan untukmu sendiri.Semua sesal yang kau cari,Semua rasa yang kau beri.
Mungkin nanti baru akan kumengerti.
Entah dari jendela mana lagi aku harus melihat untuk bisa memperoleh gambaran jelas tentangmu. Sebab semua jendela telah tertutup untukku.
Perihal masa depan adalah rahasiaNya. Apa yang bisa dilakukan manusia selain mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan? Berusaha, berdoa, lalu bersabar.
Kita perlu bersiap diri untuk menghadapi masa depan. Kita boleh melihat kembali ke masa lalu dan belajar dari apa yang telah terjadi. Tapi kita hidup untuk hari ini. Jadi hargailah apa yang ada saat ini. Setiap detik yang berlalu, proses, dan segala pembelajaran. Sebab ketika hari ini berlalu, bagi kita, makhluk yang senantiasa berubah terhadap waktu, tak akan ada kata kembali untuk menjalani sesuatu yang telah berlalu.
Jika biasanya pertanyaan datang dari banyak orang, saya justru malah bertanya kepada diri saya sendiri.
“Kenapa FTSL? Kenapa Teknik Sipil?”
Jurusan ini bahkan tidak pernah terbesit sekalipun sampai dua bulan sebelum pendaftaran SNMPTN Undangan ditutup. Saya ingat sekali mengapa tiba-tiba jurusan ini muncul dibenak saya: karena angket. Saat itu sekitar bulan November semester kelima saya di Insan Cendekia. Guru BK kami, Ibu Rini, meminta kami untuk menuliskan universitas dan jurusan harapan kami di secarik kertas. Sebanyak mungkin yang terpikir oleh kami.
“Kenapa FTSL? Kenapa Teknik Sipil?”
Jurusan ini bahkan tidak pernah terbesit sekalipun sampai dua bulan sebelum pendaftaran SNMPTN Undangan ditutup. Saya ingat sekali mengapa tiba-tiba jurusan ini muncul dibenak saya: karena angket. Saat itu sekitar bulan November semester kelima saya di Insan Cendekia. Guru BK kami, Ibu Rini, meminta kami untuk menuliskan universitas dan jurusan harapan kami di secarik kertas. Sebanyak mungkin yang terpikir oleh kami.
Apa yang saya tulis? Saya sendiri kurang yakin. Mungkin Aerospace Engineering, atau Teknik Informatika, atau Matematika? Entahlah, saya lupa. Yang saya pikirkan waktu itu adalah saya mampu berjuang di jurusan apapun, kecuali yang berkaitan dengan biologi. Wajar mengingat nilai biologi saya memang jarang selamat dari remedial.
Lalu, iseng, saya mengintip kertas milik teman-teman saya yang lain. Muncul lah jurusan-jurusan baru untuk saya jadikan referensi: Teknik Elektro, Teknik Sipil, Teknik Industri, Teknik Perminyakan, Teknik Metalurgi, Meteorologi, Geodesi, dan jurusan-jurusan lainnya yang masih berputar di teknik.
Dari semua referensi jurusan yang saya miliki, saya hari itu juga melingkari Teknik Sipil. Begitu saja. Tanpa alasan A, B, C. Hanya merasa bahwa itulah jalan saya. Hanya merasa bahwa dengan itu saya akan bisa berbuat banyak. Hanya merasa bahwa saya mampu menikmatinya.
Mulai hari itu ketika teman-teman bertanya saya mau kuliah dimana, saya akan langsung menjawab “FTSL ITB” dengan mantap, tanpa keraguan, seakan keputusan itu telah saya ambil sejak lama dengan pertimbangan yang sangat matang.
Lalu beberapa bulan setelahnya, pengumuman undangan keluar dan saya lulus, saya menjadi mahasiswa FTSL ITB 2014. Alhamdulillah. Satu lagi nikmat Allah SWT yang seringkali saya lupakan. Bahwa saya diberi kesempatan untuk berkuliah, di ITB pula, di jurusan satu-satunya yang saya pilih ketika saya mendaftar SNMPTN Undangan.
Saya menjalani masa-masa TPB dengan cukup santai. Teman-teman yang lain berjuang untuk jurusan idamannya. Lalu saya sendiri? Jarang belajar, hanya memanfaatkan apa yang saya dapatkan di kelas. Jarang mengerjakan tutorial kecuali jika ditugaskan, hanya membaca buku kumpulan soal. Saya menjalaninya biasa saja, dengan target yang masih memungkinkan saya untuk berkemahasiswaan di terpusat. Saya tidak tahu apakah saya masih berdiri di atas pilihan yang sama pada saat itu. Diantara lima pilihan jurusan di FTSL, apakah saya akan tetap memilih Teknik Sipil saat kenaikan tingkat nanti? Atau saya akan berpindah? Saat itu saya gamang. Saya tidak tahu apa yang harus saya perjuangkan. Saya belum memilih lagi, dan saya pun belum pasti bertahan pada pilihan yang sama.
Setahu teman-teman yang lain, saya selalu bertahan pada pilihan awal. Tapi Ibu saya tahu, seperti apa saya bingung dan meminta pendapat beliau tentang jurusan apa yang memungkinkan untuk saya ambil. Orang lain boleh tahu keresahan saya setelah saya berhasil keluar dari keresahan tersebut.
Mei 2015, kadwil cukup membantu saya. Saya membuka mata terhadap jurusan-jurusan lain. Bertanya lebih banyak, mendapat jawaban lebih banyak. Saya tetap belum bisa condong ke salah satu diantara lima. Maka saya melakukan sistem eliminasi. Saya urutkan jurusan-jurusan FTSL sesuai dengan minat dan kemampuan saya hingga menyisakan satu jurusan di urutan pertama: Teknik Sipil. Maka malam itu, saya mengambil keputusan untuk yang kedua kalinya. (Jika ada yang pernah mendengar saya mengemukakan alasan-alasan yang berbau idealisme, mereka muncul setelah saya mengambil keputusan. Beberapa kalimat itu bukan menjadi alasan mengapa saya memilih, tapi ide-ide yang muncul setelah saya memilih.)
Berbulan-bulan telah berlalu sejak keputusan pertama jatuh. Hari ini saya ingin mencari, sebelah mana dari langkah yang telah saya ambil yang kira-kira keliru? Bagian mana yang salah sehingga beberapa hari belakangan ini saya selalu bertanya-tanya, “Kenapa saya ambil Teknik Sipil?”? Kenapa semakin saya mendalami ilmu ini justru keilmuan lain yang terlihat lebih menarik? Apa saya salah jurusan? Tapi saya sendiri tidak tahu mau jurusan apa kalau bukan yang saya jalani sekarang ini. No idea. So, in conclusion, I’ll just let times flow. ‘Cause, once I step forward, there is no way back, isn’t it?
Dari semua referensi jurusan yang saya miliki, saya hari itu juga melingkari Teknik Sipil. Begitu saja. Tanpa alasan A, B, C. Hanya merasa bahwa itulah jalan saya. Hanya merasa bahwa dengan itu saya akan bisa berbuat banyak. Hanya merasa bahwa saya mampu menikmatinya.
Mulai hari itu ketika teman-teman bertanya saya mau kuliah dimana, saya akan langsung menjawab “FTSL ITB” dengan mantap, tanpa keraguan, seakan keputusan itu telah saya ambil sejak lama dengan pertimbangan yang sangat matang.
Lalu beberapa bulan setelahnya, pengumuman undangan keluar dan saya lulus, saya menjadi mahasiswa FTSL ITB 2014. Alhamdulillah. Satu lagi nikmat Allah SWT yang seringkali saya lupakan. Bahwa saya diberi kesempatan untuk berkuliah, di ITB pula, di jurusan satu-satunya yang saya pilih ketika saya mendaftar SNMPTN Undangan.
Saya menjalani masa-masa TPB dengan cukup santai. Teman-teman yang lain berjuang untuk jurusan idamannya. Lalu saya sendiri? Jarang belajar, hanya memanfaatkan apa yang saya dapatkan di kelas. Jarang mengerjakan tutorial kecuali jika ditugaskan, hanya membaca buku kumpulan soal. Saya menjalaninya biasa saja, dengan target yang masih memungkinkan saya untuk berkemahasiswaan di terpusat. Saya tidak tahu apakah saya masih berdiri di atas pilihan yang sama pada saat itu. Diantara lima pilihan jurusan di FTSL, apakah saya akan tetap memilih Teknik Sipil saat kenaikan tingkat nanti? Atau saya akan berpindah? Saat itu saya gamang. Saya tidak tahu apa yang harus saya perjuangkan. Saya belum memilih lagi, dan saya pun belum pasti bertahan pada pilihan yang sama.
Setahu teman-teman yang lain, saya selalu bertahan pada pilihan awal. Tapi Ibu saya tahu, seperti apa saya bingung dan meminta pendapat beliau tentang jurusan apa yang memungkinkan untuk saya ambil. Orang lain boleh tahu keresahan saya setelah saya berhasil keluar dari keresahan tersebut.
Mei 2015, kadwil cukup membantu saya. Saya membuka mata terhadap jurusan-jurusan lain. Bertanya lebih banyak, mendapat jawaban lebih banyak. Saya tetap belum bisa condong ke salah satu diantara lima. Maka saya melakukan sistem eliminasi. Saya urutkan jurusan-jurusan FTSL sesuai dengan minat dan kemampuan saya hingga menyisakan satu jurusan di urutan pertama: Teknik Sipil. Maka malam itu, saya mengambil keputusan untuk yang kedua kalinya. (Jika ada yang pernah mendengar saya mengemukakan alasan-alasan yang berbau idealisme, mereka muncul setelah saya mengambil keputusan. Beberapa kalimat itu bukan menjadi alasan mengapa saya memilih, tapi ide-ide yang muncul setelah saya memilih.)
Berbulan-bulan telah berlalu sejak keputusan pertama jatuh. Hari ini saya ingin mencari, sebelah mana dari langkah yang telah saya ambil yang kira-kira keliru? Bagian mana yang salah sehingga beberapa hari belakangan ini saya selalu bertanya-tanya, “Kenapa saya ambil Teknik Sipil?”? Kenapa semakin saya mendalami ilmu ini justru keilmuan lain yang terlihat lebih menarik? Apa saya salah jurusan? Tapi saya sendiri tidak tahu mau jurusan apa kalau bukan yang saya jalani sekarang ini. No idea. So, in conclusion, I’ll just let times flow. ‘Cause, once I step forward, there is no way back, isn’t it?
Kalau saya tidak bisa menemukan tempat lain untuk saya pilih, maka saya akan temukan alasan-alasan yang akan menahan saya tetap tinggal. Di saat seperti ini, daripada teman yang mencarikan tempat lain untuk saya pilih, saya lebih membutuhkan teman yang menahan saya agar tetap tinggal. Sebab seperti yang kita tahu, pindah, apapun bentuknya, bukan perkara mudah dan resikonya kadang tak sebanding dengan manfaatnya.
Waktu itu berjalan dengan kecepatan yang sama saja. Berpindah 1/60 busur lingkaran setiap detiknya. Hanya saja ia tak pernah berjalan mundur sehingga jalannya waktu bergantung kepada seseorang memandangnya: sebagai masa lalu atau sebagai masa depan.
Rasanya baru beberapa hari yang lalu, saat aku berada di dalam GSG mengiringi wisuda angkatan 15 Insan Cendekia. Menyaksikan serangkaian prosesi wisuda untuk pertama kalinya. Lalu aku berandai tentang bagaimana aku ketika saatku tiba. Aku merasa waktu berjalan sangat lama. Aku ingin cepat sampai pada hari itu. Hari dimana aku bisa keluar dari kampus tanpa kartu izin, hari dimana aku dengan bangga bisa berkata bahwa aku adalah bagian dari IAIC.
Kemudian...
Setelah waktu yang terasa hanya beberapa hari berselang dari itu, giliranku tiba. Aku yang berada di dalam GSG, duduk di bangku wisudawan, mengenakan pakaian cantik yang sama dengan teman-temanku yang lain, menyenandungkan asmaul husna sebagai pengesahan pencabutan statusku sebagai seorang siswi. Aku merasa waktu berjalan begitu cepat sebab sesuatu yang seharusnya masih ada malah tertinggal di belakang sebagai masa lalu. Waktu tidak berkenan untuk memperlambat jalannya agar sesuatu yang tertinggal dapat menyusul.
Dan hari ini...
Mengarak para wisudawan HMS membuat aku merasa waktu berjalan terlalu cepat dan terlalu lambat pada saat yang bersamaan. Terlalu cepat sebab aku teringat momen wisudaku dari Insan Cendekia dan merasa bernostalgia. Terlalu lambat sebab rasanya aku masih akan sangat lama untuk sampai pada giliranku.
Terbukti bahwa jalannya waktu sungguh relatif, tergantung bagaimana seseorang memandangnya.
Rasanya baru beberapa hari yang lalu, saat aku berada di dalam GSG mengiringi wisuda angkatan 15 Insan Cendekia. Menyaksikan serangkaian prosesi wisuda untuk pertama kalinya. Lalu aku berandai tentang bagaimana aku ketika saatku tiba. Aku merasa waktu berjalan sangat lama. Aku ingin cepat sampai pada hari itu. Hari dimana aku bisa keluar dari kampus tanpa kartu izin, hari dimana aku dengan bangga bisa berkata bahwa aku adalah bagian dari IAIC.
Kemudian...
Setelah waktu yang terasa hanya beberapa hari berselang dari itu, giliranku tiba. Aku yang berada di dalam GSG, duduk di bangku wisudawan, mengenakan pakaian cantik yang sama dengan teman-temanku yang lain, menyenandungkan asmaul husna sebagai pengesahan pencabutan statusku sebagai seorang siswi. Aku merasa waktu berjalan begitu cepat sebab sesuatu yang seharusnya masih ada malah tertinggal di belakang sebagai masa lalu. Waktu tidak berkenan untuk memperlambat jalannya agar sesuatu yang tertinggal dapat menyusul.
Dan hari ini...
Mengarak para wisudawan HMS membuat aku merasa waktu berjalan terlalu cepat dan terlalu lambat pada saat yang bersamaan. Terlalu cepat sebab aku teringat momen wisudaku dari Insan Cendekia dan merasa bernostalgia. Terlalu lambat sebab rasanya aku masih akan sangat lama untuk sampai pada giliranku.
Terbukti bahwa jalannya waktu sungguh relatif, tergantung bagaimana seseorang memandangnya.
Kau boleh mengenang masa lalu, mempersiapkan masa depan, tapi hiduplah untuk hari ini.
Jika bahkan tak pernah terpikir, lantas mengapa alam bawah sadar bisa membaca?
Jika urusan lain telah menyibukkan, lantas mengapa harus sempat bertemu dalam mimpi?
Jika hidup yang sekarang sudah biasa saja, lantas mengapa masih saja mengintip kehidupan satu sama lain?
Apa memang tak ada ujumgnya?
Atau hanya aku yang tak bisa menegaskan mana yang kupijak?
Lalu, aku harus berdiri dimana?
Meski yang kau hitung adalah yang telah kau lalui di belakang, sesungguhnya apa yang akan kau hadapi adalah yang ada di depan sana. Lalu disaat kau sibuk menambah hitunganmu, mereka sedang menata diri untuk menghadapi tantangan masa depan.
Jadi ceritanya adalah mau team bonding bareng temen-temen AMI 2016. Lalu tulis daftar hadir di grup line seperti biasa. Bau-baunya sih wacana, soalnya pada respon nggak bisa gitu. Sebelumnya, rencana ngecamp di Cisanti atau Cileunca (jadi inget sospol :"), tapi pada gabisa. Ada yang osjur, ada yang ngosjur, ada yang punya kepentingan lain. Akhirnya rencana berubah. Jadinya kumpul di kubus jam 7 pagi.
Tapi apa daya, namanya si mahasiswa ITB ini semua terlalu mager untuk bangun pagi, jadilah jam setengah 8 pagi kita baru berlima. Ada aku, Julia, Kak Cete, Kak Faza, dan Kak Syauqi. Orang-orang yang tadinya mau ikut, mungkin melihat partisipasi yang kurang jadi agak enggan. Akhirnya kita susun rencana mau kemana, akomodasi gimana, pokoknya nggak mau tau hari ini HARUS JADI. Nggak boleh enggak, nggak boleh berakhir wacana.
Kita mikir nih gimana caranya kita bisa pergi sedangkan kita berlima dan motor cuma ada dua. Terus, Julia sama Kak Faza akhirnya jemput Kak Fachri dengan harapan akan mendapat tambahan motor. Alhamdulillah, Kak Fachri datang bersama satu unit sepeda motor. Setelah motor cukup, lalu ada lagi yang kurang: helm. Helmnya kurang dua ternyata. Kepikiran minjem di parkir SR atau Sipil, tapi ternyata apa daya helmnya sudah lenyap dipinjem yang lain.
Belum selesai masalah helm, muncul lah Kak Pras di kubus dan personel kami bertambah satu. Masalah pun bertambah satu: motornya kurang lagi. Kekurangan motor dan helm ini kemudian terselesaikan berkat Kak Faza yang mencari bantuan ke sekre HMM, dan Kak Syauqi yang mencari bantuan ke kosannya sendiri.
Akhirnya, jam setengah 10 kami bisa berangkat ke tempat tujuan.
Inilah beberapa dokumentasi hasil jalan-jalan hari ini.
Wacana? Kata siapa?
Itu mukanya Kak Faza kenapa? :o |
Kalau megang kamera emang kerjanya moto doang :( |
Ini di checkpoint pertama :) |
Foto ala-ala yang cowoknyaa |
Yang cewek ga mau kalah ala-ala |
Selfie by Kak Fachri |
Mau keren ceritanya |
Selfie by Julia |
Senggang tidak selalu berarti baik.
Buktinya di saat senggang aku malah terpikir tentang hal-hal yang sebetulnya tidak penting untuk dipikirkan. Mencari tahu tentang beberapa teman dan mencari tahu apa yang terjadi di masa lalu mereka. Bungkam setelah tau, menyimpan pengetahuan itu untuk diriku sendiri. Cukup agar aku tahu bagaimana bersikap terhadap orang tersebut.
Lalu aku berpikir tentang kisahku sendiri. Tentang apa yang terjadi di masa laluku. Siapa-siapa yang pernah mengisinya, dan apa yang pernah terjadi diantara kami,
Ada satu topik tentang masa lalu yang agaknya selalu menarik untuk diceritakan: asmara.
Dan entri ini akan khusus bercerita tentang itu. Biarkan cerita ini, seperti cerita-ceritaku yang lainnya, terabadikan lewat kata-kata di blog ini.
Ada dua orang yang pernah kujadikan objek baper (halah) dan terhitung sebagai masa lalu. Pertama teman SD (parah juga ya anak kecil -_-) dan kedua teman SMP.
Teman SD ini, sebut saja A, adalah orang pertama yang membuatku kagum terhadapnya. Dia pintar, baik, lumayan aktif di sekolah, dan jujur saja rupanya lumayan. Jujur saja kalau aku membuka buku harianku di masa-masa itu, aku rasanya nggak sanggup membaca. Antara malu, sedih, dan ingin tertawa terbahak-bahak. Bahasanya norak parah. Untungnya, beda banget nih sama anak SD sekarang yang jelas-jelas berlebihan karena tontonan yang kurang terkontrol. Sampai entri ini ditulis, aku nggak pernah bilang ke dia kalau aku somehow kagum sama dia pada saat itu. Walaupun aku nggak pernah bilang, dia tau dari temannya tentang bagaimana aku ke dia. Entah kenapa dimana-mana teman itu biasanya jauh lebih peka daripada objek yang sesungguhnya. Sampai sekarang aku sama dia masih nggak bisa ngobrol biasa kalau lagi reuni lantaran teman-teman yang lain masih suka ngeledek. Tapi, kalau lewat chat kami udah bisa ngobrol seperti aku ngobrol sama teman-teman SD yang lain.
Sekarang dia udah jadi keren banget. Menjuarai kompetisi desain internasional gitu dan kalau hasil kepo-kepo dia sepertinya udah kerja di salah satu brand. Dia juga denger-denger mau mulai kuliah tahun ini. Terus dia udah keren dan aku masih disini-sini aja -_-
Yang kedua temen SMP, sebut saja B. Kalau dia, sepertinya aku memang agak error pada waktu itu. Dia jago basket, tinggi, lumayan lah wajahnya, punya mimpi yang luar biasa, dan lain-lain. Aku nggak tau kenapa dulu aku bisa suka sama dia. Aku adalah orang yang lebih mudah jatuh hati pada pemikiran daripada penampilan, tapi orang ini adalah pengecualian sepertinya. Beda dengan si A tadi, aku berteman cukup dekat dengan orang ini. Tapi sepertinya dia memang "cukup dekat" dengan semua orang. Dia orang yang baik, kadang terlalu baik malah. Apa lagi ya? Entahlah banyak detail yang sudah terlupakan. Lagipula sudah empat tahun lewat kan? Aku pernah bilang langsung ke dia kalau aku pernah suka sebelum aku pergi sekolah asrama. Hanya bilang, tidak berharap jawaban atau meminta komitmen. Sebab akal sehatku berkata aku harus melupakannya, entah apa alasannya. Sampai hari ini kami selalu hanya teman. Tak ada yang membiarkannya menjadi lebih.
Dia sekarang sedang sekolah pilot entah dimana. Kadang dia muncul di home medsos, tapi aku memutuskan untuk tidak menyapa. Urung, Bahkan saat reuni, aku tak menegurnya. Kenapa harus seperti itu? Entah aku juga tidak tahu. Aku hanya merasa enggan.
Dan itulah kisahku tentang dua orang teman yang kini menjadi masa lalu. Tidak baik memang memutus tali silaturahim, tapi kalau keberadaanku membuat mereka tidak nyaman aku tidak pernah ingin memaksakan.
Itu cerita tentang orang-orang yang pernah membuatku kagum dan tertarik. Kalau orang-orang yang pernah terang-terangan bilang kalau dia tertarik padaku lain lagi. Tapi, biar saja yang itu kusimpan sendiri :v
Kalau sekarang siapa?
Sekarang aku sedang menikmati kegiatan-kegiatan kampus. Tidak ingin memikirkan hal-hal semacam itu dulu. Biar saja nanti ada yang datang saat waktunya tiba. Tapi jika wantunya belum tiba, aku bisa apa selain menunggu?
Siapa yang tahu?
Bisa saja sebenarnya aku sudah memulai kisah yang lain, hanya aku saja yang belum sadar bahwa aku sedang berada dalam kisah yang sedang mengalir.
Bukankah ini semua hanya tentang cerita?
Apa itu jatuh cinta?
Mungkinkah jatuh cinta hanya soal pas atau tidak? Atau lebih dari itu? Benarkah jatuh cinta lahir karena kenyamanan? Lalu mengapa banyak orang bilang jatuh cinta pada pandangan pertama itu ada? Apakah itu berarti jatuh cinta hanya soal impresi? Bagaimana seseorang bisa tahu kalau dia jatuh cinta? Apa memang ada tandanya? Atau ternyata hanya otak yang mendoktrin kalau si individu sedang jatuh cinta?
Mengapa seseorang bisa jatuh cinta?
Apa ada alasan dibaliknya? Mungkinkah karena santun sifatnya? Atau bisakah karena sangat baik rupanya? Kemudian apa yang terjadi jika alasan itu hilang? Jika santunnya berganti lantas akankah cinta tak lagi jatuh? Saat rupanya tak lagi baik karena usia akankah jatuh cinta hanya tinggal sejarah?
Benarkah setiap orang berhak jatuh cinta?
Lantas mengapa patah hati itu ada? Bukankah dengan patah hati berarti dia tak bisa jatuh cinta pada orang yang bersangkutan? Berarti itu namanya dia tidak bisa kan jatuh cinta? Jika benar setiap orang berhak jatuh cinta? Mengapa masih saja ada yang berbohong dan menutup-nutupinya? Karena malu kah? Atau hanya enggan? Bukankah setiap orang berhak?
Jadi, konsep jatuh cinta itu seperti apa?
Mungkinkah jatuh cinta hanya soal pas atau tidak? Atau lebih dari itu? Benarkah jatuh cinta lahir karena kenyamanan? Lalu mengapa banyak orang bilang jatuh cinta pada pandangan pertama itu ada? Apakah itu berarti jatuh cinta hanya soal impresi? Bagaimana seseorang bisa tahu kalau dia jatuh cinta? Apa memang ada tandanya? Atau ternyata hanya otak yang mendoktrin kalau si individu sedang jatuh cinta?
Mengapa seseorang bisa jatuh cinta?
Apa ada alasan dibaliknya? Mungkinkah karena santun sifatnya? Atau bisakah karena sangat baik rupanya? Kemudian apa yang terjadi jika alasan itu hilang? Jika santunnya berganti lantas akankah cinta tak lagi jatuh? Saat rupanya tak lagi baik karena usia akankah jatuh cinta hanya tinggal sejarah?
Benarkah setiap orang berhak jatuh cinta?
Lantas mengapa patah hati itu ada? Bukankah dengan patah hati berarti dia tak bisa jatuh cinta pada orang yang bersangkutan? Berarti itu namanya dia tidak bisa kan jatuh cinta? Jika benar setiap orang berhak jatuh cinta? Mengapa masih saja ada yang berbohong dan menutup-nutupinya? Karena malu kah? Atau hanya enggan? Bukankah setiap orang berhak?
Jadi, konsep jatuh cinta itu seperti apa?
Sore ini, setelah menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan di kampus seperti biasa aku mengecek ponsel kalau-kalau ada pesan yang masuk selama aku berkegiatan. Semuanya normal saja, kecuali satu. Ada yang kemudian berkembang menjadi menarik dari salah satu pesan yang masuk.
Andri, boleh nanya g?
Aku segera membalas pesan itu agar yang bersangkutan bisa mengajukan pertanyaannya. Lalu, tak lama kemudian pertanyaan darinya pun datang.
Menurutmu peran mahasiswa sebenernya apa sih ndri, apakah selalu di ranah pergerakan?
Aku berfikir sejenak dan mencoba menafsirkan pertanyaannya. Aku mencoba mengira-ngira, kata 'pergerakan' yang dia gunakan sebenarnya merujuk pada hal yang seperti apa. Apa mungkin pergerakan yang dia maksud disini adalah aksi atau yang dikenal dengan sebutan demo? Atau malah dia menggunakan kata 'pergerakan' untuk menjelaskan hal-hal yang lebih umum?
Lalu aku memutar ulang bincang-bincang terakhir di gedung cc barat bersama anak-anak sospol 14/15. Ketika itu, kami membahas tentang mahasiswa dan sebenarnya apa yang harusnya dilakukan oleh mahasiswa. Kami banyak membahas kajian-kajian dan hal-hal yang sudah kami lakukan sebelum hari itu, termasuk Pasar Murah yang mungkin bisa dianggap proyek besar kami. Perbincangan malam itu berakhir dengan kesimpulan bahwa seorang mahasiswa selain dia belajar, selain dia berkegiatan di dalam kampus, dia juga harus untuk memikirkan dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat.
Saat itu aku mengangguk setuju bukan karena aku paham mengapa, melainkan karena aku melihat betapa pentingnya peran mahasiswa di mata masyarakat: agent of change dan social control. Saat itu, aku hanya paham bahwa mahasiswa harus punya kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat karena pandangan yang umum di masyarakat mengenai peran mahasiswa memang sebegitu besarnya. Bagaimana tidak? Seorang mahasiswa yang notabene masih muda dan umumnya hanya sosok biasa memiliki peran sebagai agen perubahan dan kontrol sosial.
Selesai diskusi malam itu, aku menerima hal di atas sebagai alasan mengapa mahasiswa harus peduli terhadap kesejahteraan masyarakat. Tapi hari ini, setelah belajar lebih banyak hal mengenai mahasiswa dan perguruan tinggi, aku merasa alasan tersebut belumlah cukup untuk menjadi alasan keharusan atau kepatutan mahasiswa melakukan hal tersebut.
Ada alasan lain yang lebih kuat dan mengikat.
Menurut Drs. Moh. Hatta, tujuan perguruan tinggi adalah membentuk manusia susila dan demokrat yang:
(Percakapan dikutip langsung dari salah satu media sosial dan diedit seperlunya untuk keperluan publikasi tanpa mengubah makna)
Andri, boleh nanya g?
Aku segera membalas pesan itu agar yang bersangkutan bisa mengajukan pertanyaannya. Lalu, tak lama kemudian pertanyaan darinya pun datang.
Menurutmu peran mahasiswa sebenernya apa sih ndri, apakah selalu di ranah pergerakan?
Aku berfikir sejenak dan mencoba menafsirkan pertanyaannya. Aku mencoba mengira-ngira, kata 'pergerakan' yang dia gunakan sebenarnya merujuk pada hal yang seperti apa. Apa mungkin pergerakan yang dia maksud disini adalah aksi atau yang dikenal dengan sebutan demo? Atau malah dia menggunakan kata 'pergerakan' untuk menjelaskan hal-hal yang lebih umum?
Lalu aku memutar ulang bincang-bincang terakhir di gedung cc barat bersama anak-anak sospol 14/15. Ketika itu, kami membahas tentang mahasiswa dan sebenarnya apa yang harusnya dilakukan oleh mahasiswa. Kami banyak membahas kajian-kajian dan hal-hal yang sudah kami lakukan sebelum hari itu, termasuk Pasar Murah yang mungkin bisa dianggap proyek besar kami. Perbincangan malam itu berakhir dengan kesimpulan bahwa seorang mahasiswa selain dia belajar, selain dia berkegiatan di dalam kampus, dia juga harus untuk memikirkan dan memperjuangkan kesejahteraan masyarakat.
Saat itu aku mengangguk setuju bukan karena aku paham mengapa, melainkan karena aku melihat betapa pentingnya peran mahasiswa di mata masyarakat: agent of change dan social control. Saat itu, aku hanya paham bahwa mahasiswa harus punya kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat karena pandangan yang umum di masyarakat mengenai peran mahasiswa memang sebegitu besarnya. Bagaimana tidak? Seorang mahasiswa yang notabene masih muda dan umumnya hanya sosok biasa memiliki peran sebagai agen perubahan dan kontrol sosial.
Selesai diskusi malam itu, aku menerima hal di atas sebagai alasan mengapa mahasiswa harus peduli terhadap kesejahteraan masyarakat. Tapi hari ini, setelah belajar lebih banyak hal mengenai mahasiswa dan perguruan tinggi, aku merasa alasan tersebut belumlah cukup untuk menjadi alasan keharusan atau kepatutan mahasiswa melakukan hal tersebut.
Ada alasan lain yang lebih kuat dan mengikat.
Menurut Drs. Moh. Hatta, tujuan perguruan tinggi adalah membentuk manusia susila dan demokrat yang:
- Memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakatnya.
- Cakap dan mandiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan.
- Cakap memangku jabatan dan atau pekerjaan dalam masyarakat.
Mahasiswa adalah seseorang yang dididik di perguruan tinggi. Suatu lembaga yang menurut bapak pendidikan Indonesia bertujuan untuk membentuk profil seperti yang tercantum di atas.
Profil pertama yang diharapkan dari seseorang yang dididik perguruan tinggi adalah memiliki keinsafan atau kesadaran tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakatnya. Banyak paradigma di masyarakat yang mengatakan bahwa perguruan tinggi hanya untuk mendidik hardskill. Perguruan tinggi hanya untuk menambah pengetahuan di bidang keilmuan masing-masing. Oleh sebab itu, banyak orang yang lebih memilih untuk fokus terhadap kelas kuliahnya tanpa peduli dengan yang lainnya. Padahal nyatanya, tujuan yang pertama ditulis adalah yang berkaitan dengan masyarakat. Maka bukankah wajar jika dikatakan bahwa salah satu hal yang harus dilakukan mahasiswa adalah peduli akan kesejahteraan masyarakat dan memperjuangkannya? (Catatan: Dalam pernyataan tertulis kesadaran. Namun, seseorang yang sadar akan pentingnya kesejahteraan masyarakat tentu akan berjuang agar kesejahteraan tersebut dapat tercapai.)
Untuk sementara, bagiku alasan ini lebih kuat dan mengikat. Tapi, tidak menutup kemungkinan bahwa akan muncul alasan-alasan lain yang lebih tepat. Tidak masalah, asalkan aku tetap bertahan pada pendapat bahwa mahasiswa harus peduli dan berjuang untuk kesejahteraan rakyat.
Pernyataan Drs. Moh. Hatta tentang tujuan perguruan tinggi ini pada akhirnya kugunakan untuk menjawab pertanyaan temanku di awal.
Mahasiswa adalah seseorang yang dididik untuk menjadi seorang intelektual di kemudian hari..
Intelektual itu harus punya kesadaran bahwa dia bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya, mampu mengembangkan ilmu penetahuan, dan cakap memangku jabatan di masyarakat.. Pergerakan biasanya masuk di poin pertama atau keduanya.. Kalau pergerakan itu bersifat politis atau kemanusiaan dia masuk ke penjelasan pertama.. kalau pergerakan semacam riset atau inovasi sesuai keilmuan masuknya ke yang ketiga..
Dia lalu menjelaskan alasan dia menanyakan pertanyaan itu kepadaku.
Aku takut terlalu egois ndri.. di unit mungkin kita bergerak di ranah hobi. Tapi selama ini yg aku jalani g sesederhana itu.. banyak juga tuntutannya. Tapi y aku masih merasa kurang melebarkan sayap kayak temen2 yg lain.. andri contohnya
Aku lalu menjawab bahwa bergerak bisa ke arah mana saja.
Setiap orang ada ranahnya masing2 laah.. Pilihlah arah yang kira-kira sanggup kamu tempuh.. Jika kamu ingin cakupanmu luas, maka jangan terfokus pada satu saja.. Carilah wadah lain untukmu bergerak..
Lalu kamu yang membaca entri ini akhirnya sampai pada sesuatu yang kusebut sangat menarik dari pertanyaannya di awal tadi. Menarik karena seseorang yang kukenal dekat, seseorang yang tidak begitu akrab dengan kajian, seseorang yang kukira sederhana ternyata memikirkan sesuatu yang tidak pernah kuduga, Dia memikirkan tentang hak masyarakat yang ada pada dirinya sebagai mahasiswa.
Aku pun bertanya pada diriku sendiri, "Yang aku lakukan selama ini benarkah untuk masyarakat atau hanya untuk diriku sendiri? Benarkah demi kesejahteraan atau hanya untuk memuaskan keinginanku untuk bergerak karena aku memang tidak bisa tidak melakukannya?"
Jika kamu yang membaca entri ini juga adalah seorang mahasiswa, tidakkah satu pertanyaan besar muncul di benakmu?
Lantas, apakah aku egois?
(Percakapan dikutip langsung dari salah satu media sosial dan diedit seperlunya untuk keperluan publikasi tanpa mengubah makna)
Apa kamu yakin berangkat?
Sambil menahan sakit di kakiku aku mengangguk yakin. Ku selipkan jarum terakhir di jilbabku lalu beranjak dari depan cermin. Sambil berjalan perlahan menyeret kakiku yang masih sedikit memar, kuraih tas tangan yang tergantung di dekat pintu kamarku. Dengan mantap aku melangkah keluar rumah dan bergegas. Aku yakin aku akan baik-baik saja.
Apa kamu yakin bisa berjalan naik?
Aku menjawab dengan santai dan tanpa beban, memberikan senyum terbaik yang bisa kuberikan pada teman-temanku. Aku yakin, meskipun memang aku merasa sepatu sandal yang kukenakan terlalu kecil dan menekan memarku secara berlebihan. Aku harus yakin karena aku harus meyakinkan mereka bahwa aku akan baik-baik saja.
Apa kamu yakin tidak mau menghampirinya dan mengucapkan sesuatu?
Aku tertawa dan mengangguk. Mencoba mengelak dengan berkata. "Memangnya apa yang harus kulakukan?" Mereka bertindak sedikit kelewatan, tidak mengerti betapa anehnya jika aku melakukan hal itu betapapun inginnya aku. Aku pun hanya membiarkan waktu berlalu seperti normal saja. Bukankah aku bilang bahwa aku akan baik-baik saja?
Apa kamu yakin membiarkan kesempatan ini lewat begitu saja?
Aku menarik lengan temanku dan bertanya polos, "Memangnya kesempatan apa sih?" Pada akhirnya dia dan teman-temanku berhenti bertanya dan bereaksi berlebihan. Waktu berlalu dan hari pun berganti. Aku tertawa, bercanda, dan bercerita tentang banyak hal tentang teman-temanku. Jadi, aku merasa aku pasti akan baik-baik saja.
Apakah aku yakin bahwa aku baik-baik saja?
Itulah pertanyaan besarnya. Dan seharusnya entri ini sudah menjawab pertanyaan itu.
Sambil menahan sakit di kakiku aku mengangguk yakin. Ku selipkan jarum terakhir di jilbabku lalu beranjak dari depan cermin. Sambil berjalan perlahan menyeret kakiku yang masih sedikit memar, kuraih tas tangan yang tergantung di dekat pintu kamarku. Dengan mantap aku melangkah keluar rumah dan bergegas. Aku yakin aku akan baik-baik saja.
Apa kamu yakin bisa berjalan naik?
Aku menjawab dengan santai dan tanpa beban, memberikan senyum terbaik yang bisa kuberikan pada teman-temanku. Aku yakin, meskipun memang aku merasa sepatu sandal yang kukenakan terlalu kecil dan menekan memarku secara berlebihan. Aku harus yakin karena aku harus meyakinkan mereka bahwa aku akan baik-baik saja.
Apa kamu yakin tidak mau menghampirinya dan mengucapkan sesuatu?
Aku tertawa dan mengangguk. Mencoba mengelak dengan berkata. "Memangnya apa yang harus kulakukan?" Mereka bertindak sedikit kelewatan, tidak mengerti betapa anehnya jika aku melakukan hal itu betapapun inginnya aku. Aku pun hanya membiarkan waktu berlalu seperti normal saja. Bukankah aku bilang bahwa aku akan baik-baik saja?
Apa kamu yakin membiarkan kesempatan ini lewat begitu saja?
Aku menarik lengan temanku dan bertanya polos, "Memangnya kesempatan apa sih?" Pada akhirnya dia dan teman-temanku berhenti bertanya dan bereaksi berlebihan. Waktu berlalu dan hari pun berganti. Aku tertawa, bercanda, dan bercerita tentang banyak hal tentang teman-temanku. Jadi, aku merasa aku pasti akan baik-baik saja.
Apakah aku yakin bahwa aku baik-baik saja?
Itulah pertanyaan besarnya. Dan seharusnya entri ini sudah menjawab pertanyaan itu.
"Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya dipagi dan disenja hari dengan mengharap keridhoan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." -Q.S. Al Kahfi : 28
.
.
Selamat menambah hitunganmu
Semoga kebaikan selalu terlimpah untukmu
Kamu dikuatkan olehNya
Hidupmu mendapat berkahNya
.
Terima kasih untuk ukhuwah ini
Bertemu denganmu adalah hal yang senantiasa kusyukuri sampai hari ini
.
Salam sayang untukmu sahabatku
Semoga Allah SWT senantiasa melindungimu
.
.
Aamiin
.
.
Untukmu, Azizah Muthi'ah
.
Apa dia sehat?
Sepertinya dia baik-baik saja. Kenapa?
Tak apa. Aku hanya bertanya.
Kenapa kau bertanya? Masih peduli?
Apa bertanya selalu berarti peduli? Bisa saja kan hanya basa-basi.
Aku tahu kau bukan orang yang suka berbasa-basi. Kalau kau bertanya tentang seseorang, kamu pasti peduli padanya.
Kalau kamu tahu lantas masih perlukah bertanya kenapa?
Sepertinya dia baik-baik saja. Kenapa?
Tak apa. Aku hanya bertanya.
Kenapa kau bertanya? Masih peduli?
Apa bertanya selalu berarti peduli? Bisa saja kan hanya basa-basi.
Aku tahu kau bukan orang yang suka berbasa-basi. Kalau kau bertanya tentang seseorang, kamu pasti peduli padanya.
Kalau kamu tahu lantas masih perlukah bertanya kenapa?
Moment itu ada karena kebersamaan.
Bersama keluarga.
Bersama teman.
Bersama rekan seperjuangan.
Bersama mereka yang kita sayang.
Hari ini pun berkesan karena kebersamaan.
Bersama orang-orang yang dibersamaiNya dalam ukhuwah atas namaNya.
Alhamdulillah :)
Kamu mungkin bisa diterima di universitas yang katanya terbaik di Indonesia, di jurusan yang katanya paling diperebutkan oleh putra-putri negeri ini. Tapi apa kamu bisa, berjuang sampai selesai? Sampai kamu jadi sarjana? Sampai kamu bisa berkarya? Atau kamu hanya akan lompat-lompatan kesana kemari dan tak pernah sampai ke garis akhir?Bukan mengawali.
Yang sulit adalah menjalani.
Dan lebih sulit lagi mengakhiri sampai benar-benar selesai.
Mungkin aku hanya sedang menapaki satu fase lain dalam hidupku.
Mungkin aku hanya harus lebih banyak mengerti dan memosisikan diri.
Mungkin aku hanya perlu lebih banyak mencari tahu daripada terus-terusan sok tahu.
Mungkin aku harus belajar menekan ego, menahan rasa tidak nyaman.
Ini adalah bagian dari beranjak dewasa.
Beranjak dewasa pada kisahku sendiri.
Pada cerita yang ditulis untukku sebagai tokoh utamanya.
Aku bukan penulisnya.
Aku hanya pelaku yang tidak tahu kemana sang penulis akan membawa konflik ini.
Sekilas aku terkesan harus meninggalkan semuanya.
Padahal sesungguhnya tak ada yang kutinggalkan.
Nothing to lose.
Aku hanya meninggalkan kekosongan dan omong kosong. Aku hanya meninggalkan opini dan kefanaan. Karena aku membawa serta diriku bersamaku.
Melihat dunia dari jendela kecil di kamarku selama berhari-hari membuatku sadar. Bahwa aku melihat terlalu luas hingga bahkan tak tahu harus fokus kemana.
Aku terlalu dibiaskan oleh keterbukaan hingga aku bahkan tidak bisa melihat ke dalam diriku sediri. Terlalu sibuk mencari hal-hal rasional sampai aku lupa bahwa kekuasaan mutlak itu ada.
Mungkin aku hanya harus lebih banyak mengerti dan memosisikan diri.
Mungkin aku hanya perlu lebih banyak mencari tahu daripada terus-terusan sok tahu.
Mungkin aku harus belajar menekan ego, menahan rasa tidak nyaman.
Ini adalah bagian dari beranjak dewasa.
Beranjak dewasa pada kisahku sendiri.
Pada cerita yang ditulis untukku sebagai tokoh utamanya.
Aku bukan penulisnya.
Aku hanya pelaku yang tidak tahu kemana sang penulis akan membawa konflik ini.
Sekilas aku terkesan harus meninggalkan semuanya.
Padahal sesungguhnya tak ada yang kutinggalkan.
Nothing to lose.
Aku hanya meninggalkan kekosongan dan omong kosong. Aku hanya meninggalkan opini dan kefanaan. Karena aku membawa serta diriku bersamaku.
Melihat dunia dari jendela kecil di kamarku selama berhari-hari membuatku sadar. Bahwa aku melihat terlalu luas hingga bahkan tak tahu harus fokus kemana.
Aku terlalu dibiaskan oleh keterbukaan hingga aku bahkan tidak bisa melihat ke dalam diriku sediri. Terlalu sibuk mencari hal-hal rasional sampai aku lupa bahwa kekuasaan mutlak itu ada.
Aku butuh ruang.
Dan kamu butuh waktu.
Aku dan kamu tak bisa menjadi kita.
Sebab kita tak akan ada.
Tak cukup ruang.
Tak cukup waktu.
Lantas aku harus apa?
Sedang kau pun tak bisa melakukan apa-apa.
Lantas aku ini siapa?
Sedang kau saja tak bisa kukenali rinciannya.
Lantas aku begini mengapa?
Sedang kau tetap menelan alasanmu tanpa beritahu.
Di tengah kurang ruang aku bersua.
Pada hembusan pendek-pendek tanpa suara.
Ia yang menyangsikan ragu dalam miris tawa.
Berpacu tanpa henti bersama panas udara.
Keluar menguap dengan angin terbawa.
Menghampirimu disana.
Sampai untuk kau hirup saat tepat waktunya.
Ketika aku dan kamu adalah kita.
Di Bulan Ramadhan seperti saat ini, sudah mainstream sekali ada ajakan buka puasa bersama disana dan sini. Mulai dari IAIC Region, IAIC Pusat, IAIC Community, Alumni MTs angkatan 31, sampai alumni MI 07/08. Semuanya seakan berebut ingin diletakkan di agenda bulan ini, berselang-seling dengan diklat divisi mentor OSKM ITB 2015.
Kuputuskan bahwa yang menjadi prioritasku dua minggu ke depan adalah tanggung jawabku. Jadi, setidaknya aku tidak akan di rumah sampai 6 Juli 2015. Ini mengakibatkan aku harus skip beberapa agenda buka puasa bersama yang dipersiapkan teman-temanku.
Mungkin selama di rumah, aku hanya akan menghadiri satu dari sekian banyak daftar undangan buka puasa bersama. Alasannya beragam, ada yang memang tidak bisa kuikuti dan ada yang tidak ingin kuikuti.
Tidak bisa karena tanggalnya entah kenapa tidak cocok. Padahal aku ingin sekali datang dan menghabiskan waktu bersama mereka.
Tidak ingin karena mungkin jika aku datang aku tidak akan punya kegiatan berarti.
Selain itu, aku ingin menghabiskan sisa Ramadhan dengan keluarga. Mengingat akhir-akhir ini aku jarang sekali menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga. Ditambah lagi aku juga jarang pulang dan selama dua sampai tiga minggu pertama Ramadhan aku akan menghabiskannya di Bandung.
Tak akan banyak yang mengerti, tak akan banyak yang memahami.
Namun jika mau sedikit menghayati, bukankah waktuku dengan orangtua dan adik-adikku semakin sempit seiring bertambahnya usia?
Jadi kupikir tak ada salahnya berdiam di rumah sampai waktu mencukupkan.
Kuputuskan bahwa yang menjadi prioritasku dua minggu ke depan adalah tanggung jawabku. Jadi, setidaknya aku tidak akan di rumah sampai 6 Juli 2015. Ini mengakibatkan aku harus skip beberapa agenda buka puasa bersama yang dipersiapkan teman-temanku.
Mungkin selama di rumah, aku hanya akan menghadiri satu dari sekian banyak daftar undangan buka puasa bersama. Alasannya beragam, ada yang memang tidak bisa kuikuti dan ada yang tidak ingin kuikuti.
Tidak bisa karena tanggalnya entah kenapa tidak cocok. Padahal aku ingin sekali datang dan menghabiskan waktu bersama mereka.
Tidak ingin karena mungkin jika aku datang aku tidak akan punya kegiatan berarti.
Selain itu, aku ingin menghabiskan sisa Ramadhan dengan keluarga. Mengingat akhir-akhir ini aku jarang sekali menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga. Ditambah lagi aku juga jarang pulang dan selama dua sampai tiga minggu pertama Ramadhan aku akan menghabiskannya di Bandung.
Tak akan banyak yang mengerti, tak akan banyak yang memahami.
Namun jika mau sedikit menghayati, bukankah waktuku dengan orangtua dan adik-adikku semakin sempit seiring bertambahnya usia?
Jadi kupikir tak ada salahnya berdiam di rumah sampai waktu mencukupkan.
Mentor itu bagaikan cahaya putih. Sesungguhnya ia tak hanya putih, ia terdiri dari berbagai cahaya warna. Merahnya melambangkan energi, kekuatan, dan keberanian. Birunya melambangkan kebijakan, ketenangan, dan perlindungan. Hijau melambangkan keseimbangan dan persahabatan. Kuningnya melambangkan kerjasama, kebahagian, dan kegembiraan. Ungunya melambangkan empati, intuisi, dan kepercayaan. Tak hanya itu, masih banyak warna yang ada padanya. Kesemuanya berharmonisasi membentuk cahaya putih yang menerangi jalan yang hitam gelap.Terima kasih untuk mentorku yang luar biasa kece :)
Summon: Kak Nesya, Kak Septin, Kak Kun
Pustaka:
http://kaikanika.blogspot.com/2012/03/arti-dari-setiap-warna-warna.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Dispersi
Mungkin aku hanya bisa menulis
Mungkin aku hanya bisa berkata-kata
Mungkin aku di matamu tak layak berbicara
Mungkin kamu melihat urusanku lancar-lancar saja
Mungkin kamu melihat jalanku mulus-mulus saja
Mungkin kamu melihat hidupku baik-baik saja
Tapi setiap kemungkinan belum tentu benar
Karena tiap-tiap manusia punya ujiannya masing-masing
Bersabarlah dan bersemangatlah
Terburu-buru bukanlah jalan keluar
Saat kamu ingin pergi, maka ingatlah hal-hal yang menahanmu tetap tinggal.
Saat kamu ingin menyerah, maka carilah sebanyak-banyaknya alasan untuk bangkit.
Saat kamu menyesal, kembalilah ke masa lalu dan tanyakan pada dirimu kenapa dulu kamu mengambil keputusan.
Mari kita bertanggungjawab terhadap keimanan kita, mari bertanggungjawab terhadap apa yang kita pintakan pada Allah SWT dan ingatlah bahwa kita selalu meminta yang terbaik.
Ada sesuatu yang akan semakin sulit dilakukan jika kamu semakin berusaha.
Jadi jika kamu ingin berhasil, berhentilah berusaha dan jalani saja hidupmu apa adanya.
Jangan pikirkan apa yang tak ada dan jangan takut akan masa depan.
Masa depan tak akan cepat datang dan juga tak akan terlambat datang.
Setiap waktu akan melewati begitu saja tanpa pernah berhenti.
Maka bernapaslah, jalani harimu dengan ringan, jangan berusaha lagi.
Ada sesuatu yang akan semakin sulit dilakukan jika kamu semakin berusaha.
Kamu akan semakin sulit melepas perasaanmu padanya.
Sebuah kejadian tidaklah abadi, namun lain halnya kenanganJiwanya akan tetap ada meski detailnya telah terlupakanNafasnya akan tetap terasa meski orang-orang di dalamnya tak tersisakanKesannya akan tetap tertinggal meski ingatan telah terkaburkanKenangan akan tetap bertahan meski waktu menghempas kejadian
Hari ini genap satu tahun.
Aku masih ingat betapa menariknya hari itu dengan bermacam
emosinya. Dinanti karena dekat dengan masa depan, tapi ditakuti karena lekat
dengan perpisahan. Disukai karena banyak bertabur senyuman, tapi dibenci karena
diwarnai tangisan. Terasa hangat oleh perhatian, tapi dingin karena kepergian.
Setiap seseorang sampai pada suatu hari peringatan,
seringnya ia berkata, “Terasa cepat ya! rasanya baru kemarin kita…”
Ya, rasanya baru kemarin kita wisuda.
Hari ini kita bisa berkata seperti itu. Tapi saat
menjalaninya, bukankah setahun tidak se”kemarin” itu? Pasti banyak hal yang
telah kita pelajari, walau merasa tidak melakukan apa-apa. Pasti banyak yang
bisa kita bagi, meski rasanya sedikit memiliki. Pasti ada orang-orang baru,
cerita baru, dan masalah baru, meskipun merasa orangnya cuma itu-itu saja dan
masalahnya juga berputar di topic yang sama. Perubahan itu selalu ada setiap
detiknya seperti napas kita, tak pernah kita lihat, jarang kita sadari, tapi
dia ada dan selalu terjadi selama kita masih hidup.
Jadi apa yang kupelajari
sejak wisuda sampai hari ini?
Aku belajar tentang kampusku dan apa-apa yang ada di
dalamnya. Mengenal dan bekerjasama dengan orang-orang baru yang tak pernah
kukenal sebelumnya. Belajar melihat permasalahan dari akarnya dan mencari
solusi dengan berbagai pertimbangan. Belajar menilai seseorang dan berkaca pada
diri sendiri. Belajar mengamati dan memahami.
Aku belajar untuk bertanggungjawab pada pilihanku. Belajar
tidak mengeluh meski banyak sekali tuntutan akademik. Belajar untuk bertahan
dan menghargai. Belajar untuk ikhlas dan mengikhlaskan. Belajar untuk tersenyum
meski tidak punya keinginan untuk itu.
Aku belajar manajemen waktu. Belajar tentang kontribusi dan
posisi. Belajar tentang niat dan tujuan. Belajar mengungkapkan kerinduan dengan
benar.
Tapi…
Yah, namanya juga
belajar.
Tidak semua membuahkan hasil maksimal. Beberapa diantaranya
hanya sedikit sekali kadar keberhasilannya, sehingga yang kudapat juga masih
sedikit. Sedikit ini masih bisa kutambah lagi dengan belajar lebih banyak dalam
waktu yang lebih lama. Itulah yang akan kulakukan.
Ibarat seorang bayi, pada saat usianya satu tahun dia sudah sedikit
terbiasa dengan dunia. Dia sudah mengerti bahasa, namun belum dapat berbicara.
Dia sudah bisa berdiri dan melangkah, namun belum paham ke arah mana kakinya
akan dibawa. Dia sudah mengenal rupa, namun belum bisa menilai tingkah laku.
Kurang lebih begitulah kita saat ini. Kita tahu bahwa kita
harus melakukan sesuatu untuk negeri ini. Tapi kita belum tahu apa yang
benar-benar bisa kita lakukan, kita belum tahu akan kemana kaki ini kita langkahkan.
Akademisi kah? Wirausahawan kah? Politikus kah? Insinyur kah? Pendidik kah? Kita
masih mencari tahu.
Kita masih belajar dan kita akan terus belajar. Mungkin saat
ini belum banyak yang kita miliki dari sekian banyak yang kita pelajari. Tapi
seperti seorang bayi berusia satu tahun, suatu hari nanti dia akan bisa
berbicara, ia akan mampu menentukan kemana ia akan berjalan, ia akan mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Yang dibutuhkannya hanya waktu
untuk terus belajar.
Maka itu yang kita butuhkan, waktu.
Andriana Kumalasari
31 Mei 2015
31 Mei 2015
00:00 (UT+7)
Ini tugas kadwil sebenernya. Tapi, yaa agak makasih juga sih dapet tugas kayak gini, jadi aku inget buat nulis apa yang ingin aku lakukan dalam beberapa tahun ke depan. Mungkin suatu hari aku akan membuka tulisan ini lagi sambil senyum-senyum membayangkan apa yang ada di kepalaku waktu menuliskannya :D
Visi atau tujuan hidup menurut saya adalah hasil yang ingin dicapai
selama seseorang menjalani kehidupan. Visi adalah puncak dari pendakian seorang
manusia. Tercapai atau tidaknya suatu visi adalah indikator kesuksesan
seseorang dalam permasalahan duniawi. Seseorang bisa saja memiliki banyak
tujuan hidup, tapi pasti ada satu hal yang sangat ingin ia capai sampai ia
perjuangkan tanpa keluh dan kesah.
Saya memiliki sebuah visi dalam hidup saya. Visi yang sejak
dulu tidak pernah berubah meski jalan yang saya rencanakan selalu berubah-ubah.
Visi saya untuk masalah dunia ini adalah membawa Indonesia ke keadaan paling
ideal yang memungkinkan. Saya tahu kesempurnaan itu tidak ada. Mencari
kesempurnaan adalah sia-sia. Tapi, saya percaya mengusahakan suatu kesempurnaan
tidak pernah memberikan hasil yang buruk.
Banyak orang bilang visi saya terlalu umum, kurang spesifik.
Tapi saya merasa visi saya cukup jelas. Saya tidak pernah menginginkan suatu
jabatan tertentu. Saya juga tidak pernah menginginkan suatu profesi tertentu
atau gaji tertentu. Biar Pencipta saya yang menentukan sebagai siapa saya akan
membenahi negeri ini. Bagi saya yang penting bukanlah posisi, tapi motivasi. Keresahan
saya dengan kondisi negeri ini sudah cukup untuk memotivasi agar saya terus
bergerak.
Alasan lain yang membuat visi saya tidak begitu spesifik
adalah bidang yang saya ingin geluti sering berubah-ubah. Dulu saya sempat
ingin ambil bidang ekonomi karena penasaran dengan naik-turunnya harga BBM. Saya
juga sempat ingin ambil bidang hukum karena miris melihat ketidakadilan sebuah
lembaga yang disebut “peradilan”. Di masa-masa awal sekolah menengah saya ingin
menjadi ilmuwan karena ingin membuat penemuan untuk mengangkat nama Indonesia
di dunia ilmu pengetahuan. Setelah penjurusan, saya ingin kuliah aeronotika
karena ingin membuat pesawat asli Indonesia seperti yang dilakukan Bapak B.J.
Habibie. Keinginan terbaru saya adalah saya ingin kuliah teknik sipil untuk
membuat jalan raya yang kuat dan ramah lingkungan karena jengkel pada jalan
raya dekat sekolah yang tiap tahun harus diaspal ulang dan seringkali banjir.
Saya tahu tidak mungkin saya seorang diri bisa untuk
membenahi negeri ini. Paling-paling saya hanya bisa ikut campur di beberapa
bidang saja. Bidang ini saya pilih sesuai ketertarikan dan kemampuan yang saya
miliki. Saat ini saya masih bertahan pada keinginan terakhir, rekayasa
transportasi.
Saya sudah merencanakan apa yang akan saya lakukan setelah
ini. Jika saya diterima di jurusan Teknik Sipil, selanjutnya yang harus saya
lakukan adalah belajar dan berkemahasiswaan seperti apa yang saya lakukan saat
ini, hanya saja ada beberapa capaian kualitas yang harus saya capai.
Untuk kualitas pengetahuan, seperti sebelumnya saya tetap
berorientasi pada pendidikan bukan indeks. Manajemen tugas, praktikum, dan
kuliah harus terus saya perbaiki agar tidak ada sedikitpun materi yang
terlewati.
Untuk kualitas hubungan interpersonal atau organisasi, saya
harus bisa meningkatkan kemampuan manajemen waktu dan manajemen masa. Tetap
pertahankan keaktifan di terpusat dan tetap menyempatkan untuk berbaur dengan
masyarakat. Saya ingin mencoba mengambil sebuah kesempatan untuk mengorganisasi
langsung sebuah acara terpusat.
Begitulah kehidupan kampus yang saya rencanakan sampai saya
lulus tiga tahun yang akan datang. Saya ingin lulus tepat waktu, tidak ingin
menunda kelulusan untuk alasan apapun. Hal ini penting karena setelah lulus,
saya ingin langsung lanjut S2 ke luar negeri. Saya masih belum menentukan
negara mana karena masih melihat perbandingan perkembangan infrastruktur
transportasinya dan juga saya masih menunggu rekomendasi dari beliau-beliau
yang berpengalaman.
Setelah lulus S2, saya akan kembali ke Indonesia untuk
melakukan satu diantara dua hal berikut: melakukan penelitian tentang suatu inovasi
kuat dan ramah lingkungan dalam bidang rekayasa transportasi atau bergabung
dengan perusahaan konstruksi selama dua tahun maksimal, lalu mendirikan
perusahaan sendiri yang bertajuk konstruksi kuat dan ramah lingkungan.
Sementara ini, itu rencana saya untuk mencapai visi hidup saya. Tapi, seperti yang sudah saya katakana di atas. Saya sebagai manusia hanya bisa berencana. Biarkan Allah yang menempatkan saya di tempat manapun yang Dia kehendaki.
Entri kali ini pendek saja.
Hanya ingin berterima kasih.
Kepada mereka yang mengisi malam mingguku ini dengan obrolan
dan tawa hangat.
Kepada mereka yang begitu ributnya sampai membuatku merasa
tidak enak kepada orang-orang disekeliling kami.
Kepada mereka yang dengan canggung bertanya, “Na, pulang
sama siapa?”
Kepada mereka yang membuatku tak bisa berhenti tersenyum malam
ini.
Jika seminggu yang lalu aku melepas kepenatan dengan
berjalan sendirian.
Maka malam ini bersama kalian aku bukan hanya melepas
kepenatan, tapi juga menemukan kembali kehidupan.
Mungkin kalian tak melulu baik di mataku dan aku pun tak
melulu baik di mata kalian.
Tapi bersama kalian tetap sangat spesial.
Kalian mengajarkanku untuk tumbuh dewasa dengan cara yang
tak pernah kupikirkan.
Kalian natural.
Terima kasih , ITB Magnivic!
Mungkin aku hanya akan mengatakan ini sekali-kalinya: aku
cinta kalian, seperti semestinya seseorang mencintai, meliputi kekurangan,
kelebihan, dan semua yang ada pada kalian, kusadari maupun tidak, kuakui maupun
tidak.
Thanks for the night! You rock, guys!
Akhirnya aku keluar.
Mencari perhatian dalam keramaian.
Just like the old times, when so many things weren't alright but I was so happy to be myself and never thingking about anyone's testimony.
Beranjak dewasa bagiku adalah menurunkan ego dan meningkatkan kepekaan.
Jika dulu aku bisa berkata apapun tanpa berfikir seperti apa efek dari kata-kata itu, saat ini tak ada apapun yang bisa kukatakan karena aku takut terhadap efek yang akan ditimbulkan.
Jika dulu aku terobsesi dengan keramaian dan perhatian banyak orang, saat ini aku lebih suka tenggelam berbaur dan tak disadari kehadirannya.
Seperti itulah aku di kalangan anak-anak fakultasku.
An extrovert turned into an introvert.
Kadang ada rasa tidak nyaman, kadang ingin berekspresi maksimal seperti saat aku menulis entri blog atau saat aku bersama teman-teman IC yang luar biasa itu atau saat aku berada bersama rekan-rekan sospol yang memang menciptakan atmosfer menyenangkan.
Tapi meskipun tidak nyaman, aku merasa tenang. Karena tidak perlu menjadi siapapun. Hanya perlu menjadi mahasiswa biasa di hadapan orang-orang baru.
Tapi kemarin aku keluar dan bersenang-senang lagi.
Dengan ditemani oleh seseorang yang mengenalku sebagai orang lain.
Dengan dia yang mungkin mengira aku adalah seseorang yang kalem dan pendiam, tidak begitu suka bergaul, tidak punya banyak pengetahuan tentang kampus (apalagi tentang kemahasiswaan).
Seorang teman satu kelas yang tidak pernah tahu bahwa aku dulunya adalah seseorang yang terobsesi dengan akademik dan edukasi secara bersamaan.
Aku kembali hidup sehidup-hidupnya di tengah keramaian yang kurindukan.
Meski tak lama, karena setelah itu keramaian membuatku pusing lagi dan rasanya ingin sekali pulang.
Aku mengobati rinduku pada cinta yang lama.
Dan kini aku kembali mencintaimu, ketenangan.
Entah berapa lama lagi aku akan tetap jatuh cinta padamu.
Mungkin sampai besok, lusa, minggu depan, tahun depan, atau sama sekali takkan berhenti.
Aku berjalan perlahan menikmati senja. Menggerakkan kakiku langkah demi langkah menyusuri jalan ke tempat bernaung. Tangan kananku meremas lengan kiri dan tangan kiriku meremas lengan kanan. Berusaha menghangatkan diri di tengah rintikan air yang jatuh bergemericik dan angin dingin yang berembus menerpa wajahku.
Tidak ada yang mau berjalan sendiri di tengah hujan sambil membiarkan tetesan air itu membasahi kain yang menempel di tubuh. Senja itu tidak ada, selain aku.
Aku mendongak ke atas, memandanginya yang jatuh bersama-sama. Lalu, aku bertanya-tanya, kenapa air jatuh? Sedangkan ia tak perlah terlihat naik ke atas. Aku hanya bisa melihatnya dan merasakannya saat ia jatuh.
Yah, aku tahu tentang peristiwa penguapan air dari permukaan lalu naik ke atas, lalu terjadi tumbukan ini dan itu, suhu yang begini dan begitu, lalu ia jatuh dan kembali lagi dan bla bla bla. Itu adalah serangkaian peristiwa yang menjadi penyebab hujan. Tapi, kenapa? Kenapa saat jatuh ia terlihat, tapi saat naik ia bahkan tidak pernah terasa?
Bukan. Yang kuinginkan bukan penjelasan tentang tekanan uap atau fasa atau sesuatu seperti itu. Aku ingin sesuatu yang bisa kupahami tanpa harus membuka buku. Sesuatu yang bisa aku renungi dan analogikan dengan kehidupan yang sedang aku jalani saat ini.
Aku berhenti berjalan dan mendongak ke atas.
Mungkin sama seperti manusia. Saat seorang manusia naik ke atas, mencapai keberhasilan, rasanya pasti begitu ringan tubuhnya.Tapi saat jatuh, beban yang harus dibawanya begitu berat. Ia ingin dirangkul, ia ingin dibantu. Ia hanya ingin bersama-sama, tidak ingin sendirian. Mungkin itu sebabnya air hujan tak pernah datang sendirian.
Aku melangkah lagi, sudah cukup dekat dengan tujuanku.
Sungguh bisa terhubung jika kita mau berusaha menghubung-hubungkan. Mungkin terlihat agak memaksa. Tapi, aku rasa tidak masalah jika kesimpulannya memang sesuatu yang baik.
Aku lalu berpikir tentang diriku sendiri dan bagaimana aku menghindar dari mereka yang sebelumnya kusebut-sebut sangat memahamiku, dari mereka yang sebelumnya kubangga-banggakan sebagai keluargaku yang luar biasa hanya karena takut. Takut dengan apa yang akan mereka katakan, takut dengan apa yang belum terjadi. Takut mengakui kalau selama ini aku salah. Kalau selama ini mereka sebenarnya tidak memahamiku, mereka hanya menilaiku, dan nilai bisa didapatkan dengan mudah tanpa pemahaman. Kalau sebenarnya mereka tidak pernah menjadi tempatku kembali pulang, tidak pernah menjadi keluarga yang benar-benar keluarga. Aku terlalu takut.
Aku ingin seperti hujan yang jatuh bersama-sama. Tapi yang terjadi adalah aku jatuh sendirian, sampai akhirnya jatuh hati pada kesendirian. Aku ingin dilindungi, maka aku mencari perlindungan. Tapi aku berakhir dengan kesimpulan bahwa hanya Allah yang bisa memberiku perlindungan. Karena orang-orang menilaiku dengan kepala mereka, mereka melupakan satu faktor penting: aku adalah seorang perempuan yang ingin dinilai dengan hati.
Kakiku sampai di depan pintu. Seluruh tubuhku basah oleh air yang jatuh. Hidungku mulai tersumbat, tubuhku menunjukkan gejala-gejala kurang sehat, dan kepalaku terasa begitu berat. Aku segera menyiapkan air panas dan bersih diri. Setelah itu, aku meringkuk di tempat tidur dan terlelap.
Dua jam yang lalu aku terbangun dengan keringat bercucuran dan suhu tubuh lebih tinggi dari biasanya. Setelah menenggak parasetamol, aku mengintip gadget dan membuka beberapa pesan.
Sebuah foto dikirimkan oleh seorang teman. Entah apa yang ada di benakku saat itu. Aku hanya terdiam dan memandangi foto itu lama sekali. Aku rindu. Tapi rasa takutku lebih besar daripada rindu. Aku bahagia. Tapi, lagi-lagi rasa takutku lebih besar daripada itu.
Setelah berhasil berpaling dari foto itu, kutulis jawaban panjang untuk si pengirim foto. Intinya: Aku pasti kembali suatu saat nanti. Saat menurutku kita semua siap. Siap untuk ikhlas dan sama-sama belajar. Tidak lagi saling menyalahkan tanpa solusi dan memenangkan ego. Saat tidak ada yang akan tersakiti.
Suatu saat nanti yang aku tidak tahu kapan. Mungkin esok, lusa, bulan depan, tahun depan, atau tidak sama sekali. Aku harus siap, selalu harus siap dengan semua kemungkinan, bahkan yang terburuk sekalipun. Aku harus bisa menguatkan diriku saat aku tak bisa seperti hujan. Saat aku harus menjadi air yang jatuh sendirian. Aku harus bisa menghadapi rasa sakit jatuh bertumbukan dengan tanah dan aku akan meresap ke dalamnya sendirian. Berharap di hujan berikutnya, aku akan menjadi hujan, air yang jatuh bersama-sama.
Tidak ada yang mau berjalan sendiri di tengah hujan sambil membiarkan tetesan air itu membasahi kain yang menempel di tubuh. Senja itu tidak ada, selain aku.
Aku mendongak ke atas, memandanginya yang jatuh bersama-sama. Lalu, aku bertanya-tanya, kenapa air jatuh? Sedangkan ia tak perlah terlihat naik ke atas. Aku hanya bisa melihatnya dan merasakannya saat ia jatuh.
Yah, aku tahu tentang peristiwa penguapan air dari permukaan lalu naik ke atas, lalu terjadi tumbukan ini dan itu, suhu yang begini dan begitu, lalu ia jatuh dan kembali lagi dan bla bla bla. Itu adalah serangkaian peristiwa yang menjadi penyebab hujan. Tapi, kenapa? Kenapa saat jatuh ia terlihat, tapi saat naik ia bahkan tidak pernah terasa?
Bukan. Yang kuinginkan bukan penjelasan tentang tekanan uap atau fasa atau sesuatu seperti itu. Aku ingin sesuatu yang bisa kupahami tanpa harus membuka buku. Sesuatu yang bisa aku renungi dan analogikan dengan kehidupan yang sedang aku jalani saat ini.
Aku berhenti berjalan dan mendongak ke atas.
Mungkin sama seperti manusia. Saat seorang manusia naik ke atas, mencapai keberhasilan, rasanya pasti begitu ringan tubuhnya.Tapi saat jatuh, beban yang harus dibawanya begitu berat. Ia ingin dirangkul, ia ingin dibantu. Ia hanya ingin bersama-sama, tidak ingin sendirian. Mungkin itu sebabnya air hujan tak pernah datang sendirian.
Aku melangkah lagi, sudah cukup dekat dengan tujuanku.
Sungguh bisa terhubung jika kita mau berusaha menghubung-hubungkan. Mungkin terlihat agak memaksa. Tapi, aku rasa tidak masalah jika kesimpulannya memang sesuatu yang baik.
Aku lalu berpikir tentang diriku sendiri dan bagaimana aku menghindar dari mereka yang sebelumnya kusebut-sebut sangat memahamiku, dari mereka yang sebelumnya kubangga-banggakan sebagai keluargaku yang luar biasa hanya karena takut. Takut dengan apa yang akan mereka katakan, takut dengan apa yang belum terjadi. Takut mengakui kalau selama ini aku salah. Kalau selama ini mereka sebenarnya tidak memahamiku, mereka hanya menilaiku, dan nilai bisa didapatkan dengan mudah tanpa pemahaman. Kalau sebenarnya mereka tidak pernah menjadi tempatku kembali pulang, tidak pernah menjadi keluarga yang benar-benar keluarga. Aku terlalu takut.
Aku ingin seperti hujan yang jatuh bersama-sama. Tapi yang terjadi adalah aku jatuh sendirian, sampai akhirnya jatuh hati pada kesendirian. Aku ingin dilindungi, maka aku mencari perlindungan. Tapi aku berakhir dengan kesimpulan bahwa hanya Allah yang bisa memberiku perlindungan. Karena orang-orang menilaiku dengan kepala mereka, mereka melupakan satu faktor penting: aku adalah seorang perempuan yang ingin dinilai dengan hati.
Kakiku sampai di depan pintu. Seluruh tubuhku basah oleh air yang jatuh. Hidungku mulai tersumbat, tubuhku menunjukkan gejala-gejala kurang sehat, dan kepalaku terasa begitu berat. Aku segera menyiapkan air panas dan bersih diri. Setelah itu, aku meringkuk di tempat tidur dan terlelap.
Dua jam yang lalu aku terbangun dengan keringat bercucuran dan suhu tubuh lebih tinggi dari biasanya. Setelah menenggak parasetamol, aku mengintip gadget dan membuka beberapa pesan.
Sebuah foto dikirimkan oleh seorang teman. Entah apa yang ada di benakku saat itu. Aku hanya terdiam dan memandangi foto itu lama sekali. Aku rindu. Tapi rasa takutku lebih besar daripada rindu. Aku bahagia. Tapi, lagi-lagi rasa takutku lebih besar daripada itu.
Setelah berhasil berpaling dari foto itu, kutulis jawaban panjang untuk si pengirim foto. Intinya: Aku pasti kembali suatu saat nanti. Saat menurutku kita semua siap. Siap untuk ikhlas dan sama-sama belajar. Tidak lagi saling menyalahkan tanpa solusi dan memenangkan ego. Saat tidak ada yang akan tersakiti.
Suatu saat nanti yang aku tidak tahu kapan. Mungkin esok, lusa, bulan depan, tahun depan, atau tidak sama sekali. Aku harus siap, selalu harus siap dengan semua kemungkinan, bahkan yang terburuk sekalipun. Aku harus bisa menguatkan diriku saat aku tak bisa seperti hujan. Saat aku harus menjadi air yang jatuh sendirian. Aku harus bisa menghadapi rasa sakit jatuh bertumbukan dengan tanah dan aku akan meresap ke dalamnya sendirian. Berharap di hujan berikutnya, aku akan menjadi hujan, air yang jatuh bersama-sama.
Suatu hari ada yang bertanya, kamu kemana?
Aku terdiam dan berpikir.
Ya, aku kemana?
Mereka bilang aku lari karena takut.
Aku meraung marah, tahu apa mereka tentang aku?
Tapi mereka benar. Aku memang takut.
Tapi berlari kemana?
Aku kemana?
Mereka bilang aku berlari menjauh dari pusat, menuju ke pinggiran yang bebas dari keramaian yang menyerang.
Aku memalingkan wajah, sok tahu sekali mereka!
Tapi lagi-lagi mereka benar.
Tapi tujuanku yang sebenarnya kemana?
Mereka bilang aku akan menuju kesendirian dimana aku akan tenggelam dengan isi kepalaku sendiri.
Aku berteriak, lancang sekali mereka!
Tapi lagi-lagi dan lagi-lagi mereka benar.
Sungguh mereka begitu pandai, begitu tahu.
Lalu, kenapa mereka tak mau meluangkan waktu untuk sedikit mengerti bagaimana rasanya takut dan sendiri itu?
Sungguh kepandaian yang berlebihan.
Jika suatu hari nanti kekhawatiranmu terbukti, jangan berkecil hati. Ingatlah, Allah sedang mengajarkanmu bagaimana cara merelakan untuk sesuatu yang lebih besar ke depannya. Kamu hanyalah manusia biasa yang tidak bisa mendahului takdirNya. Ikhlas itu tak hanya disuarakan tapi juga dibuktikan.
Bismillah :)
Jika memang tak ada lagi yang mau menoleransi,
Jika memang tak ada lagi yang mau memberitahu apa yang harus kulakukan.
Jika memang tak ada lagi yang mau memberi dukungan,
Jika memang orang-orang menyalahkan tanpa memberi pemahaman,
Jika memang orang-orang memaki tanpa menyampaikan kebenaran,
Jika memang orang-orang pergi tanpa mau mendengarkan,
Jika memang tak ada lagi yang mau memberitahu apa yang harus kulakukan.
Jika memang tak ada lagi yang mau memberi dukungan,
Jika memang orang-orang menyalahkan tanpa memberi pemahaman,
Jika memang orang-orang memaki tanpa menyampaikan kebenaran,
Jika memang orang-orang pergi tanpa mau mendengarkan,
Maka, Ya Allah, cukupkanlah aku dengan hanya aku dan Engkau saja. Cukupkanlah aku dengan hanya sabar dan tersenyum untuk melalui cobaan dariMu. Cukupkanlah kekuatanku untuk melalui semuanya dengan hati ikhlas. Aamiin :)
Pernahkan kamu merasa benar-benar sendirian?
Bukan.
Bukan benar-benar sendirian tanpa siapapun di sekelilingmu. Maksudnya adalah "perasaan" sendirian. Ketika kamu kehabisan orang untuk dipercaya dan kehabisan sesuatu untuk dipercayakan.
Merasa semuanya hanya dibuat-buat dan kadang bosan karena orang-orang selalu meributkan hal itu-itu saja.
Atau ketika kamu sebenarnya punya masalah tapi kemudian kamu enggan untuk menyelesaikan karena dugaan bahwa masalah itu hanya akan berputar-putar di satu sumbu karena suatu hal tanpa bertemu dengan penyelesaian.
Ah, entahlah. Aku sedang biasa saja. Aku tidak sedih, tidak juga bahagia. Benar-benar biasa.
Aku hanya ingin teman diskusi, tapi tidak bisa percaya pada siapapun saat ini. Jadi, mauku apa?
Aku hanya perlu dirangkul dan diyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku hanya perlu bercerita tentang apa yang sedang ada di benakku. Bukan tentang orang lain, hanya tentang aku. Jika saja bisa aku egois sekali ini saja tanpa ada satu orangpun yang protes.
Aku butuh orang-orang yang bisa menyemangatiku. Ha, bukankah aku aneh? Bagaimana bisa orang tahu kalau aku saja selalu berusaha menutupi tentang diriku? Dan membentangkan jarak pada mereka yang berusaha untuk peduli?
Konyol.
Kalian tau? Aku sudah sampai tahap tidak peduli. Aku tidak peduli dengan isi kepala kalian dan bahkan aku tidak peduli seperti apa kalian menghina dan membenciku. Itu sesuka hati kalian.
I'm independent. Aku nggak perlu kalian ajak kemana-mana, kalian kasih apa-apa, kalian antar pulang, atau apapun itu. Aku tahu kalian sibuk, kalian repot, dan aku tidak mau merepotkan.
Kata seorang teman aku perlu mengingatkan. Tapi, bagaimana?
Sedang kita memandang dari sudut pandang yang berbeda. Aku selalu salah di mata kalian, seperti kalian selalu salah di mataku. Meski niatku baik, namun siapa yang bisa melihat niat, kita hanya manusia bukan?
Aku mencoba menyampaikan pesan-pesan lewat salah satu diantara kalian, tapi nyatanya tetap tak ada yang signifikan berubah. Aku pun hanya mundur teratur. Mungkin pandangan kita tentang suatu hal memang tak bisa sama. Kebenaran yang kita tau mungkin sama. Tapi suatu kesalahan adalah kompleks yang tak berujung, divergen. Tak pernah hanya satu aspek.
Lagipula di mata kalian aku tetap orang tidak berharga dengan pemikirannya yang tidak mengasyikkan bukan? Dengan kebenaran yang hanya bisa dimakan sendiri? Aku tahu di mata kalian aku seburuk itu.
Padahal, aku hanya tidak bisa. Aku tidak bisa mendengar kalian disalahkan, tidak bisa melihat teman-temanku diperlakukan tidak tepat. Aku hanya tidak bisa.
Kalau itu hanya aku, aku tidak pernah peduli. Tapi aku perempuan. Aku tidak bisa memalingkan wajahku dari "apa kata orang".
Meskipun sudut pandang kita tidak bisa sama, meskipun aku di mata kalian sehina itu, tidak bisakah sedikit saja kalian menangkap maksudku?
Tidak perlu memperlakukanku dengan baik, hanya perlakukanlah teman-temanku dengan baik.
Kalau mereka pulang malam, antarlah mereka pulang, jangan titipkan pada teman se-fakultas atau se-unit kalian yang tidak mereka kenal.
Kalau kalian semuanya berkendaraan tapi ada seorang teman yang harus jalan kaki, temanilah dia sampai naik angkutan umum, kalau kalian memang tidak mau (atau tidak bisa) mengantar sampai rumah.
Bukankah kita keluarga? Tidak bisakah memberi kepedulian untuk hal-hal kecil semacam itu? Bukankah itu tidak sulit?
I'm independent. Aku nggak perlu kalian ajak kemana-mana, kalian kasih apa-apa, kalian antar pulang, atau apapun itu. Aku tahu kalian sibuk, kalian repot, dan aku tidak mau merepotkan.
Kata seorang teman aku perlu mengingatkan. Tapi, bagaimana?
Sedang kita memandang dari sudut pandang yang berbeda. Aku selalu salah di mata kalian, seperti kalian selalu salah di mataku. Meski niatku baik, namun siapa yang bisa melihat niat, kita hanya manusia bukan?
Aku mencoba menyampaikan pesan-pesan lewat salah satu diantara kalian, tapi nyatanya tetap tak ada yang signifikan berubah. Aku pun hanya mundur teratur. Mungkin pandangan kita tentang suatu hal memang tak bisa sama. Kebenaran yang kita tau mungkin sama. Tapi suatu kesalahan adalah kompleks yang tak berujung, divergen. Tak pernah hanya satu aspek.
Lagipula di mata kalian aku tetap orang tidak berharga dengan pemikirannya yang tidak mengasyikkan bukan? Dengan kebenaran yang hanya bisa dimakan sendiri? Aku tahu di mata kalian aku seburuk itu.
Padahal, aku hanya tidak bisa. Aku tidak bisa mendengar kalian disalahkan, tidak bisa melihat teman-temanku diperlakukan tidak tepat. Aku hanya tidak bisa.
Kalau itu hanya aku, aku tidak pernah peduli. Tapi aku perempuan. Aku tidak bisa memalingkan wajahku dari "apa kata orang".
Meskipun sudut pandang kita tidak bisa sama, meskipun aku di mata kalian sehina itu, tidak bisakah sedikit saja kalian menangkap maksudku?
Tidak perlu memperlakukanku dengan baik, hanya perlakukanlah teman-temanku dengan baik.
Kalau mereka pulang malam, antarlah mereka pulang, jangan titipkan pada teman se-fakultas atau se-unit kalian yang tidak mereka kenal.
Kalau kalian semuanya berkendaraan tapi ada seorang teman yang harus jalan kaki, temanilah dia sampai naik angkutan umum, kalau kalian memang tidak mau (atau tidak bisa) mengantar sampai rumah.
Bukankah kita keluarga? Tidak bisakah memberi kepedulian untuk hal-hal kecil semacam itu? Bukankah itu tidak sulit?
Kamu boleh saja berada diantara mereka. Kamu boleh bertukar pikiran. Kamu boleh mengambil ilmu yang mereka miliki sebanyak-banyaknya. Tapi ingatlah, tetap berpegang pada prinsip hidupmu sendiri. Batasi dirimu dengan garis yang kau tarik sendiri. Jangan pernah geser garismu. Jika kamu sudah bisa melakukannya, maka kau siap memulai hidupmu sendiri, dengan keputusanmu sendiri. Kamu boleh jauh dari siapapun, tapi jangan pernah jauh dari Penciptamu. Jangan pernah keluar dari jalanNya.Ujarku suatu hari pada diriku sendiri,
Senja bertanya,
kemana pandangmu kau akhirkan
untuk siapa senyumku kukembangkan
untuk apa waktunya dia korbankan
bagaimana takdir bisa bertahan?
Senja menyapa,
padamu hati yang diliputi ketidakpastian
padaku diri yang tak siap pada perubahan
padanya jiwa yang selalu menenangkan
pada takdir nyata yang tak tertahankan
Senja bergurau,
denganmu selalu penuh harapan
denganku muak pada kehidupan
dengannya tertawa dalam perjalanan
dengan takdir bermain dalam kerisauan
Senja mengungkap cerita,
tentang kamu
tentang aku
tentang dia
tentang takdir
Senja ini,
hanya berusaha menyampaikan kejujuran
kemana pandangmu kau akhirkan
untuk siapa senyumku kukembangkan
untuk apa waktunya dia korbankan
bagaimana takdir bisa bertahan?
Senja menyapa,
padamu hati yang diliputi ketidakpastian
padaku diri yang tak siap pada perubahan
padanya jiwa yang selalu menenangkan
pada takdir nyata yang tak tertahankan
Senja bergurau,
denganmu selalu penuh harapan
denganku muak pada kehidupan
dengannya tertawa dalam perjalanan
dengan takdir bermain dalam kerisauan
Senja mengungkap cerita,
tentang kamu
tentang aku
tentang dia
tentang takdir
Senja ini,
hanya berusaha menyampaikan kejujuran
Bukan di studio memang dan nggak lengkap pula. Tapi tetap berkesan.
Terima kasih untuk beberapa bulan terakhir ini, teman-teman sospol smile emoticon
Perjalanan ini benar-benar memberikan banyak pengalaman baru dan membuka mataku pada sudut lain dari negeri ini.
Terima kasih untuk Mata Timy, RTS, Pasar Murah, Makrab, dan hal-hal lainnya yang sudah kita kerjakan dan mengajarkanku banyak hal.
Mungkin setelah ini aku akan melihat kalian di sisi lain kampus dengan kesibukan yang berbeda-beda. Tapi, pasti kalian akan tetap menjadi orang-orang yang siap berjuang untuk kemahasiswaan yang lebih dekat dengan rakyat dan untuk negeri kita smile emoticon
Mari bersemangat!
Katanya kamu sekarang murni, katanya kamu sudah biasa saja.
Tapi, apa kamu yakin?
Apa kamu sudah tak pernah berhenti lebih lama saat membaca suatu nama?
Apa kamu sudah tak pernah merasa ada sesuatu yang aneh setiap melihat postingannya di media sosial?
Apa kamu sudah tak menyimpan kekaguman berlebihan pada tulisan-tulisannya?
Apa kamu sudah tidak gemetar dan bimbang saat mengirimkan pesan singkat padanya?
Apa kamu sudah bisa menyapanya dengan ringan saat bertemu di suatu acara secara kebetulan?
Apa kamu sudah bisa berhenti berharap pertanyaan darinya agar percakapan tetap bisa berlangsung?
Apa kamu sudah biasa saja dengan barang-barang pemberiannya dan tak memandanginya lama-lama lalu terbawa perasaan?
Apa kamu sudah?
Atau kamu hanya merasa sudah?
Oke, katakanlah jawabanmu benar-benar sudah.
Lalu...
Kenapa kamu masih saja menghitung hari saat menjelang ulang tahunnya?
Kenapa kamu sengaja tidak mengucapkan selamat tahun baru kepadanya hanya untuk menegaskan bahwa kamu tidak peduli?
Kenapa kamu harus berulang kali mengatakan pada banyak orang bahwa kamu telah melupakannya, seakan-akan kau hanya ingin memberikan sugesti pada dirimu sendiri?
Kenapa kamu masih membuka catatan-catatan lama yang kamu buat tentangnya?
Kenapa kamu masih berulang kali membuka jendela chat yang kini sudah tak terbarui lagi?
Kenapa kamu masih membaca ulang percakapan-percakapan absurd yang pernah kalian lakukan?
Kenapa kamu masih saja membayangkan kejadian-kejadian konyol yang pernah terjadi diantara kalian dan tersenyum-senyum sendiri?
Kenapa kamu masih melihat langit dengan hati tak tentu?
Kenapa?
Kenapa diam?
Bimbang?
Ragu?
Atau tiba-tiba menyadari sesuatu?
Tidak bermaksud membawamu kembali ke masa lalu. Tidak bermaksud membuatmu terbawa perasaan lalu menunduk.
Hanya saja, hati-hati dengan pernyataanmu.
Murni? Biasa saja?
Coba tanyakan lagi pada dirimu.
Lebih tepatnya, tanya hatimu.
Coba tanyakan lagi pada hatimu, Na :") Belum murni kan? Belum biasa saja kan?
Tapi, apa kamu yakin?
Apa kamu sudah tak pernah berhenti lebih lama saat membaca suatu nama?
Apa kamu sudah tak pernah merasa ada sesuatu yang aneh setiap melihat postingannya di media sosial?
Apa kamu sudah tak menyimpan kekaguman berlebihan pada tulisan-tulisannya?
Apa kamu sudah tidak gemetar dan bimbang saat mengirimkan pesan singkat padanya?
Apa kamu sudah bisa menyapanya dengan ringan saat bertemu di suatu acara secara kebetulan?
Apa kamu sudah bisa berhenti berharap pertanyaan darinya agar percakapan tetap bisa berlangsung?
Apa kamu sudah biasa saja dengan barang-barang pemberiannya dan tak memandanginya lama-lama lalu terbawa perasaan?
Apa kamu sudah?
Atau kamu hanya merasa sudah?
Oke, katakanlah jawabanmu benar-benar sudah.
Lalu...
Kenapa kamu masih saja menghitung hari saat menjelang ulang tahunnya?
Kenapa kamu sengaja tidak mengucapkan selamat tahun baru kepadanya hanya untuk menegaskan bahwa kamu tidak peduli?
Kenapa kamu harus berulang kali mengatakan pada banyak orang bahwa kamu telah melupakannya, seakan-akan kau hanya ingin memberikan sugesti pada dirimu sendiri?
Kenapa kamu masih membuka catatan-catatan lama yang kamu buat tentangnya?
Kenapa kamu masih berulang kali membuka jendela chat yang kini sudah tak terbarui lagi?
Kenapa kamu masih membaca ulang percakapan-percakapan absurd yang pernah kalian lakukan?
Kenapa kamu masih saja membayangkan kejadian-kejadian konyol yang pernah terjadi diantara kalian dan tersenyum-senyum sendiri?
Kenapa kamu masih melihat langit dengan hati tak tentu?
Kenapa?
Kenapa diam?
Bimbang?
Ragu?
Atau tiba-tiba menyadari sesuatu?
Tidak bermaksud membawamu kembali ke masa lalu. Tidak bermaksud membuatmu terbawa perasaan lalu menunduk.
Hanya saja, hati-hati dengan pernyataanmu.
Murni? Biasa saja?
Coba tanyakan lagi pada dirimu.
Lebih tepatnya, tanya hatimu.
Coba tanyakan lagi pada hatimu, Na :") Belum murni kan? Belum biasa saja kan?
Karena suatu insiden, hari ini aku kembali teringat kejadian di suatu sore. Kejadian yang mengubah pandanganku tentang banyak hal. Tentang manusia terutama. Seperti biasa, aku tidak akan menceritakan dengan detil, tidak menyebut nama bahkan. Aku hanya akan mengambil intinya agar kita bisa sama-sama belajar.
Pernahkah kamu begitu menyayangi seseorang sampai sebegitu dalamnya? Sampai pandanganmu tentangnya begitu tinggi? Sampai apapun kau percayakan padanya? Sampai kau berpikir bahwa dia adalah satu-satunya yang bisa begini dan bisa begitu? Sampai penilaiannya adalah hal terpenting dalam hidupmu? Aku pernah. Satu kali.
Aku selalu berpikir bahwa kami telah berbagi semua hal, bahkan aku tidak tahu apa yang kurahasiakan darinya, jika memang ada. Aku selalu berpikir begitu.
Sampai sore itu datang. Aku bertanya sesuatu tentangnya, dia menjawab, dan aku percaya, seperti biasanya. Aku pikir semua akan baik-baik saja, namun ternyata Allah yang menunjukkan kebenaran ke depan mataku.
Dia tidak jujur.
Walaupun tidak benar-benar berbohong.
Sore itu berlalu dengan aku yang berpikir tentang banyak hal. Mencerna apa yang baru saja aku lihat. Memandangi layar gadget yang membuka pesanku untuknya yang belum dibaca. Aku mencoba memahami kondisinya. Aku merasa itu pasti akan mudah saja. Tapi, lalu aku sampai pada kesadaran: seperti apapun aku mempercayainya, dia tidak mempercayaiku sama besarnya.
Aku mencoba memahami dengan berbagai sudut pandang. Aku tahu bahwa dia pasti punya sesuatu yang tidak ingin dia ceritakan padaku, seperti aku juga punya hal yang tidak ingin aku ceritakan padanya. Tapi kenyataan bahwa dia tidak jujur padaku tetap membawa sebuah kekecewaan. Aku lalu mulai mempertanyakan eksistensiku bagi dia. Mungkinkah dia hanya menganggapku sebagai pengganggu yang mau tau urusannya? Atau pengganggu yang mengganggunya dengan masalahku?
Yah, mungkin pertanyaanku di atas hanya ungkapan kekecewaanku yang berlebihan. Aku merasa konyol karena sangat mempercayai seseorang tentang hal-hal penting dalam hidupku sedangkan dia bahkan belum bisa menilaiku dengan baik. Tidak sebaik yang kukira.
Aku bukan kecewa pada dia. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku lah objek kekecewaanku itu.
Hari itu aku belajar untuk menilai manusia sebagai seorang manusia. Menyayangi manusia sebagai seorang manusia. Tidak menilai terlalu tinggi, tidak menyayangi sebegitu dalamnya.
Dan hari itu, aku semakin sulit mempercayai manusia, sebaik apapun dia.
Pernahkah kamu begitu menyayangi seseorang sampai sebegitu dalamnya? Sampai pandanganmu tentangnya begitu tinggi? Sampai apapun kau percayakan padanya? Sampai kau berpikir bahwa dia adalah satu-satunya yang bisa begini dan bisa begitu? Sampai penilaiannya adalah hal terpenting dalam hidupmu? Aku pernah. Satu kali.
Aku selalu berpikir bahwa kami telah berbagi semua hal, bahkan aku tidak tahu apa yang kurahasiakan darinya, jika memang ada. Aku selalu berpikir begitu.
Sampai sore itu datang. Aku bertanya sesuatu tentangnya, dia menjawab, dan aku percaya, seperti biasanya. Aku pikir semua akan baik-baik saja, namun ternyata Allah yang menunjukkan kebenaran ke depan mataku.
Dia tidak jujur.
Walaupun tidak benar-benar berbohong.
Sore itu berlalu dengan aku yang berpikir tentang banyak hal. Mencerna apa yang baru saja aku lihat. Memandangi layar gadget yang membuka pesanku untuknya yang belum dibaca. Aku mencoba memahami kondisinya. Aku merasa itu pasti akan mudah saja. Tapi, lalu aku sampai pada kesadaran: seperti apapun aku mempercayainya, dia tidak mempercayaiku sama besarnya.
Aku mencoba memahami dengan berbagai sudut pandang. Aku tahu bahwa dia pasti punya sesuatu yang tidak ingin dia ceritakan padaku, seperti aku juga punya hal yang tidak ingin aku ceritakan padanya. Tapi kenyataan bahwa dia tidak jujur padaku tetap membawa sebuah kekecewaan. Aku lalu mulai mempertanyakan eksistensiku bagi dia. Mungkinkah dia hanya menganggapku sebagai pengganggu yang mau tau urusannya? Atau pengganggu yang mengganggunya dengan masalahku?
Yah, mungkin pertanyaanku di atas hanya ungkapan kekecewaanku yang berlebihan. Aku merasa konyol karena sangat mempercayai seseorang tentang hal-hal penting dalam hidupku sedangkan dia bahkan belum bisa menilaiku dengan baik. Tidak sebaik yang kukira.
Aku bukan kecewa pada dia. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku lah objek kekecewaanku itu.
Hari itu aku belajar untuk menilai manusia sebagai seorang manusia. Menyayangi manusia sebagai seorang manusia. Tidak menilai terlalu tinggi, tidak menyayangi sebegitu dalamnya.
Dan hari itu, aku semakin sulit mempercayai manusia, sebaik apapun dia.
Dua hari ini, aku menghabiskan waktu di Serpong, tempat aku menuntut ilmu tiga tahun lamanya, tempat aku bertemu banyak orang luar biasa. Bukan tanpa alasan. Aku berkunjung untuk menyaksikan acara yang sama yang menyibukkanku lebih dari setengah waktuku di MAN. Aku datang untuk SONIC LINGUISTIC 2015.
Jumat, aku datang sekitar jam 10 pagi. Aku bertemu dengan beberapa adik kelas dan berbagi cerita dengan mereka. Lalu, aku bertemu dengan seorang teman. Teman yang kini statusnya adalah mahasiswa luar negeri. Teman yang berbagi terlalu banyak cerita tentang SONIC LINGUISTIC 2013 denganku.Nostalgia pun dimulai.
Pagi itu sepanjang mata memandang adalah orang-orang berbaju hijau berlarian kesana-kemari. Ada yang membawa handy talkie dan mencoba mengabari entah siapa disana. Ada yang bolak-balik ke tempat yang sama mencari barang yang entah apa dan ada dimana. Ada yang mengangkat-angkat benda-benda yang entah apa dari satu tempat ke tempat lainnya.
Di sisi lain, wajah-wajah baru penuh senyum dan harapan mulai memasuki gerbang depan. Mengantri panjang hanya untuk memastikan dirinya terdaftar untuk satu kursi di satu ruangan, mendengarkan rentetan kata-kata yang sama sekali baru untuk mereka.
Hari itu dibuka dengan bunyi gong yang dibunyikan oleh beliau yang terhormat. Hari itu diisi dengan tawa yang membuncah di tengah-tengah keramaian, tatapan kagum yang tak sedikit di beberapa lingkaran, usaha yang tak kenal lelah letih, canda yang tak habis di tiap detiknya. Hari itu berakhir, dengan semua orang bergerak selaras dengan irama, dengan mimpi-mimpi mulia kita yang mengudara. Mimpi dari kerumunan orang-orang yang berikrar untuk berbakti pada Tuhan, Bangsa, dan Almamater. Orang-orang yang akan bersama-sama mewujudkan mimpi mereka.
Hari itu, kami bermimpi, dan mengajak jutaan orang untuk bisa bermimpi.
Di sisi lain, wajah-wajah baru penuh senyum dan harapan mulai memasuki gerbang depan. Mengantri panjang hanya untuk memastikan dirinya terdaftar untuk satu kursi di satu ruangan, mendengarkan rentetan kata-kata yang sama sekali baru untuk mereka.
Hari itu dibuka dengan bunyi gong yang dibunyikan oleh beliau yang terhormat. Hari itu diisi dengan tawa yang membuncah di tengah-tengah keramaian, tatapan kagum yang tak sedikit di beberapa lingkaran, usaha yang tak kenal lelah letih, canda yang tak habis di tiap detiknya. Hari itu berakhir, dengan semua orang bergerak selaras dengan irama, dengan mimpi-mimpi mulia kita yang mengudara. Mimpi dari kerumunan orang-orang yang berikrar untuk berbakti pada Tuhan, Bangsa, dan Almamater. Orang-orang yang akan bersama-sama mewujudkan mimpi mereka.
Hari itu, kami bermimpi, dan mengajak jutaan orang untuk bisa bermimpi.
Sejuta asa, seluas samudera, satu IndonesiaTerima kasih, AMI 2015 :)
Malam ini gelap
Segelap pandangku yang tak sampai melihatmu
Malam ini dingin
Sedingin egoku menghempasmu
Malam ini sepi
Sesepi ragaku yang sendiri tanpamu
Malam ini mencekam
Semencekam nuansa kepergianmu
Malam ini hening
Sehening doa-doaku untukmu
Malam ini misterius
Semisterius aku dan kamu
Malam ini kamu
Dan aku rindu
Repost from LINE.
Sebenarnya aku tidak tahu apa yang seharusnya aku tulis.
Hanya ingin saja berkata-kata.
Sedikit bosan dengan kesibukan yang itu-itu saja.
Mungkin akan sedikit kuubah nanti saat ini semua sudah selesai.
Hanya menunggu saat yang tepat untuk mengakhiri semuanya.
Orang-orang di sekitarku banyak bicara tentang jatuh cinta dan bertepuk sebelah tangan.
Mereka berkata bahwa mereka membutuhkan seseorang spesial untuk menyemangati mereka.
Aku sendiri menganggap itu semua hanya cerita saja.
Bukannya kaku, aku hanya sedang malas memikirkan hal-hal seperti itu.
Hanya sedang tidak pedulu.
Menurutku ini semua hanya belum saatnya.
Yah, semua hanya tentang waktu yang tepat.
Tinggal pandai-pandainya kita melihat situasi bukan?
Reblogged from here.
Aku pernah menangis tersedu-sedu karena ponselku rusak, semua memorinya hilang, bukan soal kontak atau ponsel itu yang kurisaukan. Karena seluruh pesan singkatmu, foto-foto kita, sebagian kenangan bersamamu itu hilang! Hilang.
Setelah itu kamu hanya tersenyum melihat tingkah konyolku, tidak menyodorkan tisu atau sapu tangan karena kamu pasti tidak punya itu, lalu berkata,
Setelah itu kamu hanya tersenyum melihat tingkah konyolku, tidak menyodorkan tisu atau sapu tangan karena kamu pasti tidak punya itu, lalu berkata,
"Cup cup, kenangan bisa dibuat lagi kok. Selama masih ada kamu dan aku."
Itu empat tahun silam. Sekarang?
Tidak ada kenangan.
Saat ini aku bosan menangis, air mataku jika dikumpulkan mungkin sudah membentuk satu telaga mungil yang jernih. Isinya kamu yang berkecipak. Bagaimana bisa kubuat kenangan lagi jika hanya soal aku dan tidak ada kamu? Kamu yang hilang. H-i-l-a-n-g.
Tidak ada kenangan.
Saat ini aku bosan menangis, air mataku jika dikumpulkan mungkin sudah membentuk satu telaga mungil yang jernih. Isinya kamu yang berkecipak. Bagaimana bisa kubuat kenangan lagi jika hanya soal aku dan tidak ada kamu? Kamu yang hilang. H-i-l-a-n-g.
"Lupakan saja semua janji yang pernah kubuat. Suatu saat, jika kita berjodoh, kita pasti bertemu," katamu.
Lalu adalah aku yang hingga kini masih bertahan menghubungimu, meski kamu mereject teleponku. Adalah aku yang suka tiba-tiba cemas lalu me-what’s app-mu, dan hanya kamu diamkan padahal aku tahu kamu baru saja update. Adalah aku yang menyapamu lewat facebook, tapi setelah kamu membaca messageku, kamu tiba-tiba off. Adalah aku yang gemar sekali berkata “aku sudah move on”, padahal masih rajin mengunjungi sosial mediamu lalu menscrollnya sampai ke bawah.
Tapi, aku terhenti. Saat melihatnya. Melihat captionmu di foto itu.
Tapi, aku terhenti. Saat melihatnya. Melihat captionmu di foto itu.
Bolehkah aku mengakatakan ini? “Aku mengujimu sebagaimana Tuhan menguji keimanan hambaNya."Karena cinta idealnya harus berdiri pada keyakinan. Sebagaimana yakin akan Tuhan, yakin pula Dia yang menetapkan siapa kepada siapa. Karena dengan yakin, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita pasti bertemu jika dalam keimanan yang sama.
Entah kita benar bertemu, atau tidak. Doa-doa ini masih berisikan namamu. Aku tidak memaksa Tuhan mempertemukan kita, hanya saja aku selalu berharap Tuhan menjagamu, meridhoi setiap langkahmu, mengingatkanmu dalam banyak hal, dan selalu melingkupimu dengan kecukupan. Cukup baik, cukup sehat, cukup ganteng. Bahkan Ya Tuhan, jika Engkau pilihkan yang lebih baik untuknya dan itu bukan aku, semoga aku sanggup lebih kuat daripada ini.
Meskipun aku tidak bersama kenangan itu lagi, biarkan aku senantiasa membersamaimu, dalam keyakinan dan doaku. Semoga kau juga begitu.